2.1 Definisi Infertilitas
Infertilitas menyatakan
kesuburan yang berkurang . Suatu pasangan disebut infertil kalau sang istri tidak
hamil salam waktu 1 (satu) tahun setelah kawin tanpa mempraktekkan kontrasepsi
(disengaja).(3)
Infertilitas merupakan
suatu permasalahan yang cukup lama dalam dunia kedokteran. Namun sampai saat
ini ilmu kedokteran baru berhasil menolong ± 50% pasangan infertil untuk
memperoleh anak. Perkembangan ilmu infertilitas lebih lambat dibanding cabang
ilmu kedokteran lainnya, kemungkinan disebabkan masih langkanya dokter yang
berminat pada ilmu ini. (4)
2.2 Penyebab Infertilitas (5)
- Faktor
usia wanita
- Faktor
waktu lamanya perkawinan
- Faktor
suami (kelainan genitalia dan fungsi hubungan seks)
- Faktor
istri (gangguan hormonal, gangguan genitalia, faktor lendir serviks)
- Faktor yang sebabnya tidak jelas (imunitas,
psikologis)
2.2.1 Faktor yang penting yang dapat mempengaruhi kesuburan,
antara lain: (6)
·
Usia : Untuk pria puncak kesuburan adalah usia 24-25 tahun
dan 21-24 tahun untuk wanita, sebelum usia tersebut kesuburan belum benar
matang dan setelahnya berangsur menurun.
·
Lingkungan : baik fisik, kimia maupun biologis (panas,
radiasi, rokok, narkotik, alkohol, infeksi, dll).
·
Gizi dan nutrisi : terutama kekurangan protein dan vitamin
tertentu.
·
Stress psikis : mengganggu siklus haid, menurunkan libido
& kualitas spermatozoa, dll.
2.2.2 Penyebab
pada laki-laki: (6)
·
Kelainan anatomi : hypo-epispadia (kelainan letak lubang
kencing), micropenis (penis sangat kecil), undescencus testis (testis masih dalam
perut/lipat paha), dll.
·
Gangguan fungsi : disfungsi ereksi berat (impotensi),
ejakulasi retrograde (ejakulasi balik), dll.
·
Gangguan spermatogenesis : oligo/terato/asthenozoospermia
(kelainan jumlah, bentuk, gerak sperma).
·
Lain-lain : hernia scrotalis (hernia berat sampai ke kantung
testis), varikokel (varises pembuluh darah balik testis), imunologis, infeksi,
dll.
2.2.3 Penyebab pada wanita: (6)
·
Faktor vagina : vaginismus (kejang otot vagina), vaginitis (radang/infeksi
vagina), dll.
·
Faktor servik (mulut rahim) : polip (tumor jinak), stenosis
(kekakukan mulut rahim), non hostile mucus (kualitas lendir mulut rahim jelek),
anti sperm antibody (antibodi terhadap sperma), dll.
·
Faktor uterus (rahim) : myoma (tumor otot rahim),
endometritis (radang sel. lendir rahim), endometriosis (tumbuh sel. lendir
rahim bukan pada tempatnya), uterus bicornis, arcuatus, asherman’s syndrome,
retrofleksi (kelainan bentuk dan posisi rahim), prolap (pemburutan, penyembulan
rahim ke bawah).
·
Faktor tuba fallopi (saluran telur) : pembuntuan,
penyempitan, pelengketan saluran telur (bisa karena infeksi atau kelainan
bawaan).
·
Faktor ovarium (indung telur) : tumor, kista, gangguan
menstruasi (amenorhoe, oligomenorhoe dengan/tanpa ovulasi). Organ ini
berinteraksi dengan pusat pengendali hormon di otak (hypothalamus dan
hipofisis) dalam mengatur siklus menstruasi.
2.4 Penyebab dari Faktor Servik (1)
Servik biasanya mengarah ke bawah-belakang, sehingga berhadapan langsung
dengan dinding belakang vagina. Kedudukan yang demikian itu memungkinkannya
tergenang dalam air mani yang disampaikan pada fornik posterior.
Kanalis servikalis yang dilakukan lekukan-lekukan seperti kelenjar yang
mengeluarkan lendir, sebagian dari sel-sel epitelnya mempunyai silia yang
mengalirkan lendir servik ke vagina. Bentuk kanalis servikalis seperti memungkinkan
ditimpun dan dipeliharanya spermatozoa motil dari kemungkinan fagositosis dan
juga terjaminnya penyampaian spermatozoa ke dalam kanalis servikalis secara
terus menerus dalam jangka waktu lama.
Migrasi spermatozoa ke dalam lendir servik sudah dapat terjadi pada hari
ke-8 atau ke-9, mencapai puncaknya pada saat-saat ovulasi, kemudian terhambat
pada 1-2 hari setelah ovulasi. Spermatozoa sudah dapat sampai pada lendir
serviks 11/2 – 3 menit setelah ejakulasi. Spermatozoa yang
tertinggal dalam lingkungan vagina yang lebih dari 35 menit tidak lagi mampu
bermigrasi ke dalam lendir servik. Spermatozoa motil dapat hidup dalam lendir
servik sampai 8 hari setelah sanggama.
Infertilitas yang berhubungan dengan faktor servik dapat disebabkan oleh
sumbatan kanalis servikalis, lendir servik yang abnormal, malposisi dari servik,
atau kombinasinya. Terdapat berbagai kelainan anatomi servik yang dapat
berperan dalam infertilitas, yaitu cacat bawaan (atresia), polip servik
stenosis akibat trauma, peradangan (servisitis menahun), sinekia (biasanya
bersamaan dengan sinekia intrauterine) setelah konisasi, dan inseminasi yang
tidak adekuat.
2.5 Masalah serviks (6)
Walaupun
servis merupakan sebagian dari uterus, namun artinya dalam reproduksi manusia
baru diakui pada abad ke 19. Sims pada tahun 1868 adalah orang pertama yang
menghubungkan servik dengan infertilitas, melakukan pemeriksaan lendir servik
pascasanggama, dan melakukan inseminasi buatan. Baru beberapa lama kemudian Huhner
memperkenalkan uji pascasanggama yang dilakukan pada pertengahan siklus haid.
Infertilitas yang berhubungan
dengan faktor servik dapat disebabkan oleh sumbatan kanalis servikalis, lendir
servik yang abnormal, malposisi dari servik, atau kombinasinya. Terdapat berbagai
kelainan anatomi servik yang dapat berperan dalam infertilitas, yaitu cacat
bawaan (atresia), polip servik, stenosis akibat trauma, peradangan (servisitis
menahun), sinekia (biasanya bersamaan dengan sinekia inrauterin) setelah
konisasi, dan inseminasi yang tidak adekuat. Vaginitis yang disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis dan Candida albicans dapat menghambat motilitas
spermatozoa. Akan tetapi perubahan pH – akibat vaginitis ternyata tidak
menghambat motilitasnya.
2.6 Pemeriksaan Lendir Servik (6)
2.6.1 Keadaan dan sifat lendir yang mempengaruhi keadaan
spermatozoa adalah :
·
Kentalnya lendir servik; Lendir servik yang mudah dilalui
spermatozoa adalah lendir yang cair.
·
pH lendir servik; pH lendir servik ± 9 dan bersifat alkalis.
·
Enzim proteolitik.
·
Kuman-kuman dalam lendir servik dapat membunuh spermatozoa.
2.6.2 Baik
tidaknya lendir servik dapat diperiksa dengan :
- Sims
Huhner Test (post coital tes), dilakukan sekitar ovulasi. Pemeriksaan ini
menandakan bahwa : teknik coitus baik, lendir servik normal, estrogen
ovarial cukup ataupun sperma cukup baik.
- Kurzrork
Miller Test, dilakukan bila hasil dari pemeriksaan Sims Huhner Test kurang
baik dan dilakukan pada pertengahan siklus.
Terapi yang diberikan
adalah pemberian hormone estrogen ataupun antibiotika bila terdapat infeksi.
2.6.3 Perubahan lendir servik
Ovulasi
terjadi bersamaan dengan memuncaknya pengaruh estrogen pada pertengahan siklus
haid. Sesungguhnya penurunan pengaruh estrogen setelah memuncak itulah yang
dipakai sebagai penunjuk terjadinya ovulasi. Respon alat-sasaran estrogen,
sekurang-kurangnya dalam batas tertentu, berbanding langsung dengan besar
rangsangannya. Oleh karena itu, pemeriksaan lendir servik dan usap vagina
serial dapat menentukan telah terjadinya dan saat terjadinya ovulasi,
berdasarkan perubahan-perubahan sebagai berikut:
- Bertambah besarnya
pembukaan ostium eksternum servik.
- Bertambah banyaknya
jumlah, bertambah panjangnya daya membenang, bertambah jernihnya, dan
bertambah rendahnya viskositas lendir servik.
- Bertambah tingginya
daya serbu spermatozoa.
- Peningkatan
persentase sel-sel kariopiknotik dan eosinofilik pada usap vagina.
2.7 Penilaian Faktor Servik (2)
a. Faktor servik berperan
pada kira-kira 10% kasus infertilitas wanita. Riwayat pembedahan servik seperti
konisasi, krioterapi atau kauter dapat meningkatkan kecurigaan adanya faktor
servik, walaupun terdapat bukti yang baik bahwa proses tersebut tidak selalu
mengganggu fertilitas. Tanpa memandang dari riwayat pasien, tes pascasanggama
(PCT ; postcoital test) adalah inti dari semua penilaian faktor
servik. Untuk dapat memberikan arti tes pascasanggama harus dilakukan selama
fase praovulatorik dari siklus ovulatorik.
b. Tes pascasanggama yang
normal, didefinisikan sebagai kualitas mucus servik yang baik dan 10 sperma
yang bergerak secara progesif per lapangan pandang, adalah meyakinkan, berarti
kualitas semen yang baik, potensi ejakulasi yang baik, dan mukus servik yang
reseptif. Jika infertilitas terus terjadi, tes pascasanggama harus diulangi
tiap 6 bulan untuk memastikan bahwa tidak terjadi perubahan. Kepentingan
stenosis servik dengan PCT yang normal adalah tidak jelas, tetapi jika
infertilitas menetap, terapi dapat dipertimbangkan.
c. Kepentingan PCT abnormal
adalah kontroversial, karena sperma intraperitoneal telah ditemukan pada
laparoskopi setelah PCT yang buruk. Definisi suatu PCT yang abnormal adalah
kontroversial. Tidak adanya sama sekali sperma yang bergerak atau temuan kurang
dari lima sperma yang motil per lapangan pandang kuat mengharuskan perhatian
dan pemeriksaan lebih lanjut.
d. Kualitas mukus servik yang
buruk walaupun pemilihan waktu praovulasi yang optimal dan hasil analisis semen
yang baik adalah menyatakan penyebab servikal dari PCT yang abnormal. Biakan
servik untuk Chlamydia dan Ureaplasma mungkin menolong dalam mengarahkan terapi
antibiotika.
e. Jika PCT adalah abnormal
walaupun terdapat kualitas mukus servik pertengahan siklus yang baik, tes
penetrasi sperma mukus in vitro adalah sangat menolong dalam membedakan
penyebab servik dari penyebab laki-laki. Analisis semen memberikan informasi
tambahan. Jika hasil dari analisis semen dan tes penetrasi mukus in vitro
mengarahkan pada faktor laki-laki, perhatian dialihkan dari servik. Jika hasil
analisis semen normal dan tes in vitro menyatakan suatu faktor servik, tes
imunologis dengan immunobead test diindikasikan. Jika tidak terdapat antibodi
antisperma, diagnosis yang dibuat adalah infertilitas faktor servik idiopatik.
Inseminasi buatan dari suami mungkin member hasil.
f. Jika biakan adalah
negatif, kualitas mukus yang buruk dapat diperbaiki dengan memberikan estrogen,
pergonal atau krioterapi. Jika terapi yang empirik dan belum dibuktikan tersebut
gagal untuk menormalkan kualitas semen, inseminasi buatan dari suami dengan
menggunakan teknik intrauterine dengan sperma yang dicuci dan dimigrasi,
mungkin bermanfaat.
2.8 Tes Pascasanggama : Komponen Servik (2)
a. Algoritma ini dan algoritma tentang komponen sperma menawarkan
pendekatan bertahap untuk melakukan tes pacasanggama (PCT ; postcoital test)
untuk penilaian infertilitas faktor servik. Tes pascasanggama atau tes
Sims-Huhner harus dilakukan saat bagian praovulatorik dari siklus menstruasi. Pemilihan
waktu adalah identik dengan yang dilakukan untuk menjadwalkan inseminasi
buatan, dengan kombinasi pola temperature tubuh basal (BBT), kadar luteinzing
hormone (LH) urin dan skor servik. Pasangan harus tidak melakukan hubungan
seksual selama 2 hari sebelum tes, karena diperlukan waktu 48 jam untuk
memenuhi cadangan sperma. Interval yang optimal adalah controversial dan
anjurannya terentang dari 1 sampai 12 jam.
b. Jika skor servik adalah abnormal dengan ostium servik yang tertutup
dan mukus servik yang sedikit, tebal, keruh dan seluler, pikiran pertama
haruslah menilai pemilihan waktu. Pasien harus mencatat BBT dan banyak akan
mengikuti kadar LH urin dengan kit pemantau yang digunakan sendiri di rumah.
Jika waktunya telah terlambat dan ovulasi telah terjadi, perubahan pola BBT
atau kadar LH urin harus terlihat.
c. Penilaian faktor sperma yang akurat setelah hubungan seksual dapat
dilakukan hanya jika terdapat mukus servik pertengahan siklus yang optimal.
Sperma yang paling kuat dan gigih sekali pun tidak dapat berbuat banyak di
dalam mukus yang sedikit, tebal dan selular yang ditemukan selain dari saat
pertengahan siklus. Skor servik menghitung volume mukus servik, spinnbarkeit,
selularitas, ferning dan keadaan ostimu servik. Dalam keadaan normal ostimu
servik di pertengahan siklus adalah terbuka dan terdapat sejumlah besar mukus
servik yang jernih, tipis dan elastik yang keluar dari ostium servik. Secara
mikroskopis, mukus pertengahan siklus adalah aselular dan menunjukkan pola daun
paku (ferning) yang banyak.
d. Jika tidak terdapat perubahan tersebut dapat dianggap bahwa pemilihan
waktu adalah terlalu dini atau terdapat faktor servik. PCT serial tiap 48 jam
adalah sangat berguna. Jika skor servik adalah normal pada tes ulang, tes
pertama dilakukan terlalu cepat. Jika skor tetap abnormal, pemilihan waktu
harus diperhatikan kembali. Jika fase masih dalam praovulatorik, PCT harus
diulangi. Jika telah pascaovulatorik, tes yang lebih cepat 48 jam sebelumnya
adalah optimal dalam pemilihan waktunya dan masalahnya adalah pada servik
sendiri, baik merupakan masalah anatomic, seperti stenosis servik atau
servistis atau mukus servik“bermusuhan” idiopatik.
2.9 Tes Pascasanggama : Komponen Sperma (2)
a. Aspek yang terpenting
dan tersulit dari les pascasanggama (PCT; postcoital test) adalah
pemilihan waktu pertengahan siklus, yang diperoleh dari pola temperatur tubuh
basal, kadar luteinzing hormone (LH) urin dan skor servik.
b. Tes yang dilakukan pada
waktu yang tidak tepat harus diulang. Kualitas mukus servik yang terus buruk,
walaupun pemilihan waktu adalah optimal, mengidentifikasi faktor servik.
c. Kualitas mukus
pertengahan siklus yang baik pada seorang pasien dengan skor servik yang normal
memungkinkan penilaian penetrasi sperma dan interaksi sperma-mukus. Langkah
pertama adalah pemeriksaan mikroskopis dari sampel mukus yang ditempatkan pada
lempeng kaca yang bersih dan ditutupi oleh coverslip. Mukus harus
diambil dari dalam kanalis servik bukannya dari eksoservik dengan kapas. Pada
pasangan dengan analisis semen yang normal dan kualitas mukus servik yang abik,
tidak adanya sperma di dalam mukus pada pemeriksaan mikroskopis menyatakan
adanya masalah koitus atau masalah pada interaksi sperma-mukus. Langkah
selanjutkan adalah menilai sperma di pool vagina.
d. Jika pemeriksaan
mikroskopis awal pada mukus servik menujukkan adanya sperma, motilitasnya harus
dinilai. Kualitas tes dinilai dari jumlah sperma yang bergerak maju secara
progresif per lapangan pandang kuat (hpf; high power field), bukan
dari jumlah total sperma. Sperma yang hanya bergerak-gerak di tempat atau
bergerak “bolak-balik” adalah abnormal dan harus mengarahkan kecurigaan adanya
antibodi antisperma. Definisi tes pascasanggama yang normal adalah
kontroversial. Jelas tidak adanya sperma yang bergerak adalah abnormal dan
memerlukan follow-up dengan tes ulang dan tes penetrasi silang mukus in vitro (in
vitro mucus cross penetration test). PCT yang normal, yang didefinisikan
sebagai kualitas mukus servik yang baik dan 10 atau lebih sperma yang bergerak
maju per hpf, adalah menentramkan dan berarti kualitas semen yang baik, potensi
ejakulasi, dan mukus servik yang reseptif. Hasil tes yang pertengahan, kurang
menentramkan dan memerlukan follow-up serta pertimbangan tes penetrasi silang
mukus in vitro.
e. Jika sperma ditemukan
di pool vagina tetapi tidak terdapat di mukus servik, tes pascasanggama harus
diulangi. Gambaran yang serupa pada PCT ulang menyatakan faktor sperma atau
mukus servik yang “tidak dapat ditembus” yang keduanya mungkin berhubungan
dengan antibodi antisperma. Tes penetrasi silang mukus in vitro dapat digunakan
untuk membedakan anatara masalah servik dan sperma. Jika terdapat sperma yang
bergerak di mukus pada pemeriksaan ulang, jumlah dan pergerakan maju harus
dihitung.
f. Tidak adanya sperma pada mukus
servik dan sampel cairan vagina menyatakan suatu maslah koitus. Suami mungkin
mengalami impotensi karena stres terhadap hubungan yang terjadwal. Pasangan
mungkin malu mengungkapkan informasi tersebut secara sukarela dan harus
diyakinkan bahwa masalah tersebut adalah sering terjadi dan hanya bersifat
sementara. Pasangan yang kurang mendapatkan informasi mungkin telah mengalami
“seks” tanpa melakukan hubungan vagina, tidak menyadari kepentingan ejakulasi
intravagina. Ejakulasi retrograd bisa memberikan gambaran yang sama, demikian
pula azoospermia. Azoospermia dibuktikan dari analisis semen dan ejakulasi
retrograde ditemukan pada pemeriksaan sampel urin pascasanggama.
2.10 Tes Penetrasi Silang Mukus In Vitro (2)
A. Tes pascasanggama (PCT ;
postcoital test) yang buruk pasien ovulatorik dengan pemilihan waktu
pertengahan siklus yang tepat, skor servik yang normal, serta suami dengan
anlisis semen yang normal dapat disebabkan oleh factor sperma atau servik. Tes
penetrasi silang mucus in vitro (in vitro mucus cross penetration test)
ditujukan untuk membedakan antara factor sperma dan servik dan untuk
mengarahkan pemeriksaan selanjutnya. Tes dilakukan dipertengahan siklus dan
memerlukan tersedianya mucus donor praovulatorik dan sperma donor. Program
inseminasi buatan aktif oleh donor (AID ; artificial insemination by donor)
memberikan jalur kepada keduanya.
B. Telah digunakan dua teknik
yang berbeda untuk menguji interaksi sperma-mukus in vitro : metoda slide dan
teknik pipa kapiler. Metoda slide (lempeng kaca), yang awalnya dijelaskan oleh
Miller dan Kurzrok, adalah lebih kualitatif dan kurang dapat dikuantitasi.
Teknik ini dilakukan dengan meletakkan setetes mucus servik dan setetes semen
berdekatan satu sama lain di atas sebuah slide kaca. Coverslipe diletakkan secara
berhati-hati di atas kedua tetes tersebut sehingga menyebabkan keduanya kontak
tanpa tercampur. Sperma akan menembus pertemuan semen-mukus. Metoda pipa
kapiler, yang awalnya diperkenalkan oleh Kremer dan dimodifikasi oleh
Overstreet, memerlukan sebuah pipa kapiler kaca yang benar-benar lurus dan
sebuah penampung kecil untuk semen. Mucus servik dimasukkan ke dalam pipa
kapiler dan semen dimasukkan ke dalam penampung semen. Pergerakan sperma ke
dalam kolom mucus dapat diamati secara langsung dengan mikroskop. Jarak dan
densitas penetrasi sperma linier dicatat pada interval waktu tertentu. Metoda
pipa kapiler lebih disukai karena labih kuantitatif.
C. Sebagai kontrol, sperma
donor diuji dengan mucus donor. Penetrasi yang buruk memerlukan kontrol yang
baru dan ketelitian prosedur pengujian. Penetrasi yang normal dari sperma donor
ke mucus donor memastikan tes yang absah.
D. Penetrasi yang normal dari
mucus donor oleh sperma donor dan penetrasi yang abnormal dari mucus pasien
oleh sperma pasien mengharuskan tes silang untuk menguji mucus donor dengan
sperma suami dan mucus pasien dengan sperma donor.
E. Jika sperma suami menembus
mucus pasien secara normal secara in vitro tetapi tidak setelah hubungan
seksual, factor vagina harus dipertimbangkan dan tes pascasanggama diulangi.
PCT yang normal tidak memerlukan pengujian lebih lanjut. PCT yang terus menerus
abnormal menyatakan adanya factor vagina yang tidak dapat dijelaskan. Volume
semen yang rendah mungkin juga berhubungan. Untuk menguji hipotesis factor
vagina, kami melakukan inseminasi intra-servikal dengan Milex cervical cup dan
melakukan PCT pascainseminasi. Jika interaksi sperma mucus adalah normal,
inseminasi buatan dari suami harus dilanjtukan. Jika masih tidak ada sperma
atau sangat sedikit sperma di dalam mucus servik, ketidaksesuaian antara tes in
vitro dan in vivo tetap tidak terjelaskan. Uji coba inseminasi intrauterus
berguna.
F.
Penetrasi normal dari mucus donor oleh sperma suami
menyatakan suatu factor servik. Kegagalan sperma suami untuk menembus mucus
donor menunjukkan suatu factor sperma. Immunobead test diindikasikan untuk
mencari antibody antisperma.
G. Penetrasi normal dari
mucus pasien oleh sperma donor menegakkan eksistensi mucus servik. Pengujian
imunologis ditentukan secara tepat.
2.11 Faktor Anatomik Servik (2)
A. Tes pascasanggama yang
abnormal dengan mucus servik yang sedikit, skor servik yang buruk, stenosis
servik, atau endoservik yang rapuh dan mudah berdarah sebagai respon manipulasi
yang ringan mungkin menyatakan infertilitas factor servik dengan dasar anatomi.
Stenosis servik dapat bersifat congenital, tetapi yang tersering adalah sebagai
akibat konisasi, kauter, atau bedah krio pada servik sebelumnya. Walaupun
prosedur-prosedur tersebut dapat mengganggu endoservik, pembedahan servik tidak
selalu mengganggu fertilitas. Dismenorea didapat setelah pembedahan servik
mendukung suatu diagnosa stenosis servik. Kerapuhan servik dan riwayat
perdarahan pascasanggama mungkin menyatakan suatu polip atau varikositas
endoservik. Tingkat kecurigaan yang tinggi untuk neoplasia servik adalah
penting. Apusan Papanicolaou harus diperiksa dan kolposkopi serta biopsy
terarah dilakukan bilamana diindikasikan.
B. Jika ostium servik
eksternal tampak stenosis, kami mencoba memasukkan dilator servik yang kecil,
melengkung, dan berukuran 2 sampai 4 mm. Seringkali dilator tersebut masuk
secara mudah, dimana tidak ada stenosis servik yang sesungguhnya, dan ostium
eksternal mengalami deaglutinasi dengan sedikit tahanan. Perdarahan biasanya
minimal, dan mucus endoservik seringkali mengalir dari ostium jika prosedur
dilakukan pada pertengahan siklus. Pada kasus ini kami mengulangi tes
pascasanggama dan dilanjutkan sebagaimana mestinya.
C. Jika dilator masuk secara
mudah tetapi menimbulkan perdarahan, kami mencurigai adanya polip atau varikositas
endoservik. Kolposkopi dilakukan dengan speculum endoservik. Cryoprobe atau
laser mungkin berguna untuk mengobati lesi endoservik tersebut. Tes
pascasanggama harus diulangi dalam siklus kedua atau ketiga setelah terapi.
D. Jika dilator kecil tidak
mudah masuk ke dalam ostium internal, dibuat diagnosis stenosis servik yang
sesungguhnya. Jika tidak terdapat riwayat trauma atau neoplasia servik,
dicurigai penyebabnya adalah congenital. Stenosis servik yang kencang adalah
masalah yang sulit, yang sulit untuk diatasi, tetapi penting untuk mencoba
mendapatkan lubang servik yang sekurangnya cukup untuk melakukan
histerosalfingografi dan biopsy endometrium dan untuk melakukan uji coba
inseminasi intrauterine.
E. Aplikasi krim estrogen
vagina dua kali per hari selama 3 sampai 4 minggu dapat memperlunak servik yang
stenotik dan memungkinkan dilator kecil untuk masuk. Pada kasus ini kami
kadang-kadang mampu mendilatasi servik dengan Lamicel atau Laminaria tanpa
dilatasi operatif. Dilatasi ulang di kamar periksa biasanya diperlukan untuk
mencegah stenosis ulang, dan hasilnya seringkali mengecewakan. Jika upaya untuk
mengatasi stenosis servik di ruang periksa gagal, dilatasi operatifdigabung
dengan hiteroskopi laparoskopi, biopsy endometrium, dan pemeriksaan zat warna pada
tuba adalah diperlukan. Pasien-pasien tersebut mungkin juga mengalami sinekia
intrauterine yang mengenai segmen bawah rahim. Kami telah mengobati
pasien-pasien tersebut dengan lisis sinekia, insersi kateter Foley intrauterus,
dan estrogen dosis tinggi dengan cukup berhasil, sekurangnya dalam mendapatkan
kembali ostium servik yang peten yang memungkinkan inseminasi intrauterine.
F.
Tes pascasanggama jarang kembali menjadi normal setelah
prosedur tersebut. Uji coba inseminasi intrauterine diperlukan jika mucus
servik terus memiliki kualitas yang buruk.
2.12 Servisitis (2)
A. Tes pascasanggama yang
abnormal dengan mucus servik yang kental, purulen, selular, dengan atau tanpa
secret vulvovagina, eritema, atau lesi, walaupun pada waktu pertengahan siklus
yang optimal, mungkin menyatakan infertilitas factor servik dengan etiologi
infeksi. Servik mungkin berwarna merah atau granular. Kista Nabothian dapat
terbentuk sebagai akibat oklusi kelenjar endoservik.
B. Penyakit servik ptimer
atau penyakit sekunder akibat infeksi vagina primer dapat menyebabkan lekorea
yang berasal dari servik. Dengan demikian, secret vagina harus diperiksa secara
mikroskopik untuk mencari organism yang menyebabkan vaginitis. Pada saat yang
sama servik harus dibiak untuk mencari organisme. Jika pengenceran sejumlah
kecil secret vagina dengan kalium hidroksida 10 % menunjukkan sel budding yang
oval dengan pseudomiselia, dapat dibuat diagnosis kandidiasis. Terapi dengan
salah satu obat antijamur (misalnya clotrimazole, miconazole atau nystatin)
harus diberikan. Trikomoniasis, didiagnosis dengan menemukan organisme
berflagel yang bergerak dari satu tetes secret vagina yang bercampur dengan
salin normal, harus diterapi dengan metronidazole pada kedua pasangan. Adanya
clue cells, yaitu sel epitel skuamosa
vagina yang tampaknya granular karena organisme pada permukaan sel adalah
berhubungan dengan infeksi Gardnerella vaginalis. Obat terpilih untuk infeksi
ini adalah ampicillin atau metronidazole untuk pasien dan pasangannya.
C. Biakan servik yang positif
harus menuntun terapi spesifik-doxycycline untuk infeksi Chlamydia atau
Ureaplasma dan protocol yang tepat dari Center for Disease Control (CBC) untuk
gonorea. Pendekatan alternative adalah membiak gonokokus saja dan secara
empiris mengobati semua pasien yang memiliki secret servik mukopurulen dengan
doxycycline dan biakan untuk Chlamydia dan Ureaplasma saja jika PCT tetap
abnormal setelah terapi. Walaupun peranan Chlamydia pada infertilitas tuba
tampaknya telah diketahui dengan baik, efeknya pada servik masih kurang jelas
dan peranan mikroplasma genital pada infertilitas adalah diragukan. Uji coba
terkendali dengan doxycycline telah gagal untuk meningkatkan fertilitas secara
bermakna.
D. Jika tidak terdapat
tanda-tanda vaginitis dan biakan servik sama sekali negative, namun
PCT tetap abnormal dengan kualitas mucus servik yang buruk, diagnosis adalah mucus servik “bermusuhan” idiopatik.
PCT tetap abnormal dengan kualitas mucus servik yang buruk, diagnosis adalah mucus servik “bermusuhan” idiopatik.
2.13 Faktor servik idiopatik (2)
A. Mukus servik
periovulatorik yang memiliki kuantitas atau kualitas abnormal tanpa tanda-tanda
penyebab infeksi atau anatomic mungkin disebabkan oleh stimulasi sel penghasil
mucus . Sel penghasil mucus di endoservik yang tidak adekuat karena kadar sel
estrogen yang rendah atau kegagalan sel endoservik untuk berespon terhadap
estrogen dengan kadar yang normal. Jika clomiphene citrate telah digunakan
untuk menginduksi ovulasi, efek antiestrogeniknya dapat menyebabkan penurunan
produksi mucus.
B. Estrogen eksogen harus
diberikan hanya dalam separuh ke dua fase folikuler, pada saat dimana kadar
estriol endogen mulai meningkat menuju puncak praovulatorik. Esterogen yang
diberikan terlalu dini dalam siklus dapat menekan gonadotropin secara premature
dan menghambat atau memperlambat ovulasi.
C. Bedah krio telah digunakan
untuk terapi infertilitas servik jika dicurigai terjadi servisitis kronis
walaupun hasil biakannya negative atau kegagalan berespon terhadap doxycycline.
Hal ini dapat diterima terutama jika terdapat mucus tetapi selalu secara
kronis,ketimbang jika mucus servik sedikit atau tidak ada.
D. Pergonal diberikan seperti
untuk induksi ovulasi pada infertilitas anoulatorik atas fertilisasi in vitro
(IVF). Alasan pemakainnya pada infertilitas servikal adalah untuk merangsang
kelenjar endoservik melalui hiperestrogenisme. Risiko kehamilan ganda dan
hiperstimulasi ovarium serta biaya dan kesulitan injeksi setiap hari dan
pemantyauan harus dibicarakan dengan pasien dan patensi tuba dibuktikan sebelum
memulai uji coba tersebut.
E. Jika pergonal gagal
menormalkan mucus servik, uji coba inseminasi intrauterine dengan atau tanpa
pergonal dapat dimulai untuk memintasbarier servikal terhadap perjalanan
sperma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar