Definisi
Induksi persalinan ialah suatu tindakan pada ibu hamil
yang belum inpartu, baik secara operatif maupun secara medisinal, untuk
merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Induksi
persalinan berbeda dengan akselerasi persalinan, dimana pada akselerasi
persalinan tindakan-tindakan tersebut dikerjakan pada wanita hamil yang sudah
inpartu.
Induksi persalinan adalah usaha agar persalinan mulai
berlangsung sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang
timbulnya his (Israr, 2009).
Indikasi
induksi antara lain: hamil post term (lebih dari 42 minggu), ketuban pecah
dini, janin mati dalam kandungan, preeklamsi berat yang tidak membaik. Kontra
indikasi induksi dibagi dua yaitu; absolute: disproporsi kepala panggul,
plasenta previa totalis / letak rendah di belakang, gawat janin, uterus cacat
(pasca seksio caesarea yang tidak diketahui jenisnya) dan relativ:
grandemultigravida, kelainan letak presentasi, overdistensi uterus, presentasi
bokong murni, pasca seksio caesarea kurang dari 2 tahun (Chuningham, 2005).
2.2 Etiologi
Induksi
persalinan dilakukan karena: Kehamilannya
sudah memasuki tanggal perkiraan lahir bahkan lebih dari sembilan bulan
(kehamilan lewat waktu). Dimana kehamilan yang melebihi waktu 42 minggu, belum
juga terjadi persalinan. Permasalahan kehamilan lewat waktu adalah plasenta
tidak mampu memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga janin mempunyai
resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim. Makin menurunya sirkulasi darah
menuju sirkulasi plasenta dapat
mengakibatkan Pertumbuhan janin makin melambat. Terjadi perubahan
metabolisme janin. Air
ketuban berkurang dan makin kental. Saat persalinan janin lebih mudah mengalami
asfiksia. Resiko
kematian perinatal kehamilan lewat waktu bisa menjadi tiga kali dibandingkan
dengan kehamilan aterm. Ada komplikasi yang lebih sering menyertainya seperti;
letak defleksi, posisi oksiput posterior, distosia bahu dan pendarahan
postpartum. Pada kehamilan lewat waktu perlu mendapatkan perhatian dalam
penanganan sehingga hasil akhir menuju well born baby dan well health mother dapat
tercapai.
Induksi
juga dilakukan dengan alasan kesehatan ibu, misalnya si ibu terkena infeksi
serius, atau
menderita diabetes.Wanita diabetik yang hamil memiliki resiko mengalami
komplikasi. Tingkat komplikasi secara langsung berhubungan dengan kontrol
glukosa wanita sebelum dan selama masa kehamilan dan dipengaruhi oleh
komplikasi diabetik sebelumnya. Meliputi: Aborsi
spontan(berhubungan dengan kontrol glikemia yang buruk pada saat konsepsi dan pada
minggu-minggu awal kehamilan). Hipertensi
akibat kehamilan, mengkibatkan terjadinya preeklamsi dan eklamsi. Hidramnion. Infeksi, terutama
infeksi vagina, infeksi traktus urinarius; infeksi ini bersifat serius karena
dapat menyebabkan peningkatan
resistensi insulin dan ketoasidosis. Ketoasidosis, sering pada trimester dua
dan tiga, yakni saat efek diabetogenik pada kehamilan yang paling besar karena
resistansi insulin meningkat. Dapat
mengancam kehidupan dan mengakibatkan kematian bayi, mengakibatkan cacat bawaan Ukuran janin terlalu
kecil, bila dibiarkan terlalu lama dalam kandungan diduga akan
beresiko/membahayakan hidup janin/kematian janin. Membran ketuban pecah
sebelum adanya tanda-tanda awal persalinan (ketuban pecah dini). Ketika selaput
ketuban pecah, mikroorganisme dari vagina dapat masuk ke dalam kantong amnion.
Temperatur ibu dan lendir vagina sering diperiksa (setiap satu sampai dua jam) untuk penemuan
dini infeksi setelah ketuban ruptur. Mempunyai riwayat hipertensi. Gangguan hipertensi
pada awal kehamilan mengacu berbagai keadaan, dimana terjadi peningkatan
tekanan darah maternal disertai resiko yang berhubungan dengan kesehatan ibu
dan janin. Preeklamsi, eklamsia, dan hipertensi sementara merupakan penyakit
hipertensi dalam kehamilan, sering disebut dengan pregnancy-induced hypertensio
(PIH). Hipertensi kronis berkaitan dengan penyakit yang sudah ada sebelum
hamil. Preeklamsia
merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah
minggu ke-20 pada wanita yang memiliki tekanan darah normal. Preeklamsia
merupakan suatu penyakit vasospastik, yang ditandai dengan hemokosentrasi,
hipertensi, dan proteinuria. Tanda dan gejala dari preeklamsi ini timbul saat
masa kehamilan dan hilang dengan cepat setelah janin dan plasenta lahir.
Kira-kira 85% preeklamsia ini terjadi pada kehamilan yang pertama. Komplikasi
meliputi nyeri kepala, kejang, gangguan pembuluh darah otak, gangguan
penglihatan (skotoma), perubahan kesadaran mental dan tingkat kesadaran. Eklamsia adalah
terjadinya konvulsi atau koma pada pasien disertai tanda dan gejala
preeklamsia. Konvulsi atau koma dapat terjadi tanpa didahului ganguan
neurologis. Hipertensi
sementara adalah perkembangan hipertensi selama masa hamil atau 24 jam pertama
nifas tanpa tanda preeklamsia atau hipertensi kronis lainnya. Hipertensi kronis
didefenisikan sebagai hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan atau
didiagnosis sebelum kehamilan mencapai 20 minggu. Hipertensi yang menetap lebih
dari enam
minggu pascapartum juga diklasifikasikan sebagai hipertensi kronis.
2.3 Patofisiologi
Induksi
persalinan terjadi akibat adanya kehamilan lewat waktu, adanya penyakit
penyerta yang menyertai ibu misalnya hipertensi dan diabetes, kematian janin,
ketuban pecah dini. Menjelang persalinan terdapat penurunan progesteron,
peningkatan oksitosin tubuh, dan reseptor terhadap oksitosin sehingga otot
rahim semakin sensitif terhadap rangsangan. Pada kehamilan lewat waktu terjadi
sebaliknya, otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan, karena ketegangan
psikologis atau kelainan pada rahim. Kekhawatiran dalam menghadapi kehamilan
lewat waktu adalah meningkatnya resiko kematian dan kesakitan perinatal. Fungsi
plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun
setelah 42 minggu, ini dapat dibuktikan dengan adanya penurunan kadar estriol
dan plasental laktogen
2.4 Manifestasi klinik
Manifestasi
yang terjadi pada induksi persalinan adalah kontraksi akibat induksi mungkin
terasa lebih sakit karena mulainya sangat mendadak sehingga mengakibatkan
nyeri. Adanya kontraksi rahim yang berlebihan, itu sebabnya induksi harus
dilakukan dalam pengawasan ketat dari dokter yang menangani. Jika ibu merasa
tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan, biasanya dokter akan
menghentikan proses induksi kemudian dilakukan operasi caesar.
2.5 Indikasi
Indikasi
untuk melakukan induksi dalam persalinan ialah
·
Hipertensi dalam
kehamilan
·
Penyakit ginjal
·
Diabetes mellitus
·
R.H antagonism
·
Cacat bawaan yang berat
seperti anencephalus atau hidrosepalus
·
Keadaan gawat janin
seperti pada ganguan janin yang berat
·
Hydramnion yang berat
·
Kematian anak
intrauterine
·
Kehamilan serotin
·
Ketuban pecah dalam
kehamilan
·
Perdarahan antepartum
1.
Indikasi Janin
·
Kehamilan lewat waktu
·
Ketuban pecah dini
·
Janin mati
2. Indikasi ibu
· Kehamilan
lewat waktu
· Kehamilan
dengan hipertensi
3.
Indikasi kontra drip induksi
·
Disproporsi
sefalopelvik
·
Insufisiensi plasenta
·
Malposisi dan
malpresentasi
·
Plasenta previa
·
Gemelli
·
Distensi rahim yang
berlebihan
·
Grande multipara
·
Cacat rahim
2.6 Kontraindikasi
Kontra indikasi
1.
Malposisi dan
malpresentasi janin
2.
Insufisiensi
plasenta
3.
Disproporsi
sefalofelfik
4.
Cacat rahim, misalnya
pernah mengalami SC, enukleasi miom
5.
Grande multipara
6.
Gemeli
7.
Distensi rahim yang
berlebihan misalnya pada hidramnion
8.
plasenta previa
2.7 Syarat-syarat
induksi persalinan
Induksi
persalinan akan berhasil bila memperhatikan beberapa persyaratan sebagai
berikut:
a) Kehamilan aterm
a) Ukuran panggul normal
b) Tak ada CPD
c) Janin dalam presentasi kepala
d)
Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah mulai membuka)
(Israr, 2009)
2.8 Komplikasi
Menurut Rustam (1998), komplikasi
induksi persalinan adalah :
a)
Terhadap Ibu
·
Kegagalan induksi.
·
Kelelahan ibu dan krisis emosional.
·
Inersia uteri partus lama.
·
Tetania uteri (tamultous lebar) yang dapat menyebabkan
solusio plasenta, ruptura uteri dan laserasi jalan lahir lainnya.
·
Infeksi intra uterin.
b)
Terhadap janin
·
Trauma pada janin oleh tindakan.
·
Prolapsus tali pusat.
·
Infeksi intrapartal pada janin
2.9 Cara Induksi Persalinan
A.
Cara mekanis
1. Stripping of the
membranes (melepaskan selaput janin sekitar ostium
dari dasarnya). Dengan jari yang dimasukan ke dalam canalis cervikalis, selaput
janin dilepaskan dari dinding uterus sekitar ostium. Metode ini tentu hanya
mungkin kalau cervix sudah sedikit terbuka dan lebih berhasil lagi kalau sudah
turun. Diduga bahwa dengan terlepasnya selaput di daerah ostium, selaput ini
dapat menonjol kalau ada kontraksi dan dengan demikian mendilatasi dan meregang
cervix.
2.
Pemecahan
ketuban
Dengan pemecahan ketuban pada serviks yang sudah
matang, his dapat diharapkan timbul dalam 1-2 jam. Cara pemecahan ketuban ialah
sebagai berikut :
Dilakukan dulu stripping of membranes, kemudian
ketuban dipecahkan dengan kocher atau dengan alat pemecah ketuban yang khusus.
Kalau serviks belum matang, dapat diusahakan mematangkanya dengan pitocin drip,
stripping of membranes atau pemberian 5 mg estradiolbenzoat sehari selama 2-3
hari. Bahaya pemecahan ketuban ialah infeksi intrauterine.
Amniotomi
Amniotomi
atau pemecahan selaput ketuban secara artifisial, yang di inggris juga disebut
sebagai induksi bedah, sering digunakan untuk melakukan induksi atau augmentasi
persalinan. Kata amnioreksis digunakan oleh sebagian kalangan untuk pecahnya
selaput ketuban secara spontal atau artifisial, walaupun kata ini dan amniotomi
secra salah mengisyaratkan pecanhnya hanya manion saja dan bukan korion.
Indikasi umum lainnya untuk maniotomi adalah untuk pemantauan internal
frekuensi denyut jantung janin secra elektronik apabila diantisipasi terdapat
gangguan pada janin dan untuk melakukan penilain kontraksi intrauterus apabila
persalinan kurang memuaskan. Amniotomi elektif untuk mempercepat persalinan
spontan atau mendeteksi mekonium juga dapat diterima dan sering dipraktekan.
Karena
amniotomi atas indikasi-indikasi di atas sangat sering dilakukan, sulit
ditemukan informasimengenai kapan selaput
ketuban pada persalinan normal akan pecah secara spontan tanpa
dipecahkan. Fraser dkk (1991) mempelajari amniotomi elektif yang dibandingkan
dengan tanpa intervensi pada kehamilan aterm dengan persalianan spontan. Hampir
60 persen dari kelompok yang tidak diintervensi mencapai pembukaan 8 cm atau
lebih selaput ketuban pecah spontan. Besar kemungkinan bahwa sebenarnya lebig
banyak lagi wanita yang masuks ke kala dua persalinan dengan selaput ketuban
utuh karena amniotomi untuk pemantauan internal elektronik atau augmentasi
persalianan dilakukan pada 38 persen.
Untuk
memperkecil risiko prolaps tali pusat saat selaput ketuban dipecahkan dengan
sengaja,a beberapa hal perlu diperhatikan. Dengan sengaja, hindari pengeluaran
kepala janin. seorang asisten yang melakukan penekanan di fundus dan suprapubis
dapat mengurangi prolaps tali pusat. Sebagian kalangan lebih menyukai pemecahan
ketuban saat kontraksi. Frekuensi denyut jantung janin harus dinilai sebelum
dan segera sesudah prosedur.
Amniotomi Elektif
Pemecahan
selaput ketuban secara sengaja dengan tujuan mempercepat persalinan merupakan
salah satu proedur yang paling sering dilakukan dibidang obstetri. Apakah prosedur ini memberikan lebih banyak
manfaat atau kerugian masih terus diperdebatkan. Dari hasil penelitian,
amniotomi pada pembukaan 5 cm mempercepat persalinan 1-2 jam tanpa meningkatkan
angka keseluruhan seksio sesarea atau
kebutuhan stimulasi oksitosin. Dalam study oleh Garite dkk (1993), pemakian
oksitosin berkurang apabila dilakukan amniotomi elektif dini. Yanga utama,
tidak terjadi efek samping pada neonatus. Namun, para penelii ini
mengidentifikasi adanya peningkatan pola penekanan tali pusat ringan samapai
sedang akibat amniotomi. Walapun demikian, deselerasi berat tidak terjadi dan
karena itu angka seksio sesarea atas indikasi gawat janin tidak terpengaruh.
Induksi Amniotomi
Pemecahan
selaput ketuban secara sengaja dapat digunakan untuk menginduksi persalian,
tetapi hal ini mengisyaratkan komitmen yang pasti untuk melahirkan pervaginam.
Kerugian utama amniotomi apabila digunakan secara tunggal untuk induksi
persalianan adalah interval yang tidak dapat diperkirakan dan kadang berkepanjangan sampai timbulnya kontraksi.
Walaupun hal ini dipastikan secara luas, hanya dikit penelitian yang sudah dilakukan
untuk membandingkan amniotomi saja dengan metode lain. Dalam sebuah netode
klinis acak, Bakos dan Backstrom (1987) mendapatkan bahwa amniotomi saja atau
amniotomi plus oksitosin lebih baik daripada oksitosin saja. Marcer dkk (1995)
membagi secara caka 209 wanita yang menjalani induksi oksitosin ke dalam
kelompok amniotomi pada penbukaan 1 sampai 2 (amnotomi dini) atau pembukaan 5
cm (amniotomi lanjut). Amniotomi dini menyebabkan durasi persalinan yang secara
bermakna lebih singkat (sekitar 4 jam), tetapi terjadi peningkatan insidensi
korioamnionitis (23 persen) dan pola pemantauan penekanan tali pusat (12
persen).
Amniotomi Untuk
Augmentasi
Amniotomi
sering dilakukan apabila persalian spontan belangsung terlalu lambat.
Berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dari uji coba klinis pada persalinan
spontan dan dari induksi persalinan , besar kemungkinan bahwa amniotomi akan
meningkatkan kemajuan persalinan yang difungsional. Rouse dkk (1994) melakukan
studi teracak dan mendapatkan bahwa penambahan amniotomi pada augmentasi
oksitosin atas indikasi persalinan pada fase aktif akan mempersingkat
persalinan sebesar 44 menit. Tindakan ini juga secara meningkatkan insidensi
korioamnionitis. Amniotomi, sebagai tambahan untuk infus oksitosin, tidak
mempengarhui rute pelahiran dibandingkan dengan oksitosin saja.
3.
Pemekaian rangsangan listrik
Dengan dua
elektrode, yang satu diletakan dalam serviks, sedangan yang lain ditempelkan
pada kulit dinding perut, kemudian dialirkan listrik yang akan memberi
rangsangan pada serviks untuk menimbulkan kontraksi rahim. Bentuk alat ini
bermacam-macam, bahkan ada yang ukurannya cukup kecilse hingga dapat
dibawa-bawa dan ibu tidak perlu tinggal di RS. Pemakaina alat ini perlu
dijelaskan dan disetujui oleh pasien.
4.
Rangsangan pada puting susu
a.
sebagainama
diketahui rangsangan puting susu dapat mempengaruhi hipofisis posterior untuk
mengeluarkan oksitosin sehingga terjadi kontraksi rahim. Dengan penelitian ini
maka telah dicoba dilakukan induksi persalinan pada kehamilan dengan merangsang
puting susu.
b.
Pada salah satu
puting susu, atau daerah areola mammaedilakukan masase ringan dengan jari si
ibu. Untuk menghindari lecet pada daerah tersebut, maka sebaiknya pada daerah
puting dan areola mammae diberi minyak pelicin. Lamanya tipa kali melakukan
masase ini ½ jam- 1 jam, kemusian istirahat beberapa jam dan kemudain dilakukan
lagi, sehingga dalm satu hari maksimal dilakukan 3 jam. Tidak dilakukan
dianjurkan untuk melakukan tindakan ini pada kedua payudara bersamaan karena
ditakutkan terjadi perangsangan berlebihan. Menurut penelitian yang dilakukan
diluar negeri cara induksi ini memberi hasil yang baik. Cara-cara ini baik
sekali untuk melakukan pemetangan serviks pada kasus-kasus kehamilan lewat
waktu.
Menurut Mochtar (1998) induksi secara mekanis adalah sebagai
berikut:
(1)
Melepas selaput ketuban stripping of the membrane
jari yang dapat masuk ke dalam kanalis servikalis selaput ketuban yang melekat
dilepaskan dari dinding uterus sekitar ostium uteri internum. Cara ini akan
lebih berhasil bila serviks sudah terbuka dan kepala dan lepasnya ketuban maka
selaput ini akan lebih menonjol yang akan merangsang timbulnya his dan
terbukanya serviks.
(2) Memecahkan ketuban (amniotiomi).
Hendaknya ketuban baru dipecahkan kalau memenuhi syarat sebagai berikut :
·
Serviks sudah matang atau skor pelviks
di atas 5.
·
Pembukaan kira-kira 4-5 cm
·
Kepala sudah memasuki pintu atas panggul. Biasanya setelah
1-2 jam pemecahan ketuban diharapkan his akan timbul dan menjadi lebih kuat.
(3) Dilatasi serviks uteri. Dilatasi
serviks uteri dapat dikerjakan dengan memakai gagang laminaria, atau dilatator
(busi) hegar.
(4) Accauchement farce.
(a)
Kalau bagian terbawah janin adalah kaki, mata kaki ini di ikat dengan kain kasa
steril yang melalui kontrol dan di beri beban.
(b)
Bila bagian
terbawah janin adalah kepala, maka kulit kepala di jepit dengan cunzim. Muzeuk
yang dikemudian di ikat dengan kain kasa melalui katrol di beri beban.
B.
Cara
kimiawi
1.
Oksitosin
Syarat
dilakukan
Syarat
pemberian inpus oksitosin
1.
agar inpus
oksitosin berhasil dalam menginduksi persalinan dan tidak memberikan penyulit
baik pada ibu maupun janin, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
a.
kehamilan aterm
b.
ukiran panggul
normal
c.
tidak ada CPD
d.
janin dalam
persentasi kepala
e.
serviks sudah
matang yaitu, portio terbuka, mulai mendatar dan sudah mulai membuka.
2.
untuk menilai
serviks ini dapat juga dipakai skor Bishop, yaitu bila nilai Bishop lebih dari
8, induksi persalianan kemungkinan akan berhasil.
Skor
|
0
|
1
|
2
|
3
|
Pembukaan serviks
(cm)
|
0
|
1-2
|
3-4
|
5-6
|
Pendataran serviks
|
0-30%
|
40-50%
|
60-70%
|
80%
|
Penurunan kepala
|
-3
|
-2
|
(-1)-0
|
(+1)-(+2)
|
Konsistensi
serviks
|
keras
|
sedang
|
Lunak
|
|
Posisi serviks
|
Ke belakang
|
Searah sumbu
jalan lahir
|
Ke arah
depan
|
|
Teknik inpus oksitosin berencana
a.
semalam sebelum
infus oksitosin, hendaknya pasien sudah tidur dengan nyenyak.
b.
pagi harinya pasien
diberi pencahar.
c.
inpus oksitosin
hendaknya dikerjakan pada pagi hari dengan observasi yang baik.
d.
Disiapkan cairan
Dextrose 5% 500 ml yang diisi dengan 5 unit oksitosin.
e.
Cairan yang sudah
mengandung 5 U oksitosin ini dialirkan secara intravena melalui saluran infus
dengan jarum no 22 G.
f.
Tetesan permulaan
dibuat agar kadar oksitosin mencapai 2mU permenit.
g.
Timbulnya kontraksi
rahim dinilai dalam setiap 15 menit. Bila dalam waktu 15 menit ini his tetap
lemah, tetesan dapat dinaikan. Umumnya tetesan maksimal diperbolehkan sampai
mencapai kadar oksitosin 30-40m UI permenit. Bila sudah mencapai kadar ini,
namum kontraksi rahim belum juga timbul, maka berapapun kadar oksitosin yang
dinaikkan tidak akan menimbulkan tambahan kekuatan kontraksi lagi. Sebaiknya
infus oksitosin dihentikan.
h.
Pasein dengan infus
oksitosin harus diamati secara cermat untuk kemungkinan timbulnya teteni uteri,
tanda-tanda ruptur uteri membakat, maupun tanda-tanda gawat janin.\
i.
Bila kontraksi
rahim timbul secara teratur dan adekuat, maka kadar tetesan oksitosin
dipertahankan. Sebaliknya bila terjadi kontraksi rahim yang sangat kuat, jumlah
tetesan dapat dikurangi atau sementara dihentikan.
j.
Infus oksitosin ini
hendaknya tetap dipertahankan sampai persalinan selesai, yaitu sampai 1 jam
setelah lahirnya plasenta.
k.
Evaluasi kemajuan
pembukaan serviks dapat dilakuakan dengan periksa dalam bila his telah kuat dan
adekuat. Pada waktu pemberian infus oksitosin bila ternyata kemdian persalinan
telah berlangsung, maka infus oksitosin dilanjutkan sampaipembukaan lengkap.
Segera setelah kala II dimulai, maka tetesan infus oksitosin dipertahankan dan
ibu dipimpin mengejan atau dibimbing dangan persalinan buatan sesuai dengan
indikasi yang ada pada waktu itu. Tetapi bila sepanjang pemberian infus
oksitosin timbul penyulit pada ibu maupun janin maka infus oksitosin harus
segera dihentikan dan kehamilan harus dihentikan dengan SC.
Persalinan
dengan oksitosin
Oksitosin sintetik adalah salah satu
obat yang paling sering digunakan di Amerika Serikat. Oksitosin adalahhormon
polipeptida yang pertama kali disintesis, dan hadiah nobel bidang kimia pada
tahun 1955 dianugrahkan untuk ini (Du Vigneaud dkk., 1953). Hampir semua wanita
mendapat oksitosin setelah melahirkan dan banyak yang juga mendapatkannya untuk
induksi atau augmentasi persalinan. Menurut National
Center for Health Statistics, pada tahun 1995 lebih dari 1,3 juta wanita
Amerika diberi oksitosin untuk merangsang persalinan (Ventura dkk., 1997).
Pada banyak kasus, hanya terdapat
perbedaan semantis antara induksi dan augmentasi persalinan. Induksi persalinan
mengisyaratkan stimulus kontraksi sebelum awitan spontan persalinan, dengan
atau tanpa pecahnya ketuban. Augmentasi merujuk kepada stimulus kontraksi spontan
yang dianggap kurang memadai karena tidak terjadinya kemajuan pembukaan serviks
dan penurunan janin. Beberapa dokter menganggap augmentasi mencakup stimulusi
kontraksi setelah pecah ketuban spontan tanpa persalinan. Sementara sebagian
dokter menggunakan regimen infus oksitosin yang berbeda-beda untuk
masing-masing hal diatas, kami menggunakan teknik yang sama yang akan
dijelaskan berikut ini.
Terdapat banyak indikasi obstetris,
medis, dan janin untuk induksi persalinan. Indikasi-indikasi ini dijelaskan
diseluruh isi buku ini. Pemakaian oksitosin melalui infus intravena untuk
memacu persalinan yang tidak adekuat disfungsi uterus hanya layak diberikan
setelah dilakukan penilaian untuk menyingkirkan kemungkinan disproporsi
sefalovelfik. Pada induksi atau aumentasi oksitosin, frekuensi denyut jantung
janin dan pola kontraksi harus diamati dengan cermat. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
merekomendasikan bahwa pemantauan frekuensi denyut jantung janin dan kontraksi
uterus serupa dengan yang dilakukan terhadap semua kehamilan risiko tinggi
lainnya. Hal ini dilakukan dengan palpasi frekuensi dan relaksasi kontraksi
atau menggunakan peralatan elektronik untuk merekam aktivitas uterus. Tekanan
kontraksi uterus tidak dapat dinilai secara akurat dengan palpasi (Arrabal dan
Nagey, 1996).
Teknik pemberian
oksitosin intravena
Berbagai metode untuk merangsang
kontraksi uterus dengan oksitosin telah diterapkan. Wanita yang bersangkutan
harus mendapat pengawasan langsung oleh perawat selagi mendapat infus
oksitosin. Tujuan tindakan ini adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang
memadai untuk menimbulkan pembukaan serviks dan penurunan janin sekaligus
menghindari stimulus berlebihan terhadap uterus dan atau timbulnya status janin
yang tidak meyakinkan. Kontraksi harus dievaluasi secara terus menerus dan
oksitosin dihentikan apabila kontraksi tetap lebih dari lima kali dalam peiode
10 menit atau tujuh kali dalam periode 15 menit, apabila kontraksi berlangsung
lebih lama dari 60-90 detik, atau apabila pola frekuensi denyut jantung janin
menjadi mengkhawatirkan. Pada hiperstimulasi, penghentian segera oksitosin
hampir selalu menurunkan frekuensi kontraksi dengan cepat. Apabila pemberiannya
dihentikan, konsentrasi oksitosin dalam plasma dengan cepat turun karena rerata
waktu-paruhnya adalah sekitar 5 menit.
Seitchik
dkk. (1984) mempelajari farmakokinetika. Oksitosin yang diinfuskan intravena
dan mendapatkan bahwa respon uterus terjadi dalam 3 sampai 5 menit setelah
infus dimulai dan bahwa kadar mantap dalam plasma tercapai dalam 40 menit.
Respons bergantung pada aktivitas uterus yang sudah ada, sensitivitas uterus,
dan status serviks yang berkaitan dengan lama kehamilan dan perbedaan biologis
perorangan. Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960) melaporkan bahwa respons uterus
terhadap oksitosin meningkat dari minggu ke-20 sampai ke-30, tetapi tidak
berubah dari minggu ke-34 sampai aterm, ketika sensitivitasnya meningkat dengan
pesat. Satin dkk., (1992) mempelkajari faktor-faktor yang mempengaruhi dosis
oksitosin yang dibutuhkan untuk mengstimulasi persalinan secara adekuat pada
1773 kehamilan. Predikator penting untuk dosis oksitosin adalah pembukaan
serviks, paritas dan usia gestasi.
Oksitosin sintetik biasanya
diencerkan dalam 1000 ml larutan garam fisiologis yang diberikan melalui pompa
infus. Pemberian melalui rute lain tidak dianjurkan untuk stimulasi persalinan.
Untuk menghindari penberian bolus, infus harus dimasukan ke dalam selang
intravena utama dekat dengan tempat pungsi vena. Infusat oksitosin yang lazim
terdiri dari 10 hingga 20 unit ekivalen dengan 10.000-20.000 mU yang
dicampurkan ke dalam 1000 ml larutan Ringer laktat, sehingga dihasilkan
konsentrasi oksitosin masing-masing 10-20 mU/ml.
Di parkland hospital sejak tahun 1996-1999, lebih dari 15.000 wanita
mendapat oksitosin untuk induksi atau augmentasi persalinan mereka. Pengawasan
langsung dilakukan oleh perawat terlatih dan dilakukan pemantauan elektronik
terhadap frekuensi denyut jantung janin dan aktivitas uterus secara kontinu. Umumnya
oksitosin dihindari dari kasus-kasus kelainan presentasi janin dan overdistensi
uterus yang mencolok, misalnya karena hidramnion patologis, janin yang terlalu
besar atau janin multipel. Wanita dengan paritas tinggi (6 atau lebih) umumnya
tidak diberi oksitosin karena mereka mudah mengalami ruptur uteri.
Di parkland
hospital, oksitosin biasanya tidak diberikan kepada wanita yang memiliki
jaringan parut pada uterus dan janin hidup. Sebaliknya, di University of Alabama atau University
of Texas di Houston, riwayat seksio sesarea sebelumnya bukan merupakan
kontraindikasi untuk induksi atau augmentasi. Kondisi janin harus meyakinkan,
berdasarkan frekuensi denyut jantung dan tidak adanya mekonium kental dalam
cairan amnion. Janin yang meninggal bukan merupakan kontraindikasi untuk
pemakaian oksitosin kecuali apabila jelas terdapat disproporsi sefalopelvik.
Dosis Oksitosin
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1999), regimen
oksitosin yang mana pun dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Beberapa
regimen disajikan selam ini, hanya variasi protokol dosis rendak yang digunakan
di Amerika Serikat. Pada tahun 1984, O’Driscoll dkk. Menjelaskan suatu protokol
untuk penatalaksanaan aktif persalinan yang memerlukan oksitosin dengan dosis awal
6 mU/mnt. Setelah protokol ini dipublikasikan, selama tahun 19990an dilakukan
banyak uji klinis yang membandingkan regimen dosis tinggi (4-6 mU/mnt) versus
dosis rendah konvensional (0,5-1,5 mU/mnt) baik untuk induksi maupun
augmentasi.
Di parkland
hospital, satin dkk. (1992) meneliti suatu regimen oksitosin sebesar 1
mU/mnt yang dibandingkan dengan dosis 6 mU/mnt. Pada regimen dosis rendah,
peningkatan 1 mU/mnt diberikan sesuai kebutuhan dengan interval 20 menit. Pada
protokol dosis tinggi, peningkatan 6 mU/mnt diberikan sesuai kebutuhan dengan
interval 20 menit untuk mencapai dosis maksimum 42 mU/ mnt. Protokol
membolehkan penurunan dosis sebesar 3 mU/mnt apabila terjadi hiperstimulasi
uterus. Protokol dosis tinggi yang fleksibel ini dievaluasi pada hampir 5000
kehamilan dan terbukti lebih efektif dari pada infus dosis rendah. Secara
spesifik, pada 1112 wanita yang menjalani induksi persalinan, regimen dosis
tinggi menghasilkan interval waktu antara rawat inap sampai melahirkan yang
lebih singkat, angka kegagalan induksi yang lebih rendah, dan tidak menimbulkan
sepsis neonatus. Pada 1676 wanita yang menjalani augmentasi persalinan, mereka
yang mendapat regimen dosis tinggi secara bermakna memperlihatkan interval
waktu antara pemberian sampai melahirkan yang lebih singkat, angka pelahiran
dengan forseps yang lebih rendah, angka seksio sesarea atas indikasi distosia
yang lebih rendah, kasus korioamnionitis intrapartum yang lebih sedikit, dan
sepsis neonatus yang lebih jarang
Dalam laporan oleh Satin dkk. (1992)
ini, hiperstimulasi diidentifikasikan pada sekitar separuh diantara wanita
dengan regimen dosis tinggi. Keadaan ini diatasi dengan menghentikan oksitosin
diikuti oleh pemberian kembali apabila diindikasikan tetapi dengan dosis
separuh dari dosis ditingkatkan sebesar 3 mU/mnt apabila diindikasikan,
sedangkan pada yang tidak mengalami hiperstimulasi peningkatannya adalah 6
mU/mnt. Wanita yang mendapat regimen 6 mU/mnt untuk augmentasi persalinan
menjalani seksio sesarea atas indikasi “gawat janin” sebanyak 6 persen
dibandingkan dengan 3 persen pada mereka yang mendapat regimen dosis rendah.
Tidak dijumpai efek samping neonatus pada kedua kelompok.
Xanakis dkk. (1995) melaporkan manfaat
regimen dosis tinggi yang dimulai dengan dosis 4 mU/mnt dan ditingkatkan 4
mU/mnt setiap kalinya. Merrill dan Zlatnik (1999) membagi secara acak 1307
wanita dengan induksi(816) atau augmentasi (491) persalinan untuk mendapat
oksitosin dosis rendah yang diberikan sebesar 1,5 mU/mnt dengan peningkatan 1,5
mU/mnt setiap kalinya. Wanita yang mendapat regimen dosis tinggi secara
bermakna memperlihatkan interval dari induksi sampai persalinan kala dua dan
dari induksi sampai melahirkan, nulipara pada kelompok dosis tinggi
memperlihatkan kecendrungan penurunan angka seksio sessarea atas indikasi
disproporsi dibandingkan dengan mereka dari kelompok dosis rendah (5,9 versus
11,9 persen, P = 0,06). Diantara wanita yang menjalani augmentasi, mereka yang
secara acak mendapat regimen dosis tinggi juga memperlihatkan waktu persalinan
yang lebih singkat, tetapi angka seksio sesarea yang setara.
Manfaat yang dijumpai condong kearah
regimen dosis tinggi. Pada tahun 19990, regimen oksitosin 6 mU/mnt mulai
digunakan secara rytin di Parkland
Hospital. Di University of Alabama,
digunakan regimen ini digunakan baik untuk induksi maupun augmentasi
persalinan, dengan peningkatan dosis dilakukan secara bertahap.
Meningkatkan Interval
Dosis
Terdapat sejumlah regimen oksitosin
dengan interval untuk meningkatkan dosis yang bervariasi dari setiap 15 menit sampai
setiap 40 menit sekali. Satin dkk. (1994) membandingkan sebuah regimen yang
dimulai pada 6 mU/mnt dengan peningkatan setiap kalinya sebesar 6 mU/mnt setiap
20 menit versus 40 menit. Wanita yang mendapat regimen interval 20 menit untuk
augmentasi persalinan memperlihatkan penurunan bermakna dalam angka seksio
sesarea atas indikasi distosia dibandingkan dengan mereka yang mendapat regimen
dengan interval 40 menit (8 versus 12 persen). Pada wanita dengan induksi
persalinan, hiperstimulus uterus secara bermakna lebih tinggi pada regimen 20
menit dibandingkan dengan regimen 40 menit (40 versus 31 persen). Karena
kekhawatiran akan hiperstimulasi, pada protokol yang sekarang berlaku di Parklan Hospital adalah memulai
oksitosin dengan dosis 6 mU/mnt, dengan peningkatan bertahap setiap 40 menit,
tetapi jadwal pemberian dosis bersifat fleksibel bergantung pada ada tidaknya
hiperstimulasi.
Peneliti-peneliti lain melaporkan
keberhasilan regimen dosis tinggi yang ditingkatkan dengan interval dosis yang
semakin singkat. Frigoletto dkk. (1995) serta Xenakis dkk. (1995) melalui
oksitosin pada dosis 4 mU/mnt yang ditingkatkan setiap 15 menit sesuai
kebutuhan. Merrill dan Zlantnik (1999) memulai dengan 4,5 mU/mnt yang ditingkatkan setiap 30 menit.
Lopez-Zeno dkk. (1992) memulai dengan 6 mU/mnt dengan peningkatan setiap 15
menit. Variasi lain juga digunakan sebagai contoh, di University of Albama di
Birmingham, oksitosin intravena untuk induksi atau augmentasi persalinan
dimulai dengan dosis 2 mU/mnt dan ditingkatkan sesuai kebutuhan setiap 15 menit
menjadi 4,8,12,16,20,25, dan 30 mU/mnt.
Risiko
Versus Manfaat
Oksitosin adalah obat yang kuat, tetapi
bencana mennggal dan cedera pada ibu dan janin akibat ruptur uteri yang lebih
dahulu dilaporkan sekarang karang dijumpai. Hal ini disebabkan oleh telah
dilakukannya untuk menata pemberiannya serta
mengkualifikasi efektivitas dan kemanannya. Ruptur uteri berkaitan
dengan pemakaian oksitosin jarang dijumpai bahkan pada wanita para, kecuali
apabila terdapat jaringan parut.
Oksitosin memiliki homologi asam amino
yang serupa dengan vasopresin arginin. Dengan demikian, apabila diinfuskan
dalam dosis tinggi obat ini menimbulkan efek antidiuretik yang bermakna.
Apabila infus diberikan dalam dosis 20 mU/mnt atau lebih, bersihan air bebas
dari ginjal menurun secara nyata. Apabila paien mendapat infus yang mengandung
air dalam jumlah yang cukup besar bersamaan dengan infus oksitosin, dapat
terjadi intoksikasi air yang menimbulkan kejang, koma, dan bahkan kematian.
Tekanan Kontraksi Uterus
Pada Stimulasi Oksitosin
Dalam penatalaksanaan macetnya persalian
fase aktif, dan tanpa kontraindikasi oksitosin intravena, maka dibuat keputusan
dengan mengetahui rentang atas yang aman bagi aktivitas uterus pada persalinan
spontan. Walaupun tidak ada kemajuan persalinan, tidak timbul efek samping pada
ibu dan janin setelah seksio sesarea.
American
College Of Obstetricians And Gynecologist (1995a)
merekomendasikan bahwa sebelum didiagnosis adanya kemacetan persalinan kala
satu, pola kontraksi uterus harus melebihi 200 satuan Mentivideo selama 2 Jm
tanpa perubahan serviks. Diperlukan lebih banyak data pasti mengenai kemanan
dan efektivitas kontraksi pada subkelompok wanita dengan riwayat seksio
sesarea, bayi kembar, uterus yang teregang berkebihan, atau korioamnionitis.
Lama Pemberian
Oksitosin
Pada tahun 1989, American College Of Obstetricians And Gynecologist mendefinisikan kemacetan pada persalinan
kala satu sebaagai selesainya fase laten disertai pola kontraksi uterus yang
lebih dari 200 satua Mentovideo yang telah berlangsung lebih dari 2 jam tanpa
disertai perubahan serviks. Hanya sedikit data yang menunjang rekomendasi yang
lebih akurat mengenai lama augmentasi untuk kemacetan fase aktif. Arullkumaran
dkk.(1987) memperpanjang batas 2 jam untuk mendefinisikan keggalan augmentasi.
Dengan menggunakan batas 4 jam, mereka melpaorkn angka seksio sesarea hanya 1,3
pasien diantara mereka yang terus memperlihatkan kontrasi yang memadai. Bagi
mereka yang tidak memeperlihatkan kemajuan, masih diberikan waktu 4 jam lagi,
dan sepertiga di antara mereka melahirkan per vaginam.
Riuse dkk. (1999) meneliti 542 wanita
aterm dengan kemacetan fase aktif yang ditangani dengan suatu protokol
prosektif. Protokol ini tidak mencantumkan aturan batas-batas 2 jam, tetapi
lebih dimaksudkan untuk mencapai pola kontraksi lebih dari 200 satuam
Mentivideo yang erlangsung selama minimal 4 jam. Waktu ini diperpanjang menjadi 6 jam apabila aktivitas yang lebih
dari 200 satuan Mentivideo tidak dapat dipertahankan. Hampir 92 paien diantaranya melahirkan
per vaginam. Karena wanita dengan risiko seksio sesarea, gestasi
multipel, presentasi selain puncak kepala, atau korioamnionitis tidak
disertakan, maka para peneliti ini merekomendasikan bahwa perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
2.
pemberian cairan hipertonik intrauterin
a.
pemberian cairan
hipertonik dipakai untuk merangsang kontraksi rahim pada kehamlan dengan janin
mati. Cairan hipertonik yang dipakai dapat berupa cairan garam hipertonik 20%,
urea dan lain-lain. Kadang-kadang pemakaian urea dicampur dengan prostaglandin
untuk memperkuat rangsangan pada otot-otot rahim.
b.
Cara ini biasanya dilakukan pada
kehamilan di atas 16 minggu di mana rahim sudah cukup besar. Secara transuterin
atau amniosentesis, ke dalam kantong amnion (yang sebelumnya cairan amnionnya
telah dikeluarkan dahulu) kemudian dimasukkan larutan garam hipertonik dan
larutan gula hipertonik (larutan garam 20% atau larutan glukosa 50%) sebagai
iritan pada amnion dengan harapan akan terjadi his. Sebaiknya diberikan
oksitosin drip yaitu: 10-20 satuan oksitosin dalam 500 cc dektrosa 5% dengan
tetesan 15 sampai 25 tetes per menit. Penderita diobservasi baik-baik.
c.
Cara ini dapat
menimbulkan penyulit yang cukup berbahaya, misalnya hipernatremia, infeski dan
gangguan pembekuan darah.
3.
Pemberian prostaglandin
a.
prostaglandin dapat
merangsang otot-otot polos termasuk juga otot-otot rahim. Prostaglandin yang
spesifik untuk merangsang otot rahim adalah PGE2 dan PGF2 alpha. Untuk induksi
persalinan prostaglandin dapat diberikan intravena, oral, vagina, rektal dan
inta amnion. Pada kehamilan aterm, induksi persalinan dengan prostaglandin
cukup efektif. Pengaruh sampingan dari pemberian prostaglandin ialah mual,
muntah dan diare.
b. Biasanya
dipergunakan PGE2 atau PGR2α per infus. 5 mg PGR2α dilarutkan
dalam 500 ml glucose 5% dengan kecepatan 1/2 ml/ menit.
Tiap ¼ jam dapat dinaikan ½ ml/per menit sampai timbul his yang baik, dengan
kecepatan maksimal 4 ml/menit.
C.
Cara
kombinasi
Cara kombinasi ialah pemecahan ketuban dengan
pemberian oxytocin atau pemecahan ketuban dengan pemberian prostaglandin. Pada
umumnya cara ini lebih berhasil. Kalau induksi gagal dan ketuban sudah
dipecahkan maka kehamilan harus diakhiri dengan SC. Sebaiknya kalau ketuban
belum pecah, induksi dapat diulangi setelah 24-48 jam.
Pada umumnya
cara kombinasi akan berhasil kalau induksi partus gagal sedangkan ketuban sudah
pecah pembukaan serviks tidak memenuhi syarat untuk pertolongan operatif
pervaginam, satu-satunya jalan adalah mengakhiri kehamilan dengan seksio
caesarea.
Skor Pelvis Menurut Bishop
Skor Bishop
|
0
|
1
|
2
|
3
|
Dilatasi serviks
Pembukaan konsistensi
Posisi janin
Posisi serviks
|
<1
>4
Keras
-3
Posterior
|
1-2
2-4
sedang
-2
Central
|
2-4
1-2
lunak
-1
Anterior
|
>4
<1
+1, +2
|
Sumber : Magowan, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar