Laman

Cari Materi

Selasa, 28 Agustus 2018

HIPERTENSI KRONIK KEHAMILAN


HIPERTENSI KRONIK


Pengertian Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit umum yang didefinisikan secara sederhana sebagai peningkatan tekanan darah. Penyakit hipertensi dapat menjadi penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian baik pada ibu dan janin/ bayi yang dilahirkan. Wanita hamil dengan hipertensi memiliki resiko terjadinya komplikasi lebih, seperti penyakit pembuluh darah dan organ, sedangkan janin atau bayi berisiko terkena komplikasi penghambatan pertumbuhan. Oleh karena itu, perlu adanya penatalaksanaan khusus pada ibu hamil.
Sebagian besar ibu hamil tidak menyadari bahwa mereka mengalami hipertensi karena ibu hamil terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan monitoring terhadap tekanan darah, yang dapat diukur menggunakan tensimeter. Pada kehamilan normal tekanan sistolik sedikit berubah, sedangkan tekanan diastolik menurun kurang lebih 10 mmHg pada awal kehamilan (minggu ke 13-20) dan akan naik kembali pada trimester ketiga.
Diagnosis Hipertensi Kronik
Syarat untuk menegakkan diagnosa HIPERTENSI KRONIK adalah salah satu dari :
  1. Sudah menderita hipertensi sebelum kehamilan
  2. Diketahui menderita hipertensi pada kehamilan <>
  3. Hipertensi masih terjadi pada 12 minggu pasca persalinan
Sebagian besar wanita hamil dengan hipertensi kronik adalah penderita hipertensi esensial ; sebagian kecil menderita hipertensi sekunder akibat gangguan pada ginjal , pembuluh darah atau endokrin.
Diagnosis hipertensi kronik didasarkan pada riwayat hipertensi sebelum kehamilan
1.      TD sistolik ≥ 140 mmHg atau
2.      TD Diastolik ≥ 90 mmHg
3.      Pada wanita yang tekanan darah sebelum kehamilan normal dan terjadi pada kehamilan > 20 minggu.
Hipertensi kronik sendiri dibagi menjadi dua yaitu hipertensi kronik ringan dengan tekanan diastolik kurang dari 110 mmHg dan hipertensi kronik parah dengan tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih. Wanita hamil dengan hipertensi kronik ini dapat meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia, pengasaran plasenta, morbiditas dan mortalitas bayi, penyakit kardiovaskuler dan ginjal.
Oleh karena hipertensi kronik ini dapat berkembang menjadi preeklamsia atau lebih parah, maka deteksi dini dan pengobatan pada keadaan ini diperlukan. Sasaran terapi dalam pengobatan hipertensi kronik pada kehamilan adalah tekanan darah. Tujuan terapi adalah untuk menurunkan tekanan darah pada level tekanan darah diastolik dibawah 110 mmHg, yang akan mengurangi morbiditas dan mortalitas, menurunkan insiden preeklamsia, pengasaran plasenta, kematian janin/ bayi dan ibu, komplikasi strok dan kardiovaskuler.
Bila vasodilatasi terhalang oleh peristiwa spasme arteriolar maka akan terjadi :
  • Hipertensi
  • Penurunan perfusi pada seluruh organ termasuk uterus dan ‘plasental site’
Komplikasi IBU :
  1. Solusio plasenta
  2. DIC –Disseminated Intravascular Coagulation
  3. Gagal ginjal
  4. Gagal hepar
  5. Perdarahan CNS – Central Nervous System
  6. Apopleksia serebri
Komplikasi ANAK :
  1. PJT – Pertumbuhan Janin Terhambat
  2. Prematuritas
Kematian perinatal
Hipertensi pada kehamilan dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu:
  • hipertensi kronik
  • pre-eklampsia ringan, pre-eklampsia berat, eklampsia
  • hipertensi kronik dengan superimposed eklampsia
  • hipertensi gestasional
  1. Hipertensi kronik: hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang diukur setelah beristirahat selama 5-10 menit dalam posisi duduk) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan terjadi atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.
  2. Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, disertai dengan penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai protein di dalam air seni (proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang.
  3. Preeklamsia superimposed pada hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.
  4. Hipertensi gestasional: hipertensi pada kehamilan yang timbul pada trimester akhir kehamilan, namun tanpa disertai gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah kembali normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan timbulnya hipertensi kronik suatu saat di masa yang akan datang.
Hipertensi kronik dapat terjadi sebelum kehamilan atau baru muncul pada kehamilan trimester pertama (early pregnancy) atau sebelum usia kehamilan 20 minggu. Penyebab dari hipertensi kronik ini terbagi atas esensial (tidak diketahui penyebabnya) dan sekunder. Sekunder dalam hal ini adalah hipertensi yang disebabkan karena penyakit lain seperti penyakit ginjal dan gangguan endokrinologi (hormonal) seperti diabetes, hipertiroid.

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Preeklampsia dapat terjadi pada penderita hipertensi kronik yang sedang hamil. Latar belakang hipertensi adalah renal atau dari sebab lain dan menjadi semakin berat dengan adanya kehamilan. Superimposed preeklampsia sulit dibedakan dengan hipertensi kronik yang tidak diawasi dengan baik, khusus nya bila pasien baru datang ke dokter setelah kehamilan > 20 minggu. Diagnosa superimposed preeklampsia hanya ditegakkan pada pasien hipertensi kronik, yang baru menunjukkan adanya proteinuria ≥ 3 gram / 24 jam setelah kehamilan 20 minggu.
Pada wanita hamil dengan hipertensi dan proteinuria , diagnosis hipertensi kronis superimposed preeklampsia ditegakkan hanya bila tekanan darah semakin meningkat dan proteinuria semakin berat secara mendadak atau bila disertai dengan salah satu atau beberapa tanda yang menunjukkan kriteria beratnya preeklampsia.


PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan pada hipertensi kronik dapat dilakukan dengan memberikan terapi.
Strategi terapi dapat dilakukan adalah:
1.      terapi nonfarmakologi
2.      terapi farmakologi.
1.      terapi nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologis merupakan terapi tanpa obat yang umum dilakukan pada wanita hamil, terutama pada hipertensi kronik ringan (tekanan diastolik kurang dari 110 mmHg). Penatalaksanaan yang dilakukan antara lain pembatasan aktivitas, banyak istirahat, pengawasan ketat, pembatasan konsumsi garam, mengurangi makan makanan berlemak, tidak merokok, dan menghindari minuman beralkohol.
2.      terapi farmakologi.
Terapi farmakologis dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan antihipertensi golongan α2-agonis sentral (metildopa), β-bloker (labetalol), vasodilator (hidralazin), dan diuretik (tiazid). Obat antihipertensi golongan Angiotensin-Converting Enzym Inhibitor (ACE Inhibitor) dan Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs) mutlak dikontraindikasikan pada ibu hamil dengan hipertensi. Meskipun ACE Inhibitor dan ARBs memiliki factor resiko kategori C pada kehamilan trimester satu, dan kategori D pada trimester dua dan tiga, namun obat tersebut berpotensi menyebabkan tetatogenik.
Dari beberapa obat yang telah disebutkan diatas, metildopa merupakan obat pilihan utama untuk hipertensi kronik parah pada kehamilan (tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg) yang dapat menstabilkan aliran darah uteroplasenta dan hemodinamik janin.
Obat ini termasuk golongan α2-agonis sentral yang mempunyai mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor α2-adrenergik di otak. Stimulasi ini akan mengurangi aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak.
Metildopa
Nama Dagang: Dopamet (Alpharma) tablet salut selaput 250 mg, Medopa (Armoxindo) tablet salut selaput 250 mg, Tensipas (Kalbe Farma) tablet salut selaput 125 mg, 250 mg, Hyperpax (Soho) tablet salut selaput 100 mg
Indikasi:              Hipertensi, bersama dengan diuretika, krisis hipertensi jika tidak diperlukan efek segera.
Kontraindikasi: Depresi, penyakit hati aktif, feokromositoma, porfiria, dan hipersensitifitas
Efek samping:     mulut kering, sedasi, depresi, mengantuk, diare, retensi cairan, kerusakan hati, anemia hemolitika, sindrom mirip lupus eritematosus, parkinsonismus, ruam kulit, dan hidung tersumbat.
Peringatan :         mempengaruhi hasil uji laboratorium, menurunkan dosis awal pada gagal ginjal, disarqankan untuk melaksanakan hitung darah dan uji fungsi hati, riwayat depresi.
Dosis aturan pakai: oral 250mg 2 kali sehari setelah makan, dosis maksimal 4g/hari, infus intravena 250-500 mg diulangi setelah enam jam jika diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar