Laman

Cari Materi

Selasa, 28 Agustus 2018

PENYAKIT YANG DIDERITA IBU SELAMA KEHAMILAN


Penyakit Yang Diderita Ibu Selama Kehamilan
Sebagian besar Bayi Baru Lahir yang terlahir dari Ibu yang bermasalah dalam arti menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada saat dilahirkan atau beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi Bayi Baru Lahir (BBL), dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu bermasalah disini diartikan sebagai Ibu yang menderita sakit, sebelum, selama hamil, atau pada saat menghadapi proses persalinan.
Dari State of the World’s Newborn, Save The Children 2001, terdapat Rumus dua per tiga yaitu, Lebih dari 7 juta bayi meninggal setiap tahun antara lahir hingga umur 12 bulan., hampir dua pertiga bayi yang meninggal, terjadi pada bulan pertama, dari yang meninggal tersebut, dua pertiga meninggal pada umur satu minggu, dan dua pertiga diantaranya meninggal pada dua puluh empat jam pertama kehidupannya. Disini sangat jelas bahwa masalah kesehatan Neonatal tidak dapat dilepaskan dari masalah kesehatan perinatal dimana proses kehamilan, dan persalinan memegang faktor yang amat penting.
Sasaran kesehatan anak tahun 2010 diantaranya adalah angka kematian bayi turun dari 45,7 per seribu kelahiran, menjadi 36 per seribu kelahiran (SKN), BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah atau kurang 2500 gram) menurun setinggi-tingginya 7% (SKN), di mana secara nasional th 1995- 1999 diperkirakan BBLR 8% (Save The Children 2001) akan tetapi kalau dilihat dari tahun ke tahun, angka kematian Neonatus penurunannya sangat lambat, dan menempati 47% dari angka kematian bayi, bahkan pada 2003 AKN 20 per seribu kelahiran. Dari angka tersebut, 79,4% kematian pada bayi baru lahir berumur kurang dari tujuh hari. Bila dikaji lebih mendalam, ternyata dari kematian tersebut, 87% dapat dicegah apabila deteksi dini bayi resiko cepat diketahui, dan dapat segera dirujuk agar mendapat pertolongan yang akurat, dan cepat. Diperkirakan tiap jam terdapat 12 neonatus meninggal. Dari sumber SKRT 2001, ternyata dari bayi yang mendapat masalah, yang mencari pertolongan pada tenaga kesehatan hanyalah 36%. Oleh karena itu, tenaga kesehatan di lini terdepan baik di pelayanan perifer ataupun di pusat, sangat diharapkan mempunyai ketrampilan baik deteksi dini bayi resiko ataupun penanganan kegawatan, dan menentukan waktu yang tepat kapan bayi akan dirujuk, dan persiapan apa yang harus dilakukan.
Bayi yang berumur kurang dari tujuh hari, kelainan yang di derita lebih banyak terkait dengan kehamilan dan persalinan, sedangkan bayi berumur lebih dari tujuh hari sampai dua bulan banyak terkait dengan pola penyakit anak. Karena kebanyakan bayi baru lahir yang sakit jarang dibawa oleh orang tua ke pusat pelayanan karena kultur masyarakat, maka kunjungan rumah bagi tenaga kesehatan sangat diperlukan, dengan ASUH yaitu awal sehat untuk hidup sehat. Karena kelainan BBL sangat erat hubungannya dengan saat berada di dalam kandungan, maka komunikasi yang erat diantara dokter Anak, dokter Obstetri dan Dokter Anaestesi serta bidan setempat sangatlah penting
Upaya pemerintah untuk menurunkan angka kematian bayi, telah banyak dilakukan, diantaranya adalah Asuhan Persalinan Normal, Safe Mother Hood, Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar dan Komprehensip, awal Sehat untuk hidup sehat, Manajemen Terpadu Balita Sakit, dan Manajemen Bayi Muda Sakit karena kelainan BBL sangat erat hubungannya dengan saat berada di dalam kandungan, maka komunikasi yang erat diantara dokter Anak, dokter Obstetri dan dokter Anaestesi serta bidan setempat sangatlah penting. Sebenarnya banyak sekali macam penyakit yang dapat diderita ibu selama periode tersebut. Dalam makalah ini akan di bahas manajemen Bayi Baru Lahir (BBL) dari ibu yang mengalami penyakit yang relatif sering, seperti kecurigaan infeksi intra uterin, Hepatitis B, Tuberkulosis, Diabetes Mellitus, Sifilis, dan HIV. yang tampaknya jumlah penderita semakin meningkat serta Ibu dengan kecanduan Obat.

1.Ibu Dengan Kecurigaan Infeksi Intra Uterin
Tanda-tanda ibu yang diduga mengalami infeksi dalam kandungan yang dapat berakibat infeksi atau bakteriemi pada bayinya adalah bila :
  • Ibu mengalami panas tubuh lebih atau sama dengan 380 C selama proses persalinan sampai 3 hari pasca persalinan,
  • Cairan ketuban hijau keruh apalagi berbau busuk,
  • Cairan ketuban pecah 18 sampai 24 jam sebelum bayi lahir,
  • Atau pecah pada saat umur kehamilan baru menginjak 37 minggu.
Pada keadaan tersebut, BBL sangat rawan terhadap terjadinya infeksi yang dapat mengancam jiwanya, karena BBL tersebut dapat menderita sepsis. Perubahan Neonatus ke arah kondisi yang buruk berlangsung sangat cepat.
Apabila suatu sebab, keluarga meminta pulang sebelum waktunya,  pengawasan yang perlu dilakukan oleh keluarga terhadap bayi adalah :
·         apakah pernapasan bayi menjadi cepat
·         bayi lethargi
·         hipotermi atau panas
·         muntah setiap minum
·         kembung, merintih

MANAJEMEN
Bayi umur lebih dari 3 hari tanpa melihat umur kehamilan, tidak perlu antibiotika. Nasehati ibu agar segera membawa bayinya kembali bila ada tanda sepsis dan nasehati ibu kembali jika ada salah satu tanda sepsis.
Bayi berumur 3 hari atau kurang, ambil sampel darah bayi, dan kirim ke Laboratorium untuk kultur/kultur kuman dan uji sensitivitas Obati sesuai umur kehamilan seperti di bawah ini :
Bayi dengan umur kehamilan 35 minggu atau lebih, atau Berat lahir 2000 gram atau lebih
Infeksi intra uterin yang telah jelas, atau demam dugaan, infeksi dengan atau tanpa KPD :
·    Ambil sampel darah, beri antibiotika seperti pemberian untuk kemungkinan besar sepsis.
·    Bila hasil kultur negatif, dan bayi tidak menunjukkan tanda sepsis hentikan antibiotika.
·    Bila hasil kultur positif, dan bayi menunjukkan tanda sepsis kapan  saja; obati untuk kemungkinan besar sepsis.
·    Bila kultur kuman tidak dapat dilakukan, dan bayi tidak menunjukkan tanda sepsis, hentikan antibiotika setelah 5 hari.

Amati bayi selama 24 jam setelah antibiotika dihentikan :
·         Bila bayi keadaan baik, dan tidak ada tanda yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan.
·         Nasehati ibu untuk membawa kembali bayinya bila ada gejala sepsis atau infeksi.

ADA KPD TANPA Infeksi Intra Utertin atau demam dugaan infeksi :
  • Tidak perlu antibiotika.
  • Amati tanda sepsis setiap 4 jam dalam waktu 48 jam.
  • Bila setelah 48 jam kultur darah negatif, bayi tampak sehat, dan tidak ada gejala yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bisa dipulangkan, beri nasehat pada orang tua atau petugas, apabila ada tanda infeksi, segera dibawa kembali ke Rumah Sakit.
  • Bila kapan saja ada tanda sepsis atau kultur positif, diobati seperti  kemungkinan besar sepsis.
  • Bila kultur darah tidak diperiksa, amati 3 hari dan pulangkan bila keadaan bayi baik.
Bayi dengan umur kehamilan kurang dari 35 minggu, atau berat lahir kurang 2000 gram
Ada KPD , Infeksi Intra Utertin atau demam dugaan infeksi  Ambil sampel darah, beri antibiotika untuk sepsis.

Bila kultur darah negatif, bayi tidak ada tanda sepsis :
·      Ada KPD tanpa Infeksi Intra Uterin atau demam dugaan infeksi,  hentikan antibiotika setelah 3 hari.
·      Ada Infeksi Intra Utertin atau demam dugaan infeksi berat, hentikan  antibiotika setelah 5 hari.
·      Bila kultur darahpositif, bayi menunjukkan gejala sepsis atau kapan saja bayi/  menunjukkan gejala seosis, obati sebagai kemungkinan besar sepsis.
·         Bila kultur darah tidak dapat dilakukan, bayi tidak menunjukkan gejala sepsis antibiotika dihentikan setelah pemberian 5 hari.
·         Amati bayi selama 24 jam setelah antibiotika dihentikan :
Ø  Bila bayi keadaan baik, dan tidak ada tanda yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan.
Ø  Nasehati ibu untuk membawa kembali bayinya bila ada gejala sepsis atau infeksi.

1.        Ibu Dengan Hepatitis B
Indonesia masih merupakan negara endemis tinggi untuk Hepatitis B, di dalam populasi, angka prevalensi berkisar 7-10%. Pada ibu hamil yang menderita Hepatitis B, transmisi vertikal dari ibu ke bayinya sangat mungkin terjadi, apalagi dengan hasil pemeriksaan darah HbsAg positif untuk jangka waktu 6 bulan, atau tetap positif selama kehamilan dan pada saat proses persalinan, maka resiko mendapat infeksi hepatitis kronis pada bayinya sebesar 80 sampai 95%. Perlu adanya komunikasi aktip antara ibu, dengan dokter kandungan, dokter anak, atau dengan bidan penolong agar memanajemen terhadap BBL dapat segera dimulai.

Definisi / Batasan Operasional
Kriteria ibu mengidap atau menderita hepatitis B kronik :
1. Bila ibu mengidap HBsAg positif untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan dan tetap positif selama masa kehamilan dan melahirkan.
2. Bila status HbsAg positif tidak disertai dengan peningkatan SGOT/PT maka, status ibu adalah pengidap hepatitis B.
3. Bila disertai dengan peningkatan SGOT/PT pada lebih dari kali pemeriksaan dengan interval pemeriksaan @ 2-3 bulan, maka status ibu adalah penderita hepatitis B kronik.
4. Status HbsAg positif tersebut dapat disertai dengan atau tanpa HBeAg positif.

PENGELOLAAN BAYI BARU LAHIR DENGAN IBU HEPATITIS B
Penanganan secara multidisipliner antara dokter spesialis penyakit dalam, spesialis kebidanan & kandungan dan spesialis anak. Satu minggu sebelum taksiran partus, dokter spesialis anak mengusahakan vaksin hepatitis B rekombinan dan imunoglobulin hepatitis B. Pada saat partus, dokter spesialis anak ikut mendampingi, apabila ibu hamil ingin persalinan diltolong bidan, hendaknya bidan diberitahukan masalah ibu tersebut, agar bidan dapat juga memberikan imunisasi yang diperlukan.
Ibu yang menderita hepatitis akut atau test serologis HBsAg positif, dapat menularkan hepatitis B pada bayinya :
Ø  Berikan dosis awal Vaksin Hepatitis B (VHB) 0,5 ml segera setelah lahir, seyogyanya dalam 12 jam sesudah lahir disusul dosis ke-2, dan ke-3 sesuai dengan jadwal imunisasi hepatitis. Bila tersedia pada saat yang sama beri Imunoglobulin Hepatitis B 200 IU IM (0,5 ml) disuntikkan pada paha yang lainnya, dalam waktu 24 jam sesudah lahir (sebaiknya dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir).
Mengingat mahalnya harga immunoglobulin hepatitis B, maka bila orang tua tidak mempunyai biaya, dilandaskan pada beberapa penelitian, pembelian HBIg tersebut tidak dipaksakan. Dengan catatan, imunisai aktif hepatitis B tetap diberikan secepatnya.
Ø  Yakinkan ibu untuk tetap menyusui dengan ASI, apabila vaksin diatas sudah diberikan (Rekomendasi CDC), tapi apabila ada luka pada puting susu dan ibu mengalami Hepatitis Akut, sebaiknya tidak diberikan ASI.

NEONATUS RESIKO DAN PENATALAKSANAANYA
Tatalaksana khusus sesudah periode perinatal :
a. Dilakukan pemeriksaan anti HBs dan HbaAg berkala pada usia 7 bulan(satu bulan setelah penyuntikan vaksin hepatitis B ketiga) 1, 3, 5 tahun dan selanjutnya setiap 1 tahun.
1) Bila pada usia 7 bulan tersebut anti HBs positif, dilakukan pemeriksaan ulang anti HBs dan HBsAg pada usia 1, 3, 5 dan 10 tahun.
2) Bila anti HBs dan HBsAg negatif, diberikan satu kali tambahan dosis vaksinasi dan satu bulan kemudian diulang pemeriksaan anti HBs. Bila anti HBs positif, dilakukan pemeriksaan yang sama pada usia 1, 3, dan 5 tahun seperti pada butir a.
3) Bila pasca vaksinasi tambahan tersebut anti HBs dan HBsAg tetap negatif, bayi dinyatakan sebagai non responders dan memerlukan pemeriksaan lanjutan yang tidak akan dibahas pada makalah ini karena terlalu teknis.
4) Bila pada usia 7 bulan anti HBs negatif dan HBsAg positif, dilakukan pemeriksaan HBsAg ulangan 6 bulan kemudian. Bila masih positif, dianggap sebagai hepatitis kronis dan dilakukan pemeriksaan SGOT/PT, USG hati, alfa feto protein, dan HBsAg, idealnya disertai dengan pemeriksaan HBV-DNA setiap 1-2 tahun.
b. Bila HBsAg positif selama 6 bulan, dilakukan pemeriksaan SGOT/PTsetiap 2-3 bulan. Bila SGOT/PT meningkat pada lebih dari 2 kali pemeriksaan dengan interval waktu 2-3 bulan, pertimbangkan terapi anti virus.

Tatalaksana umum
Pemantauan tumbuh-kembang, gizi, serta pemberian imunisasi, dilakukan sebagaimana halnya dengan pemantauan terhadap bayi normal lainnya.
Pada HCV sebaiknya tidak memberikan ASI karena 20 % ibu dengan Hepatitis C ditemukan Virus dalam kolostrumnya. Pada penelitian Kumal dan Shahul, ditemukan infeksi HCV pada bayi yang tidak mengandung HCV RNA padahal bayi-bayi tersebut mendapat ASI eksklusif dari Ibu dengan HCV.

2.        Bayi Baru Lahir Dengan Ibu Tuberkulosis
Pada ibu yang menderita Tuberkulosis aktif, penularan dapat terjadi sebelum bayi lahir melalui plasenta, atau menghirup amnion yang tercemar, atau melalui pernapasan setelah bayi lahir. Ibu perlu berterus terang pada dokter atau bidan dalam hal ini, karena sehubungan dengan pemberian vaksin BCG dan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dapat menimbulkan abortus dan kematian bayi.
Tuberkulosis kongenital amat sangat jarang, dapat terjadi apabila terjadi infeksi aktif pada placenta. Yang sangat tinggi resiko terjadi TB bayi adalah pada saat proses persalinan dan segera sesudah lahir.
Kematian TBC kongenital yang tidak diobati adalah 38% dan yang diobati 22%, dengan gejala distres nafas, lethargi, panas, pembesaran kelenjar getah bening, hepatosplenomegali. Bila selama hamil ibu mendapat terapi Streptomycin atau Kanamycin, waspada terjadinya gangguan pendengaran pada bayi.
Bila menderita Tuberkulosis paru aktif dan mendapat pengobatan kurang dari 2 bulan sebelum melahirkan, atau didiagnosis TBC setelah melahirkan :
Ø   Jangan diberi vaksin BCG saat setelah lahir;
Ø   Beri profilaksis Isoniazid (INH) 5 mg/kg sekali sehari secara oral;
Ø Pada umur 8 minggu lakukan evaluasi kembali, catat berat badan dan lakukan pemeriksaan tes Mantoux dan radiologi bila memungkinkan :
o  Bila ditemukan kecurigaan TBC aktif, mulai berikan pengobatan anti TBC lengkap (sesuaikan dengan program pengobatan TBC pada bayi dan anak dan kirim ke pusat pelayanan kesehatan setempat).
o  Bila bayi baik dan dan hasil tes negatif, lanjutkan pencegahan dengan isoniazid selama waktu 6 bulan.
Ø Tunda pemberian vaksin BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila vaksin BCG sudah terlanjur diberikan, ulang pemberiannya 2 minggu setelah pengobatan INH selesai.
Ø Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan. Lakukan tindak lanjut terhadap bayinya tiap 2 minggu untuk menilai kenaikan berat bayi.
Ø Obat yang diminum ibunya seperti INH, Rifampisin, Ethambutol, aman untuk Breast Feeding. Tapi pemberian PAS pada ibu, hati hati karena efek pada bayinya.

3.        Ibu Dengan Diabetes Mellitus
Bayi lahir dari ibu dengan Diabetes Melitus, berisiko untuk terjadi hipoglikemia pada 3 hari pertama setelah lahir, walaupun bayi sudah dapat minum dengan baik. Ibu dengan DM mempunyai resiko kematian bayi lima kali dibanding ibu tidak dengan DM., dan sering mengalami abortus ataupun kematian dalam kandungan. Bayi dengan ibu DM mengalami Transient Hiperinsulinism yang dapat mengakibatkan Hipoglikemia, Macrosomia pada bayi yang dilahirkan, dan dapat berakibat kesulitan lahir. Tanda bayi hipoglikemia adalah Distres nafas, malas minum, jitteriness, mudah terangsang, sampai kejang.
Kadar glukose darah rendah (hipoglikemia)adalah bila kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2,6mmol/l)

MASALAH
a.Glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L)atau terdapat tanda Hipoglikemi.
b.Glukose darah 25 mg/dL (1,1 mmol/L) _ 45 mg/dL (2,6 mmol/L) tanpa tanda Hipoglikemia.

PENGELOLAAN HIPOGLIKEMIA
a.       Glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L) atau terdapat tanda hipoglikemi
Ø  Pasang jalur IV jika belum terpasang.
Ø  Berikan glukose 10% 2 mL/kg secara IV bolus pelan dalam lima menit
Ø  Infus glukose 10% sesuai kebutuhan rumatan
Ø  Periksa kadar glukose darah satu jam setelah bolus glukose dan kemudian tiap tiga jam :
o  Jika kadar glukose darah masih kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L), ulangi pemberian bolus glukose seperti tersebut di atas dan lanjutkan pemberian infus
o  Jika kadar glukose darah 25-45 mg/dL (1,1-2,6 mmol/L), lanjutkan infus dan ulangi pemeriksaan kadar glukose setiap tiga jam sampai kadar glukose 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih ;
o  Bila kadar glukose darah45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih dalam dua kali pemeriksaan berturut-turut, ikuti petunjuk tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose darah setelah kadar glukose darah kembali normal.
o  Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
o  Bila kemampuan minum bayi meningkat turunkan pemberian cairan infus setiap hari secara bertahap. Jangan menghentikan infus glukose dengan tiba-tiba.

b.      Glukose darah 25 mg/dL (1,1 mmol/L)-45 mg/dL (2,6 mmol/L) tanpa tanda Hipoglikemia
o    Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
o    Pantau tanda hipoglikemia dan bila dijumpai tanda tersebut, tangani seperti tersebut di atas.
o    Periksa kadar glukose darah dalam tiga jam atau sebelum pemberian minum berikutnya :
Ø Jika kadar glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L), atau terdapat tanda hipoglikemia, tangani seperti tersebut di atas;
Ø Jika kadar glukose darah masih antara 25-45 mg/dL (1,1-2,6 mmol/L), naikkan frekuensi pemberian minum ASI atau naikkan volume pemberian minum dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum;
Ø Bila kadar glukose darah45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih dalam dua kali pemeriksaan berturut-turut, ikuti petunjuk tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose darah setelah kadar glukose darah kembali normal.
Ø Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
Ø Bila kemampuan minum bayi meningkat turunkan pemberian cairan infus setiap hari secara bertahap. Jangan menghentikan infus glukose dengan tiba-tiba.

c.        Glukose darah 25 mg/dL (1,1 mmol/L)-45 mg/dL (2,6 mmol/L) tanpa tanda Hipoglikemia
Ø  Anjurkan ibu menyusui. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
Ø  Pantau tanda hipoglikemia dan bila dijumpai tanda tersebut, tangani seperti tersebut di atas.
Ø  Periksa kadar glukose darah dalam tiga jam atau sebelum pemberian minum berikutnya :
o  Jika kadar glukose darah kurang 25 mg/dL (1,1 mmol/L), atau terdapat tanda hipoglikemia, tangani seperti tersebut di atas;
Jika kadar glukose darah masih antara 25-45 mg/dL (1,1-2,6
mmol/L), naikkan frekuensi pemberian minum ASI atau naikkan volume pemberian minum dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum;
Jika kadar glukose darah 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih,
lihat tentang frekuensi pemeriksaan kadar glukose darah di bawah
ini.


FREKUENSI PEMERIKSAAN GLUKOSE DARAH SETELAH KADAR
GLUKOSE DARAH NORMAL
Jika bayi mendapatkan cairan IV, untuk alasan apapun, lanjutkan
pemeriksaan kadar glukose darah setiap 12 jam selama bayi masih memerlukan infus. Jika kapan saja kadar glukose darah turun, tangani seperti tersebut di atas.
Jika bayi sudah tidak lagi mendapat infus cairan IV, periksa kadar
glukose darah setiap 12 jam sebanyak dua kali pemeriksaan:
Jika kapan saja kadar glukose darah turun, tangani seperti tersebut di
atas;
Jika kadar glukose darah tetap normal selama waktu tersebut, maka
pengukuran dihentikan.
Anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan lebih sering, paling tidak 8
kali sehari, siang dan malam.
Bila bayi berumur kurang 3 hari, amati sampai umur 3 hari, periksa
kadar glukose pada :
saat bayi datang atau pada umur 3 jam;
tiga jam setelah pemeriksaan pertama, kemudian tiap 6 jam selama 24
jam atau sampai kadar glukose dalam batas normal dalam 2 kali
pemeriksaan berturut–turut.

Bila kadar glukose 45 mg/dL atau bayi menunjukkan tanda
hipoglikemi (tremor atau
letargi), tangani untuk hipoglikemi (lihat
Hipoglikemi);
Bila dalam pengamatan tidak ada tanda hipoglikemi atau masalah lain,
bayi dapat minum dengan baik, pulangkan bayi pada hari ke 3.
Bila bayi berumur 3 hari atau lebih dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit, bayi tidak perlu pengamatan. Bila bayi dapat minum baik dan tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan
1.Ibu Dengan Sifilis
Pada tahun 1987 Sifilis kongenital dilaporkan 10 kasus setiap 100.000 kelahiran hidup. Terjadi kenaikan menjadi 107 kasus setiap 100.000 kelahiran pada 1991. Sehingga direkomendasikan oleh CDC pada semua ibu hamil harus diperiksa VDRL pada kunjungan pertama antenatal care,
(7,8) dan pada trimester ketiga. Apabila hasil positip, pemeriksaan Serologi
untuk Treponema harus diperiksa, sehingga tidak ada satupun Bayi yang
pulang dari Rumah Sakit tanpa diketahui status sereologi Ibu untuk Sipilis.
Bila hasil tes pada ibu positif dan sudah diobati dengan Penisillin 2,4
juta unit dimulai sejak 30 hari sebelum melahirkan, bayi tidak perlu
diobati.
Bila ibu tidak diobati atau diobati secara tidak adekuat atau tidak
diketahui status pengobatannya, maka :
  • Beri bayi Benzathine Benzylpenicillin IM dosis tunggal (lihat Dosis
Pemberian Antibiotika) ;
  • Beri Ibu dan Bapaknya Benzathine penicillin 2,4 juta unit I.M dibagi
dalam dua suntikan pada tempat yang berbeda ;
  • Rujuk Ibu dan Bapaknya ke rumah sakit yang melayani penyakit
menular seksual untuk tindak lanjut.
1.Lakukan tindak lanjut dalam 4 minggu untuk memeriksa pertumbuhan bayi dan memeriksa tanda-tanda sifilis kongenital pada bayi;
2. Cari tanda-tanda sifilis kongenital pada bayi (edema, ruam kulit, lepuh di telapak tangan/kaki, kondiloma di anus, rinitis, hidrops fetalis/hepato-splenomegali);
3. Bila ada tanda-tanda di atas, berikan terapi untuk sifilis kongenital
(lihat bab Masalah kulit dan selaput lendir);
4. Laporkan kasusnya ke Dinas Kesehatan setempat.
1.Ibu Dengan Hiv
Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987 pada seorang WNA di Bali. Sejak itu HIV/AIDS di Indonesia telah dilaporkan hampir di semua provinsi kecuali Sulawesi Tenggara. Setelah selama 13 tahun sejak dilaporkannya kasus pertama Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan prevalensi infeksi HIV rendah akan tetapi dalam 4 tahun terakhir ini Indonesia dinyatakan berada dalam keadaan epidemi terkonsentrasi (Concentrated level epidemic) karena HIV/AIDS telah terjadi pada lapisan masyarakat tertentu dalam tingkat prevalensi yang cukup tinggi terutama di provinsi Papua, DKI Jaya, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali.
Arti penting pencegahan infeksi HIV di Indonesia
Dalam sudut pandang epidemi HIV/AIDS, Indonesia saat ini berada dalam
concentrated level epidemic artinya prevalensi pada masyarakat tertentu
sudah cukup tinggi terutama di Provinsi Riau, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Papua. Potensi penularan HIV terutama masih berada pada pola penularan melalui jalur hubungan seksual, yang harus diatasi melalui kampanye peningkatan kewaspadaan publik (public awareness campaign) seperti pendidikan seks, kampanye seks sehat dan kampanye penggunaan kondom. Meskipun angka kejadiannya kecil akan tetapi pencegahan penularan melalui jalur suntikan dan transfusi darah harus pula dilakukan secara intensif. Hal itu dimaksudkan agar kewaspadaan petugas kesehatan terhadap penyebaran infeksi HIV melalui jalur ini terutama yang terkait dengan kesehatan kerja dapat ditingkatkan.
MASALAH
Ibu dengan HIV positifLA KLINIK
Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila terinfeksi pada saat peripartum,tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk menentukan status HIV bayi.
GEJALA KLINIK
Gejala klinik tidak spesifik,menyerupai gejala infeksi virus pada umumnya. Bila keadaan berlanjut dan terdapat defisiensi imun yang berat, maka yang terlihat adalah gejala penyakit sekunder, sesuai dengan mikroba penyebabnya.
Tampak pada umur 1 tahun 23 %
4 tahun 40 %

Gejala klinik : BBLR, Infeksi saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis
carinii
Pneumonia),
sinusitis,
sepsis,
moniliasis
berulang, hepatosplenomegali febris yang tidak diketahui penyebabnya Encephalopati (50%-90% terjadi sebelum obat anti Retrovirus dipergunakan).
DIAGNOSIS berdasarkan :
1.HIV Persangkaan infeksi, gejala klinik, resiko penularan di daerah yang
banyak ditemukan.
2.Tes serologi.
3.Pembuktian Virus HIV dalam darah, karena pada bayi masih terdapat
antibodi ibu yang menetap sampai 18 bulan.
TES DIAGNOSTIK UTK INFEKSI HIV PADA BAYI
• HIV Antibodi pada anak umur> 18 bulan. Dengan ELISA HIV.
IgG anti HIV ab, melalui plasenta pada Trimester III
Bila hasil possebel um umur 18 bulan, mungkin antibodi dari ibunya
•VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur
3-4 bulan bila umur 4 bulan hasil negatip bayi bebas HIV
• CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa 700- 1000/ml) P24 Antigen test sudah tidak dipakai lagi untuk diagnostik, karena dipandang kurang sensitip terutama untuk bayi (Richard Polin dan Cloherty)
MANAJEMEN
MANAJEMEN UMUM
Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka :
Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling
pada keluarga;
Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada
pencegahan infeksi;
Bayi tetap diberi imunisasi rutin, kecuali terdapat tanda klinis
defisiensi imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV,
Campak, MMR);

Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV,
PCR DNA/RNA HIV.
Beri dukungan mental pada orang tuanya
Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan
infeksi.

TERAPI ANTI RETROVIRUS
Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui AS I :
Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk
HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayinya.Tujuan pemberian Antiretro Viral terapi adalah untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4 + sel sampai mencapai lebih dari 25% ( Cloherty).
Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada,
tujuannya untukProfilaksis
Bila ibu sudah mendapat Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum
melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan
per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam.
Bila ibu sudah mendapatNevirapine dosis tunggal selama proses
persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral pada umur 12 jam
Untukmencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2 x sehari,
pemberian
3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal (Polin), karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan.
Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai
masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan
Tindak Lanjut).
BILA BAYI SUDAH TERKENA HIV
AZT untuk bayi cukup bulan sampai bayi berumur 90 hari oral
2mg/kg BB tiap 6 jam atau IV 1,5 mg/kgBB tiap 6 jam Untuk bayi kurang bulan
1,5 mg/kg BB tiap 12 jam sampai 2 minggu kemudian 22mg/kgBB
tiap 8 jam
NEVIRAPIN
Neonatus sampai umur 2 bulan
14 hari pertama 5 mg/kg atau 120 mg/m2 2 kali sehari
14 hari kedua 120 mg/m2 2 kali sehari berikutnya 200 mg/m2 2
kali sehari sampai usia 2 bulan

PEMBERIAN MINUM
Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada
bayinya. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk
membuat pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya.
Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan
infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin ketersediaannya oleh keluarga.
Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian
minum :
Susu formula dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga
kebersihannya dan selalu dapat tersedia;
ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat
disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula;
Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat
setelah umur 6 bulan.
Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah :
Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
Pemberian ASI oleh Ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV negatif;
Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik,
dan dukunglah pilihannya
Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan
petunjuk khusus (lihat bawah).
Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus (seperti dibawah ini) :
Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu
harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif
diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia
susu formula;
Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak
lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula
dengan benar.
Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara
susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Pemberian susu formula :
Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi
apabila bayi menginginkan.
Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula.
Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara
menghindarinya.
Bayi akan diare apabila tangan Ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak diminumkan;
Bayi tidak akan tumbuh baik apabila :
jumlah tiap kali minum terlalu sedikit;
frekuensi pemberiannya terlalu sedikit;
susu formula terlalu encer;
bayi mengalami diare.
Nasihati Ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada
bayinya, seperti :
Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit;
Diare;
Berat badan sulit naik.
Nasihati Ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut :
Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
Meberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu ditemukan
tanda bahaya (lihat atas).
Pemberian ASI
Bila ibu memilih menyusui, dukung dan hargai keputusannya.
Pastikan bayi melekat dan mengisap dengan baik untuk mencegah
terjadinya Mastitis dan gangguan pada puting susu.
Nasihati Ibu segera kembali apabila ada masalah pada payudara atau
putingnya, atau bayi mengalami kesulitan minum.
Pada minggu pertama, nasihati Ibu melakukan kunjungan ke rumah sakit
untuk menilai perlekatan dan posisi bayi waktu menyusu sudah baik,
serta keadaan payudara ibu.
Atur konseling selanjutnya untuk mempersiapkan kemungkinan ibu
menghentikan menyusui lebih awal.
PEMERIKSAAN TINDAK LANJUT SETELAH PULANG
Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18
bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA
HIV POSITIP dua kali berturut selang satu minggu, bila keadaan
demikian ditemukan, mulai diberikan pengobatan Antiretro Virus.

1.Ibu Dengan Kecanduan Obat
Obat-obatan yang kita bahas hanya terbatas obat Na rc ot ic misalnya
Heroin dan Methadone, atau obat stimulant (non narcotic) misalnya
Cocain karena disamping macam obat yang sangat banyak tapi tempat
terbatas, juga karena obat tersebut sering digunakan oleh Ibu-ibu
pengguna.(9,11,12)
Kita harus waspada terhadap ibu-ibu pengguna obat apabila kita temui Ibu yang habis melahirkan tanpa prenatal care yang disertai tanda-tanda pengguna diantaranya adalah ada bekas jaringan-jaringan parut disertai hepatitis, yang sangat tergesa-gesa ingin meninggalkan Rumah Sakit, atau meminum obat dengan dosis besar dan berulang selama di Rumah Sakit. Bayi Baru Lahir dapat mengalami Withdrawel karena obat-obat tersebut  dapat melalui plasenta.
TANDA WITHDRAWEL
Terjadinya Onset Gejala Withdrawel Narcotic yang akut bervariasi waktunya, dapat sejak lahir sampai umur 2 minggu, sedangkan simtom dapat dilihat pada 24 sampai 48 jam tergantung kapan pengguna memakai obatnya.yang terakhir kali, dan dicampur dengan obat lain atau tidak. Ibu dengan Heroin, withdrawel dapat terjadi pada 50-75 % bayi, biasanya mulai pada 48 jam pertama, tergantung dosis. Tanda-tanda withdrawel dapat dilihat pada tabel 2.
Withdrawel tergantung beberapa fakror, yaitu Dosis Obat yang dikonsumsi,
Durasi kecanduan, dan dosis terakhir yang dikonsumsi.
Bila dosis 6mg/hari, Bayi mengalami gejala ringan, atau tanpa gejala.
Bila kecanduan telah lebih dari satu tahun, withdrawel pada bayi dapat
terjadi lebih dari 70%.
Bila obat dikonsumsi terutama dalam 24 jam sebelum melahirkan,maka
kejadian withdrawel akan tinggi.
Diagnosis Banding adalah Hipoglikemia dan Hipocalcemia.
Ibu pengguna Heroin atau Methadone, dapat mempunyai bayi dengan Abstinence Syndrome dengan ciri khas iritable, jitteriness, kejang, hipertoni, bersin-bersin, takikardi, diare, dan gangguan minum. Gangguan ini dapat lama terutama pada Ibu pengguna Methadone.
Bila Ibu kecanduan Methadone, simtom Withdrawel pada Bayinya dapat terjadi 75% walaupun obat yang dikonsumsi ibu rendah (20 mg/hari). Bila dosis yang dikonsumsi besar, bayi dapat terjadi :
Timbul gejala segera sesudah lahir, hilang, kemudian timbul lagi pada
umur 2 sampai 4 minggu.
Tanpa gejala, tapi baru timbul withdrawel pada 2 sampai 3 minggu
setelah lahir.
Beberapa bayi dapat mengalami BBLR, Lingkar Kepala kecil dari bayi
normal, defisit motoric, gangguan pendengaran, kejang, dan moro reflex yang menetap, dan peningkatan resiko SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)
Ibu dengan kecanduanCocain, dapat mengalami meningkatnya kontraksi Uterus, Vasokonstruksi pembuluh darah plasenta, sehingga uterine aliran darah uterin menurun, bayi dapat mengalami Asfiksi, Prematur, Kecil Masa Kehamilan, Perdarahan Otak, SIDS, kelainan pada saluran pencernaan, dan ginjal, gangguan syaraf dengan adanya pertumbuhan yang terlambat, kekakuan, gangguan belajar, Prune Belly Syndrome. Pada akhirnya anak mengalami kekerasan keluarga (Child Abuse).
PENATALAKSANAAN
OBAT NARCOTIC
Tujuan penatalaksanaan adalah agar supaya bayi Tidak mudah terangsang (irritable), tidak muntah, tidak diare, dapat tidur diantara waktu minumnya, dan tidak mengalami Withdrawel.
Jangan sekali-kali memberi Narcan (Naloxon) pada bayi dengan Ibu yang kecanduan Methadone, karena dapat merangsang terjadinya reaksi withdrawel atau kejang.
Dalam hal pemberian Narcotic pada Ibu yang akan dioperasi karena kesakitan, bila pemberian dalam 4 jam sebelum melahirkan, bayi boleh diberi narcan bila ada depresi napas, asal Ibu bukan Pecandu Narcotic, bila simtom timbul setelah 4 jam, mungkin bukan akibat dari efek narcotic obat tersebut.
ASI dari Ibu pengguna Cocain dapat menyebabkan Bayi dengan Hipertensi,
kejang Pengelolaan meliputi Terapi Simtomatik dan Obat.
Terapi Simtomatik
Sebanyak 40% hanya membutuhkan terapi simtomatik tanpa obat. Meliputi penempatan di Ruang yang temeraman, dan tenang, dibedong, diayun perlahan agar tidur tenang, diberi P-ASI formula 24 calori per onz.
Terapi dengan Obat
Untuk mengetahui apakah Bayi perlu Obat atau tidak, sebaiknya menggunakan Skoring Sistim seperti pada tabel 4. Bila skore 8 atau lebih, pertanda Bayi perlu pengobatan Neonatal Morphine Solution ( NMS), lihat tabel 3.
Apabila dosis sudah dicapai yang sesuai, bila sudah 72 jam, dosis
diturunkan pelan-pelan sebanyak 10 %dari dosis total, setiap harinya.
Bila sudah mencapai 0,3 Ml/kg BB/hari, obat dapat diberhentikan. Bila pada waktu penyapihan obat terjadi timbul gejala lagi, dosis terakhir sebelum diturunkan diulang lagi. Tambahkan Phenobarbital loading dose 10mg/kg BB kemudian dosis rumatan yang dibagi tiap 8 jam., apabila dosis NMS mencapai 2,0 Ml/kg BB/hari
TERAPI KECANDUAN OBAT STIMULAN( COCAIN)
Beri terapi Phenobarbital loading dose 10 mg/kg BB, kemudian dosis
rumatan. SIDS mempunyai resiko 3 sampai 7 kali pada Ibu pecandu Cocain.
TINDAK LANJUT
Koordinasi petugas Kesehatan Rumah Sakit dengan petugas setempat, karena bayi-bayi tersebut rawan untuk terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bayi-bayi tersebut termasuk bayi yang sulit untuk perawatan selanjutnya, apalagi bayi yang menderita Withdrawel, karena bayi sering mudah terangsang, mengalami gangguan tidur, sehingga membutuhkan orang yang sabar dalam merawatmya.
2.VARICELLA (CACAR AIR/CHICKEN POX)
Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas.  Walaupun umumnya cacar air itu suatu penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus.  Disangka bahwa telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran.  Frekuensi cacar bawaan tidak lebih tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil.
3.INFEKSI TRAKTUS URINARIUS
Infeksi saluran kencingnadalah infeksi bakteri yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Walaupun bakteri uria asimtomatik merupakan hal biasa, infeksi simtomatik dapat mengenai salran bawah yang menyebabkan sisititis, atau menyerang kaliks, pelvis, dan parenkim ginjal sehingga mengakibatkan pielonefritis.
Organisme yang emnyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. Sekarang terdapat bukti bahwa beberapa galur escherichia coli memiliki pili yang meningkatkan virulensinya. Walaupun kehamilan itu sendiri tampaknya tidak meningkatkan faktor0faktor virulensi ini, stasis air kemih tampaknya menyebabkan hal itu, dan bersam dengan revluksvesikoureter, stasis mempermudah timbulnya gejala infeksi saluran kemih bagian atas.
Overdistsnsi yang disertai kateterisasi untuk mengeluarkan iar kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemih.
a.Bakteriuria Asimtomatik
kondisi ini mengacu pada perkembangan bakteri yang terus-menerus secara aktif di dalamsaluran kemih tampa menimbulkan gejala. Insiden selama kehamilan bergantung pada paritas, ras dan status social ekonomi
bakteri uria biasanya sudah ada pada saat kunjungan pra natal I dan setelah biakan urin awal yang negatif, wanita yang mengalami infeksi saluran kemih jumlahnya 1 % atau kurang.
Makna
Apabila bakteri uriaasimtomatik tidak diobati sekitar 25 % pasien akan mengalami infeksi simtomatik akut selam kehamilan tersebut. Eradikasi bakteri uria dengan anti mikroba telah dibuktikan dapat mencegah sebagian besar infeksi klinis tersebut. Pada beberapa penelitian, bakteri uria yang tersamar dilaporkan menyebabkan sejumlah efek merugikan pada kehamilan. P-ada penelitian-penelitian awal oleh kass (1962), insiden kelahiran preterm dan mortalitas prenatal meningkat pada wanita dengan bakteri uria yang mendapat plasedo dibandingkan dengan yang mendapat terapi. Dari  bukti-bukti yang sekarang ada kecil kemungkinan bahwa bakteri uria asimtomatik merupakan factor utama untuk bayi pre term atau BBLR.
Pada banyak diantara wanita ini bacteria uria menetap setelah melahirkan, dan pada sebagian juga menujukan bukti-bukti radiografik adanya infeksi kronik, lesi obstruktif atau kelainan congenital saluran kemih. Infeksi simtomatik sering berulang sering terjadi.
Therapi
Wanita dengan bakteri uria asimtomatik dapat diberi pengobatan dengan salah satu dari bebrapa regimen anti mikroba. Pemilihan dapat didasarkan pada sensitifitas infitro, tetapi mumumnya dilakukan secara empiris. Terapi selam 10 hari dengan makrokristal nitrovurantoin 100 mg/hari terbukti untuk sebagian besar wanita. Regimen lain adalah amphicilin, amoksisilin, chefalosporin, nitrofurantoin, atau sulfonamide 4 X sehari selam 3 hari. Terapi anti mikroba dosis tunggal untuk bakteri uria juga pernah dilaporkan pernah berhasil. Kegagalan regimen dosis tunggal mungkin merupakan petunjuk adanya infeksi saluran bagian atas dan perlunya terapi yang lebih lama, misalnya nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur selam 21 hari. Bagi wanita dengan bakteri uria yang menetap atau sering kambuh mungkin diidikasikan terpai supresif sepanjang sisa kehamilannya. Salah satu regimen yang telah terbukti berhasil adalah nitrovurntoin 11 mg sebelum tidur
b.Sistitis Dan Uretritis
Biasanya sistitis di tandai oleh disuria, urgensi dan frekuensi. Biasanya ditemukan bakteri uria dan piuria. Hematuriamikroskopik sering terjadi dan kadang-kadang terjadi hematuria makroskopik akibat sistitis haemoragik, walaupun sistitis biasanya tidak berpenyulit, saluran kemih bagian atas dapat terkena akibat infeksi asenden.
Therapi
Wanita dengan sistitis cepat berespon dengan salah satu beberapa regimen. Haris dan gilstrat (1981) melaporkan angka kesembuhan 97 % pada regimen amphicilin 10 hari. Sulfonamide, mitrofurantoin atau sevalosporin juga efektif apabila diberikan selama 10 hari. Terapi dosis tunggal yang digunakan untuk bakteri uria asimtomatik terbukti efektif untuk wanita hamil maupun tidak hamil, tetapi sebelumnya harus dipastikan tidak ada pielonefritis.
c.Pielonefritis Akut
Infeksi ginjal merupakan penyulit medis paling serius pada kehamilan, terjadi pada sekitar 2 % wanita hamil. Keseriusan pielonefritis akut selam kehamilan digaris bawahi sebagai penyebab utama syok septic selama kehamilan.
Infeksi ginjal lebih sering terjadi setelah pertengahan kehamilan, pada lebih dari separuh kasus penyakitnya unilateral dan di sisi kanan, sedangkan pada ¼ bilateral. Pada sebagian besar wanita, infeksi disebabkan oleh bakteri yang naik dari saluran kemih bawah. Antara 75-90 % infeksi ginjal disebabkan oleh bakteri yang meimiliki adehesin fimbriae-P.
Gambaran Klinis
Awitan pielonefritis biasanya agak mendadak. Gejala meliputi demam, menggigil hebat, dan nyeri tumpul di salah satu atau kedua regio lumbal. Pasien mungkin mengalami anoreksia, mual dan muntah. Perjalanan penyakit dapat sangat bervariasi dengan demam sampai setenggi 40 ?C atau lebih dan hipotermia sampai 34?C. rasa nyeri biasanya dapat ditimbulkan dengan perkusi disalah satu atau kedua sudut costovertebra. Sedimen urin sering mengandung banyak leukosit, seringkali dalam gumpalan-gumpalan dan banyak bakteri.
Walaupun diagnosis biasanya mudah, pielonefritis dapat disangka sebagai proses persalinan, koriamnionitis, appendicitis, solusio plasenta, atau infark myoma, dan masa nifas disangka sebagai metritis dengan selulitis panggul.
Kreatinin plasma harus diukur pada awal terapi. Pielonefritis akut pada sebagian wanita hamil menyebabkan penurunan bermakna laju filtrasi glomerulus yang bersifat reversible. Wanita dengan pielonefritis ante partum mengalami insufisiensi pernafasan dengan derajat bervariasi akibat cidera alveolus dan edema paru yang dipicu oleh endotoksin. Pada sebagian wanita cidera parunya parah sehingga menimbulkan syndrome gawat nafas akut.
Graham dkk (1983) memastikan bahwa pemberian terapi antimikroba pada wanita ini diikuti oleh peningkatan aktifitas uterus. Hal ini mungkin disebabkan oleh pelepasan endotoksin. Hemolisis akibat endotoksin juga sering terjadi, dan sekitar 1/3 dari wanita ini mengalami anemia akut.
Penatalaksanaan
Hidrasi intra vena agar produksi urin memadai merupakan hal yang esensial. Keluaran urin, tekanan darah dan suhu dipantau secara ketat. Demam tinggi harus diatasi, biasanya dnegan selimut pendingin.
Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi intravenal dan terapi antimikroba. Pemilihan obat bersifat empiris; ampicilin, plus gentamicin, cevazolin atau ceftriakson terbukti 95 % efektif dalan uji-uji klinis acak. Resistensi E. Coli terhadap anphicilin sering terjadi dan hanya separuh hanya strain yang ada masih sensitive. Invitro terhadap apmhicilin, tetapi senagian besar masih sensitive terhadap cevasolin. Karena itu banyak dokter cenderung menberikan genthamicin atau aminoglikosida lain bersama dengan amphicilin. Apabila pasien mendapat oab-obat neotoksik perlu dilakukan pengukuran kreatinin serum secara serial. Akhirnya sebagian penulis cenderung menggunakan suatu sefaloskorin atau phenicilin dengan spectrum diperluas.
Gejala klinis umumnya reda dalam 2 hari setelah terapi; tetapi walaupun gejala cepat menghilang banyak penulis menganjurkan agar terapi dilanjutkan hingga 7-10 hari. Apabila biakan urin selanjutnya memberikan hasil positif diberikan nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur selam sisa kehamilan.
Penatalaksanaan Rawat Jalan
Dilaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam respon klinis atau hasil kehamilan antara pasien rawat inap dan rawat jalan. Semua wanita dalam uji ini mendapat dua dosis ceftriakson IM 1 gr di RS dengan selang 24 jam sebelum mereka yang dimasukan kekelompok rawat jalan diperbolehkan pulang. Dalam hal ini diperlukan evaluasi ketat sebelum dan setelah pemulangan dari RS.
Penatalaksaan Bagi Mereka Yang Tidak Berespon
Apabila perbaikan klinis belum tampak jelas dalam 48-72 jam, wanita tersebut perlu pemeriksaan obstruksi saluran kemih, untuk mecari ada tidaknya dipensi abnormal pada ureter atau pielokaliks.
Pemasangan doble-J steent diureter akan mengatasi obstruksi pada sebagian besar kasus. Apabila gagal dilakukan nefrostomi perkutanium. Apabila gagal juga perlu dilakukan pengeluaran batu ginjal secara bedah agar infeksi reda.
Tindak Lanjut
Bila tidak dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin sterilitas urin, pasien sebaiknya diberi nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur sampai selesai hamil.
d.Pielonefritis Kronik
penyakit ini adalah suatu nefritis interstisial kronik yang diperkirakan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada banyak kasus, terjadi pembentukan jaringan parut klasik yang terdeteksi secara radiologis dan disertai refluks ureter selagi berkemih; oleh karenanya penyakit ini juga disebut sebagai nefropatirefluks. Pada kasus lanjut, yang muncul adalah gejala insufisiensi ginjal. Patogenesis penyakit ini masih belum jelas tetapi tampaknya bukan hanya disebabkan oleh infeksi bakteri persisten.
Prognosis pada ibu dan janin bergantung pada luas kerusakan ginjal. Gangguan fungsi ginjal dan pembentkan jaringan parut ginjal bilateral berkaitan dengan peningkatan penyulit pada ibu, apabila pielonefritit kronik lainnya mengalami penyulit bakteri uria selama kehamilan, dapat terjadi pielonefritit akut yang akan memperparah keadaan. Hampir seluruh wanita dengan pembentukan jaringan parut ginjal akibat infeksi saluran kemih pada masa kanak-kanak akan mengalami bakteri uria saat hamil (Martinel dkk , 1990).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar