Definisi laparoskopi
Laparoskopi
merupakan teknik pembedahan atau operasi yang dilakukan dengan membuat dua atau
tiga lubang kecil (berdiameter 5-10 milimeter) di sekitar perut pasien. Satu
lubang pada pusar digunakan untuk memasukkan sebuah alat yang dilengkapi kamera
untuk memindahkan gambar dalam rongga perut ke layar monitor, sementara dua
lubang yang lain untuk peralatan bedah yang lain.
Teknik
ini disebut juga teknik operasi minimal invansif (minimal invansive surgery).
Namun, teknik ini tetap memiliki resiko bagi pasien, terutama karena saat
melakukan operasi tersebut, dokter yang menangani memerlukan ruang dalam rongga
perut sehingga memerlukan gas karbondioksida (co2) untuk mengembangkan rongga
perut, antara lain risiko yang dapat terjadi jika gas bertekanan tinggi
tersebut masuk ke dalam pem- buluh darah.
Laparoskopi
menggunakan teknik operasi yang menggunakan alat-alat
berdiameter 5 hingga 12 mm untuk menggantikan tangan dokter bedah melakukan
prosedur bedah di dalam rongga perut. Untuk melihat organ di dalam perut
tersebut digunakan kamera yang juga berukuran mini dengan terlebih dahulu
dimasukkan gas untuk membuat ruangan di rongga perut lebih luas. Dokter bedah
melakukan pembedahan dengan melihat layar monitor dan mengoperasikan alat-alat
tersebut dengan kedua tangannya
Saat ini ada kemajuan pembedahan laparoskopi
dimana lubang yang digunakan hanya satu yang dibuat pada pusar pasien.
Tindakannya dinamakan single port
laparoscopy. Secara kosmetik akan jauh lebih baik seakan tidak pernah
dilakukan tindakan operasi sebelumnya. Selanjutnya dokter akan
menggunakan gas karbondioksida (co2) untuk mengembangkan rongga perut sehingga
mudah melakukan tindakan. Namun ada pula teknik yang melihat langsung tanpa gas
dengan mengangkat kulit dinding perut dengan alat khusus (gasless laparoscopy). Teknik
anestesi/pembiusan yang digunakan umumnya anestesi umum.
Laparoskopi
dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya kelainan (laparokopi diagnosik/ld)
atau dapat pula melakukan tindakan operasi tertentu (laparokopi operatif/lo).
Pada kasus ginekologi saat ini perkembangan tindakan laparoskopi sangatlah
pesat. Tindakan yang dapat dilakukan adalah: diagnosis untuk melihat adanya kelainan
pada kasus infertilitas (susah punya anak), melihat saluran telur (tuba) dan
memperbaiki bila ada kelainan, pembebasan perlengketan, sterilisasi,
operasi hamil di luar kandungan, pengangkatan kista, mioma, bahkan dapat
melakukan tindakan yang besar seperti pengangkatan rahim (histerektomi) dan
operasi radikal pada kanker kandungan.
Selain
meminimalkan risiko, laparoskopi mempercepat pemulihan dan mengurangi nyeri
luka pascaoperasi, mempersingkat waktu rawat inap sehingga hanya dalam satu
atau dua hari saja pasien sudah dapat pulang dan melakukan aktivitasnya,
permukaan perut pasien tidak akan memerlukan jahitan yang lebar sehingga tidak
mengurangi estetika.
Teknik
laparoskopi umumnya digunakan untuk pembedahan di bidang penyakit kandungan
(ginekologi), namun digunakan juga untuk bedah umum (seperti pengangkatan usus
buntu), bedah saraf/otak, jantung, dan ortopedi.
sejarah laparoskopi
bedah laparaskopi diperkenalkan di indonesia
pada tahun 1990, dengan diselenggarakannya telekonferensi antara amerika dan
masyarakat bedah di jakarta melalui stasiun televisi swasta. Diikuti
kemudian demonstrasi operasi kolesistektomi (pengangkatan kantung empedu) didua
rumah sakit swasta di jakarta. Sejak itu bedah laparoskopik berkembang di
kota-kota besar di indonesia.
Perkembangan laparoskopi
Bedah laparoskopi suatu prosedur operatif dengan
cara pendekatan invasivif minimal sarat dengan teknologi tinggi. Rancang bangun
dan rekayasa terus dilakukan pada perlengkapan dan peralatan bedah laparoskopi
untuk kemudahan melakukan prosedur maupun kenyamanan dan keamanan pasien.
Gambran 3 dimensi untuk memberikan citra yang lebih alamiah dan robot asisten
yang dapat diaktifkan dengan suara operator telah menjadi kenyataan. Yang
sekarang sedang dikembangkan adalah tindakan pembedahan yang dilakukan oleh
pembedah yang tidak berada di sisi pasien, di luar, atau jauh dari kamar
operasi dikenal dengan sebutan telepresence surgery.
Bedah invasif minimal sekarang merupakan baku
emas (gold
standar) dari berbagai macam operasi, seperti kelainan kantung
empedu, appendisitis (radang usus buntu) akut dan kronik, kelainan sendi di
bidang orthopaedi, kelainan pada rongga toraks yang dikenal dengan vats (video assisted
thoracoscopy surgery ) , kelainan dan penyakit di bidang urologi
dan ginekologi (kandungan).
Jenis pemeriksaan
laparoskopi
a. Laparoskopi diagnostik
Digunakan untuk mendiagnosisi penyakit pada rongga
perut, terutama yang berhubungan dengan organ-organ reproduksi wanita, yang
tidak dapat dideteksi dengan alat diagnosa lain seperti ronsen dan usg.
B. Laparoskopi operatif
Tindakan operasi dilakukan dengan alat operatif yaitu
beripa lubang kecul dan tidak memerlukan sayatan besar seperti pada operasi biasa,
waktu operasi lebih singkat, penyembuhan luka lebih cepat. Selain dapat
digunakan dalam bidang ginekolog juga dapat dipakai untuk bedah umum, seperti:
pengangkatan batu empedu, dan operasi usus buntu.
Indikasi laparoskopi
Di bidang ginekologi
(kesehatan organ reproduksi wanita), masalah yang dapat ditangani dengan teknik
ini misalnya :
- Mioma uteri
- Tumor
ovarium
- Nyeri haid
- Endometriosis
- Adenomiosis
- Infertilitas
- Sterilisasi
tuba
- Memperbaiki
perlengketan saluran tuba
- Melepaskan
perlengketan organ genitalia
- Kehamilan di
luar kandungan
- Pengangkatan
rahim
- Ovarian
drilling
- Kista
- Rekanalisasi
(penyambungan kembali) saluran telur
- Nyeri perut
yang tidak diketahui
- Infertilitas
(ketidaksuburan) yang tidak diketahui
- Melihat
progresivitas dari kanker indung telur
- Lavh
(laparoscopy assisted vaginal hysterectomy) : pengangkatan rahim secara
total melalui vagina dengan bantuan laparoskopi
- Tlh (total
laparoscopic hysterectomy) : pengangkatan rahim secara total dengan
laparoskopi
- Lash
(laparoscopy supracervical / subtotal hysterectomy) : pengangkatan rahim
sebagian dengan laparoskopi
Tindakan
yang dilakukan dengan laparoskopi:
1. Menilai status kesuburan
2. Memperbaiki posisi rahim
3. Memisahkan perlengketan
4. Endometriosis (misal:
kista coklat)
5. Terapi hamil diluar
kandungan
6. Kistektomi (mengangkat
kista)
7. Miomektomi (mengangkat
miom)
8. Histerektomi
(pengangkatan rahim)
9. Sterilisasi / ligasi
10. Terapi abses rongga
panggul
persiapan sebelum laparoskopi:
·
Pasien dirawat minimal 12 jam pra operasi dengan membawa hasil
pemeriksaan laboratorium, rontgen dada, konsultasi ahli jantung dan lainnya
sesuai indikasi
·
Puasa selama 8 jam sebelum tindakan opersai
·
Kulit bagian pusar dibersihkan dan ditutup dengan kain kassa yang
telah dibasahi dengan alkohol
·
Dilakukan pengosongan usus besar untuk membuang sisa-sisa kotoran
(klisma)
·
Diberikan obat pencahar, premedikasi, antibiotik profilaksis
manfaat / keuntungan laparoskopi
Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan teknik
ini :
- Diagnosis
yang lebih baik
- Kerusakan
jaringan lebih ringan
- Nyeri pasca
operasi lebih ringan
- Lama
perawatan lebih singkat
- Kejadian
infeksi luka operasi lebih sedikit
- Sisi
kosmetik lebih baik
- Perlengketan
pasca operasi lebih kurang
- perdarahan lebih kurang
- Dari segi
kosmetik, tidak tampak adanya bekas operasi
- Perawatan di
rs menjadi lebih pendek, bahkan dapat langsung pulang pada hari yang sama
Komplikasi
Teknik laparoskopi dapat menimbulkan komplikasi yang sama
dengan operasi konvensional, misalnya :
·
Perdarahan,
·
Cedera pada
organ dalam perut,
·
Komplikasi
akibat proses pembiusan, infeksi (lebih kecil dibandingkan konvensional),
·
Dan pada
beberapa pasien harus dilanjutkan dengan operasi konvensional.
Selain
itu prosedur laparoskopik dapat dipersulit oleh infeksi, trauma, atau
perdarahan, juga halnya oleh permasalahan yang berhubungan dengan penggunaan
anastetik. Timbulnya infeksi pada laparoskopik lebih rendah dibandingkan dari
pada laparotomi. Sebaliknya, permasalahan visualisasi yang berhubungan dengan
perubahan segi anatomis bisa meningkatkan resiko untuk kemungkinan terjadinya
kerusakan pembuluh darah atau struktur penting seperti usus, ureter, dan
kandung kecing.
Beberapa
komplikasi jadi lebih umum terjadi bersamaan dengan laparoskopi dibanding
dengan prosedur laparotomi ataupun prosedur lainnya yang dilakukan pada vagina.
Pengisian sejumlah besar cairan dalam rongga peritoneal berperan dalam
terjadinya gangguan elektrolit atau overload cairan. Dalam keadaan penggunaan
gas intraperitoneal yang lama dapat menyebabkan kelainan metabolisme juga
memeperburuk fungsi kardiorespirasi. Penggunaan energi listirk ataupun energi
laser intraperitoneal berpotensi untuk mengakibatkan komplikasi yang dapat
diminimalisir dengan penguasaan pengetahuan mengenai sumber energi yang
digunakan, penggunaan teknik yang teliti, dan pemeliharaan instrument yang
baik.
A.
Komplikasi akibat
anastesi dan kardiopulmoner
Sepertiga kematian yang berhubungan dengan
prosedur laparoskopik minor seperti pada sterilisasi adalah sekunder akibat
dari anastesia. Komplikasi yang mungkin terjadi akibat anastesi umum antara
lain meliputi : hipoventilasi, intubasi esophageal, refluks gastroesophageal,
bronchospasme, hipotensi, overdosis narkotika, aritmia jantung, dan henti
jantung. Resiko ini dapat ditingkatkan oleh prosedur-prosedur yang tak dapat
dipisahkan dari laparoskopi ginekologi. Misalnya, posisi trendelenburg yang
bila dilakukan dalam kombinasi dengan kondisi dimana tekanan intraperitoneal
meningkat seperti pada pneumoperitoneum, yang mengakibatkan tekanan pada pleura
menjadi lebih besar, akan meningkatkan resiko terjadinya hipoventilasi,
hipercarbia, dan acidosis metabolik. Posisi ini, bila dikombinasikan dengan
kondisi dimana dilakukan pemakaian agen anastetik yang merelaksasi sphincter
esophageal, dapat mengakibatkan regurgitasi dari isi lambung, yang pada akhirnya
dapat mendorong terjadinya, bronchospasme, pneumonitis, dan radang paru-paru.
Parameter fungsi dari kardiopulmoner
berhubungan erat dengan insufflasi co2 dan n2o, yang
meliputi pengurangan po2, saturasi o2, volume tidal,
ventilasi permenit dan peningkatan respirasi rata-rata. Penggunaan co2
intraperitoneal sebagai medium pendistensi dikaitkan dengan terjadinya
peningkatan pco2 dan penurunan ph. Tingginya posisi diafragma akibat
pengangkatan posisi dikaitkan dengan terjadinya atelektasis basiler, yang mengakibatkan
right-to-left shunt dan nilai perfusi-ventilasi yang tidak sesuai.
B.
Komplikasi cardiovasculer
Aritmia jantung relatif sering terjadi
selama laparoskopik dan dihubungkan dengan sejumlah faktor. Yang paling
bermakna adalah hypercarbia dan acidemia. Laporan awal mengenai aritmia yang
berhubungan dengan laparoskopi, dihubungkan dengan pernapasan spontan; oleh
karena itu, kebanyakan anestesiologist sekarang mencoba mengadopsi teknik
ventilasi tiruan selama laparoskopi. Timbulnya hypercarbia dapat diminimalisir
dengan dengan penggunaan tekanan intraperitoneal kurang dari 12 mmhg.
Resiko untuk aritmia jantung mungkin dapat
dikurangi dengan penggunaan no2 sebagai medium pendistensi. Walaupun
penggunaan no2 berhubungan dengan turunnya angka kejadian aritmia,
tetapi no2 tidak dapat larut di (dalam) darah. Sistem pengangkutan
eksternal dapat menghindari terjadinya hypercarbia dan dapat juga melakukan
proteksi terhadap aritmia jantung.
Hipotensi dapat terjadi oleh karena
berkurangnya aliran balik vena yang diakibatkan tekanan intraperitoneal yang
sangat tinggi, dan kondisi ini mungkin dipotensiasi oleh deplesi volume.
Kegagalan vagal dapat terjadi sebagai respon atas tekanan intraperitoneal yang
ditingkatkan, yang dapat menyebabkan hipotensi sekunder yang berhubungan dengan
aritmia jantung. Semua kondisi ini jadilah lebih berbahaya bagi pasien dengan
riwayat adanya penyakit jantung sebelumnya.
C. Refluksi isi lambung
Regurgitasi aspirasi dari isi lambung
dapat terjadi selama laparoskopi, terutama pada pasien dengan obesitas,
gastroparesis, hernia hiatus, atau pasien dengan obstruksi saluran lambung.
Pada pasien ini, jalan udara harus dijaga dengan pemasangan suatu tabung
endotrakeal, dan perut harus didekompresi ( misalnya dengan tabung
nasogastric). Penggunaan tekanan intraperitoneal dengan serendah mungkin harus
dilakukan untuk memperkecil resiko ini. Pasien harus dipindah dari posisi
trendelenburg sebelum diextubasi. Penggunaan rutin preoperative metoclopramide,
h2-blocking agen, dan antasida nonpartikular juga dapat membantu mengurangi
resiko ini.
D. Komplikasi electrosurgical
Komplikasi electrosurgikal terjadi
sekunder akibat cedera termal (panas), karena pemakaian elektroda aktif yang
tidak tepat dan sewajarnya, diversi arus merambat kearah rambatan yang tidak
diinginkan, dan cedera di daerah elektroda dispersif. Cedera akibat elektroda
aktif dapat terjadi baik pada instrument unipolar dan bipolar, sedangkan trauma
yang sekunder akibat diversi langsung atau elektroda dispersif terjadi hanya
pada teknik unipolar. Komplikasi elektrosurgikal dapat diminimalisir dengan
kepatuhan terhadap protokol keselamatan yang disertai pemahaman prinsip
bunyi-bunyian pada elektrosurgikal dan kondisi-kondisi yang dapat mengarahkan
kepada terjadinya cedera.
E. Komplikasi perdarahan
1. Cedera pembuluh darah besar
Komplikasi perdarahan
yang paling berbahaya adalah cedera-cedera pada pembuluh darah yang besar,
mencakup aorta dan vena cava, arteri iliaca utama dan cabang-cabangnya, juga
arteri, vena iliaca interna dan eksterna. Cedera yang paling sering terjadi
karena insersi dari suatu insufflasi jarum tetapi mungkin juga terjadi oleh
karena ujung trocars utama atau ancillary troccar. Pembuluh darah yang paling
sering cedera adalah aorta dan arteri iliaca utama sebelah kanan yang
dicabangkan dari midline aorta. Secara anatomis semakin posterior posisi vena
cava dan iliaca maka relative akan memberikan proteksi, tetapi bukan berarti
memberikan kekebalan terhadap terjadinya cedera. Walaupun kebanyakan cederanya
adalah kecil dan dapat diperbaiki dengan jahitan, beberapa cedera yabg lebih
besar mungkin memerlukan ligasi dengan atau tanpa insersi graft pembuluh darah.
Adanya kematian sudah pernah dilaporkan.
Setelah mengalami cedera
vaskuler, pada pasien umumnya berkembang suatu hipotensi yang tersembunyi
dengan atau tanpa hemoperitoneum. Pada beberapa kasus, darah dapat teraspirasi
melalui insufflasi jarum sebelum tampak adanya distensi gas. Biasanya
perdarahan terdapat di dalam ruang retroperitoneal, yang biasanya mengakibatkan
keterlambatan diagnosa sebagai konsekuensinya bisa terjadi renjatan
hipovolemik. Untuk menghindari diagnosa dini yang terlambat, maka keadaan dan
kondisi pembuluh-pembuluh darah besar harus diketahui sebelum menyelesaikan
atau mengakhiri prosedur.
Jika aspirasi darah
ditemukan pada insufflasi jarum, maka posisi jarum tidak boleh diubah, harus
dibiarkaan pada letaknya sampai dilakukan persiapan darurat untuk menampung
produk-produk darah dan dilaksanakannya laparotomi. Jika hemoperitoneum
terdiagnosa ketika melakukan visualisasi rongga peritoneal, dapat digunakan
suatu instrumen untuk menyerap perdarahan yang terjadi, dan jika bisa dilakukan
oklusi sementara terlebih dahulu terhadap pembuluh darah tersebut. Pada saat
pembukaan ke dalam cavum peritoneum aorta dan vena cava harus segera di tekan
sampai berada dibawah level pembuluh darah renalis, agar dapat mengontrol
kehilangan darah untuk sementara. Tindakan prosedur yang harus dilakukan
disesuaikan tergantung dari posisi dan luasnya kerusakan dari pembuluh darah.
2.
Cedera pembuluh darah
pada dinding abdomen
Pembuluh darah pada dinding abdomen yang sering tercederai
selama laparoskopi adalah pembuluh-pembuluh epigastric superficial inferior
ketika dicabangkan dari arteri dan vena femoralis pada cephalad course di
setiap kuadran yang lebih rendah. Biasanya kerusakan yang terjadi bervariasi
diakibatkan oleh jalur masuk awal dari suatu ancillary trocar atau selanjutnya
oleh penggunaan alat yang lebih luas saat pelaksanaan laparoskopi. Permasalahan
mungkin dapat dikenali dengan cepat dari observasi atas tetesan darah yang
menetes sepanjang cannula atau yang ke luar melalui goresan pada suatu insisi.
Walaupun demikian, pendarahan dapat terobstruksi oleh cannula sampai saatnya
nanti akan diatasi pada akhir operasi.
Cedera yang lebih serius biasa terjadi pada pemuluh darah
epigastric inferior bagian dalam, yang merupakan cabang arteri, vena iliaca
eksterna pada cephalad course tetapi terletak sebelah dalam dari fascia
rectalis dan biasanya juga terletak kedalam otot. Lebih lateral daripada itu terletak
pembuluh darah sirkumfleksi iliaca, yang biasanya jarang dijumpai saat
pelaksanaan laparoskopi. Laserasi pembuluh darah ini menyebabkan pendarahan di
bagian dalam, yang biasanya sulit dikenali dan menyebabkan perdarahan
extraperitoneal.
Tanda-tanda tambahan adanya cedera vaskuler, dapat dilihat
dari darah yang menetes sepanjang cannula, shock postoperative dan
diskolorisasi dinding abdominal atau hematoma yang terdapat disekitar tempat
dilakukannya insisi. Dalam beberapa peristiwa, darah dapat menandakan adanya
cedera pada daerah yang lebih jauh, yang dipresentasikan sebagai massa
pararectal atau vulvar. Diagnosa yang terlambat dapat dicegah dengan evaluasi
laparoskopik pada setiap insisi peritoneal setelah dilakukan pelepasan cannula.
Trauma pembuluh epigastric superficial inferior pada umumnya
dapat berhenti secara spontan; oleh karena itu, pelaksanaan manajemennya
diharapkan sesuai dengan indikasi trauma. Penjahitan lansung dapat dilakukan
untuk memperbaiki laserasi pembuluh darah epigastric inferior bagian dalam.
Jika terjadi hematoma postoperatif, kompresi lokal harus dilakukan sedini
mungkin. Membuka atau melaksanakan aspirasi pada hematoma tidak boleh dilakukan
sebab dapat menghambat efek tamponade dan meningkatkan resiko terbentuknya
abses. Jika massa terus membesar atau jika ditemukan tanda adanya hypovolemia,
luka harus diperiksa lebih lanjut.
3.
Trauma pembuluh darah
intraperitoneal
Perdarahan bisa diakibatkan oleh penetrasi langsung tanpa
sengaja ke dalam suatu pembuluh darah atau karena kegagalan suatu teknik
oklusive (penyumbatan) spesifik. Adanya perdarahan yang tersamarkan, mungkin
karena adanya suatu penundaan lebih lanjut dari hasil diagnosa laparoskopi
karena terbatasnya lapangan visual atau karena oklusi oleh tekanan sementara
dari co2 di dalam rongga peritoneal.
Kelalaian yang mengakibatkan kerusakan pada arteri dan vena
pada umumnya segera terlihat. Arteri yang terpotong akan mengalami spasme dan
baru berdarah beberapa menit sampai beberapa jam kemudian, tidak dapat terlihat
untuk sementara waktu oleh karena terbatasnya lapangan pandang pada laparoskop.
Oleh karena itu, pada akhir prosedur, semua area pembedahan harus secara
hati-hati diperiksa kembali. Co2 harus dihisap keluar, untuk
menurunkan tekanan intraperitoneal sehingga pembuluh darah yang teroklusi untuk
sementara oleh tekanan yang lebih tinggi dapat kembali ke keadaanya yang
semula, sehingga bisa dilihat.
F.
Komplikasi
gastrointestinal
Perut, usus , dan kolon dapat cedera
karena prosedur laparoskopi. Penetrasi mekanis ke dalam usus halus atau usus
besar dapat terjadi 10 kali lebih sering ketika laparoskopi dilakukan terhadap
pasien yang mengalami radang intraperitoneal atau operasi abdominal.
Kelokan-kelokan usus dapat melekat pada dinding abdomen di bawah lokasi insisi
dan menjadi ikut terciderai saat dilakukannya insisi.
G.
Komplikasi akibat suhu
dan proses pembedahan
Sering
lebih mudah untuk mengenali cedera atau komplikasi pada usus yang terjadi
selama pembedahan dibandingkan dengan cedera karena suhu (panas) pada usus,
terutama jika cedera suhu (panas) tersebut terjadi karena pemakaian energi
listrik atau energi laser. Sekalipun cedera yang diakibatkan panas dapat mudah
dikenali, tapi sukar untuk memperkirakan tingkat kerusakannya dengan inspeksi
saja, sebab daerah yang telah mengalami kerusakan biasanya melebihi area rusak
yang terlihat secara pandangan visual kita. Pada beberapa pasien, terlambatnya
hasil diagnosa mengakibatkan peritonitis dan demam, yang biasanya terjadi
beberapa hari kemudian tetapi adakalanya tidak terlihat walaupun sudah beberapa
minggu. Bila trauma mekanik pada usus dapat dideteksi sewaktu pembedahan,
penanganan yang dilakukan adalah sama seperti pada cedera yang diakibatkan oleh
troccar. Jika hasil diagnosa tertunda sampai terjadinya peritonitis postoperatif,
laparotomy harus dilakukan secepatnya.
Cedera
karena panas dapat ditangani dengan baik jika lukanya superficial dan dangkal.
Dalam studi yang dilakukan pada 33 wanita dengan cedera akibat panas yang bila
ditangani dengan baik di rumah sakit, hanya ada 2 kasus dari antarnya yang
memerlukan prosedur laparotomi karena adanya perforasi.
H.
Cedera/trauma urologic
Kerusakan
pada kandung kencing atau ureter yang terjadi selama laparoskopi, biasanya
terjadi akibat trauma mekanik atau trauma termal. Idealnya, cedera-cedera
tersebut sebenarnya harus dapat dicegah, akan tetapi juga sangat penting untuk
mengenali cedera tersebut intraoperative bila tidak berhasil melakukan
pencegahannya.
I.
Cedera/truma pada vesika
urinaria
Cedera
pada kandung kencing dapat terjadi pada perforasi oleh karena trocar pada
vesika urinaria yang tidak dikosongkan, boleh juga terjadi saat pemisahan
vesika dari struktur yang melekat padanya, atau saat memisahkannya dari
anterior uterus. Cedera yang terjadi didapat secara nyata dengan melihatnya langsung.
Jika terdapat adanya suatu pemasangan kateter harus diperhatikan adanya,
hematuria atau pneumaturia (co2 di (dalam) pipa masuk ke dalam system
drainase). Adanya laserasi dalam vesika urinaria dapat dipertegas dengan
injeksi susu steril atau blue methylene solution yang dilemahkan melalui
kateter transurethral ke dalam tubuh. Cedera karena suhu (panas) pada vesika
urinaria, awalnya pasti tidak dapat dideteksi, dan jika luput dari diagnosa
akan mengakibatkan peritonitis atau fistula.
Pengosongan
rutin vesika urinaria preoperative pada umumnya mencegah cystotomi akibat
troccar. Separasi vesika urinaria dari uterus atau struktur lainnya memerlukan
visualisasi yang baik, retraksi yang sesuai, dan teknik pembedahan yang
sempurna. Pembedahan mekanik tajam banyak dilakukan, terutama bila ditemukan
adanya adhesi yang tebal.
Cedera
pada vesika urinaria yang sangat kecil ( 1-2 cm) dapat ditangani dengan
catheterisasi selama 5-7 hari. Jika koreksi lesi dapat dilakukan dengan segera,
catheterisasi mungkin tidak diperlukan. Jika lesi yang lebih besar diketemukan,
dapat dilakukan koreksi secara laparoskopik. Tetapi, jika trauma terjadi pada
trigone atau disekitar trigone, harus dilakukan suatu prosedur koreksi yang
terbuka. Mekanisme terjadinya cedera harus dipertimbangkan dengan seksama dalam
membuat evaluasi koreksi ini, sebab biasanya pada trauma elektris cedera sering
meluas di luar batas daerah yang mengalami kerusakan yang terlihat oleh mata .
Untuk
lesi kecil, bisa dilakukan penutupan dengan jahitan 2-0 sampai 3-0 berlapis
dengan benang yang dapat diabsorbsi. Jika ada trauma suhu (panas), maka daerah
yang mengalami koagulasi haruslah dieksisi terlebih dahulu. Katheterisasi
postoperative baik transurethral maupun suprapubic harus dipertahankan selama
2-5 hari untuk laserasi fundus yang kecil dan untuk lesi pada daerah trigone
kateterisasi harus dipertahankan selama 10-14 hari. Cystography harus dilakukan
sebelum melepaskan kateter urine.
J.
Cedera ureter
Penyebab
yang paling umum dari cedera ureter pada saat laparoscopi adalah trauma
elektrosurgical. Tetapi, cedera ureter juga dapat terjadi setelah pembedahan
mekanik, pelaksanaan pemotongan linier dan saat stapling instrumen. Walaupun
pengenalan adanya cedera ureter intraoperative dapat dilakukan, tapi biasanya
hasil diagnosanya terlambat. Laserasi ureter mungkin dapat dikenali
intraoperatif secara visual atau dengan injeksi intravena indigo carmine. Pada
trauma karena suhu (panas) yang ditemukan 14 hari postoperatif didapatkan
adanya demam, sakit di daerah abdominal atau sakit panggul, dan peritonitis.
Kemungkinan dapat ditemukan adanya leukositosis, dan pyelography pembuluh darah
dapat menunjukkan adanya extravasasi pada urin atau urinoma. Obstruksi mekanis
karena staple atau jahitan (suture) dapat dikenali intraoperatif melalui
inspeksi langsung. Obstruksi ureteral biasanya baru dapat terlihat beberapa
hari sampai 1 minggu postopertif, ditandai dengan adanya gejala sakit panggul
dan demam.
Pemerikasaan
ultrasound abdominal mugkin dapat membantu, tetapi pyelography intravena dapat
mengidentifikasi derajat dan lokasi obstruksi dengan lebih tepat.
Kerusakan
atau incontinensia yang berlangsung lama adalah suatu tanda adanya fistula
ureterovaginal atau vesicovaginal yang tak terdeteksi. Vesikofistula dapat
dideteksi dengan menemukan adanya celupan metilen blue pada bagian atas tampon
yang sebelumnya ditempatkan di dalam lubang vagina, setelah mengisi vesika
urinaria dengan methylene biru. Pada suatu fistula ureterovaginal, methylene
biru tidak akan bisa melewati lubang vagina, tetapi fistula ini dapat dideteksi
dengan injeksi indigo carmine intravena.
Untuk
mengurangi reiko terjadinya cedera diperlukan pengetahuan tentang alur posisi
ureter melalui rongga pelvis. Ureter pada umumnya melewati peritoneum dari
dinding samping pelvis diantara pelvic brim dan perlekatan ligamentum yang
luas. Karena adanya variasi antara pasien yang satu dan yang lainnya dan juga
karena adanya suatu penyakit, dapat membuatnya bisa masuk kedalam ruangan
retroperitoneal. Teknik yang digunakan dalam melakukan operasi peritoneal juga
berperan dalam resiko terjadinya cedera pada ureter. Teknik dissectio tajam dan
tumpul lebih banyak digunakan, walaupun dapat dilakukan hydrodissectio.
Pemasangan stent ureteral yang tepat dan selektif juga akan sangant membantu.
Trauma
pada ureter dapat ditangani dengan cepat bila dapat didiagnos intraoperatif.
Walaupun hanya kerusakan yang sangat terbatas yang dapat sembuh kebanyakan
pasien mengindikasikan adanya perbaikan, dengan prosedur membiarkan ureteral
stent pada tempatnya selama 10-21 hari. Meskipun telah dilakukan perbaikan
laparoskopik dan transeksio pada laserasi ureter, kebanyakan cederanya
memerlukan tindakan laparotomi untuk penangananya.
Bila
adanya kerusakan ureter terlambat didiagnosa dengan terlambat, vesika urinaria
harus dikosongkan dengan kateter. Obstruksi incomplete atau kecil dan laserasi
dapat ditangani dengan baik dengan penggunaan ureteral stent retrograde ataupun
anterograde. Urinoma dapat didrainase secara percutan. Jika ada stent yang
tidak bisa ditempatkan dengan baik, suatu nephrostomy percutan juga harus
dilakukan sebelum tindakan diambil alih dengan operasi.
K.
Truma neurologik
Cedera
saraf perifer biasanya berkaitan dengan penempatan posisi pasien yang buruk
atau karena penekanan berlebihan yang dilakukan oleh ahli bedah. Cedera saraf
juga boleh terjadi sebagai hasil dari diseksi pembedahan.
Pada
ekstrimitas, trauma dapat terjadi langsung, seperti tertekannya saraf peroneal
karena berlawanan dengan pijakan kaki. Pada saraf femoral atau saraf sciatic
dapat terjadi peregangan saraf yang berlebihan dan kerusakan yang disebabkan
tidak sesuainya pengaturan posisi pinggul atau daerah sambungan lutut. Cedera
pleksus brachialis dapat terjadi karena posisi sandaran ahli bedah atau asisten
yang berlawanan dengan posisi abduksi tangan yang terjadi sepanjang prosedur
dilakukan. Jika pasien ditempatkan pada posisi trendelenburg yang curam,
pleksus brachialis dapat rusak karena tekanan pada bagian sambungan bahu. Pada
kebanyakan kasus, ditemukan adanya defisit sensoris dan motoris pada pasien
yang mendapatkan anastesi secara darurat. Resiko kerusakan pada pleksus
brachialis dapat dikurangi dengan pemberian bantalan dan sokongan pada lengan
dan bahu atau dengan penempatan lengan pasien pada posisi adduksi.
Kebanyakan
lesi pada saraf perifer dapat terkoreksi secara spontan. Lamanya penyembuhan
tergantung pada lokasi dan tingkat keparahan lesi tersebut. Untuk kebanyakan
lesi perifer penyembuhan total dari saraf sensorik biasanya terjadi dalam 3-6
bulan. Kesembuhan dapat dipermudah dengan fisioterapi, pemasangan kait
(braches) yang sesuai, dan rangsangan elektrik pada otot yang dipengaruhi oleh
saraf tersebut. Bedah micro terbuka harus dilakukan untuk transeksi sarf-saraf
intrapelvic utama.
L.
Infeksi
Infeksi
luka setelah laparoskopi biasanya jarang; kebanyakan hanya infeksi kecil pada
kulit dan diharapkan dapat diatasi bila dilakukan manajemen yang baik,
drainase, dan pemberian antibiotic. Dapat ditemukan nekrosis permukaan yang
berat, tetapi jarang terjadi. Adanya infeksi vesika urinaria, cellulitis pelvis
, dan abses pelvis sudah pernah dilaporkan.
Resiko
untuk terjadinya infeksi pada laparoskopi lebih rendah dibandingkan pada
operasi vagina ataupun pada operasi abdominal terbuka. Dapat diberikan pilihan
pemberian antibiotik profilaksis pada pasien-pasien tertentu ( misalnya, pada
mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk endocarditis dan bagi mereka yang
kepadanya direncanakan akan dilakukan histerektomi). Pasien harus memonitor
temperatur badan mereka dan melaporkan secepatnya jika temperature lebih tinggi
dari 38°c.
Kapankah Bedah Laparaskopi Tidak
Boleh Dilakukan:
Teknik operasi ini tidak dapat
dilakukan pada pasien-pasian yag pernah operasi perut sehingga terjadi
perlengketan hebat di dalam rongga perut.Bila bedah laparaskopi tidak
memungkinkan, maka dilakukan tindakan pembedahan biasa dengan sayatan yang
lebih besar. Laparoskopi adalah suatu tindakan bedah minimal yang umumnya
ditujukan untuk mengurangi resiko yang didapatkan pada operasi besar. Proses
penyembuhan dengan laparoskopi jauh lebih cepat dibandingkan dengan operasi
besar. Pada kasus kasus kandungan laparoskopi dilakukan dengan menggunakan
teropong yang dimasukkan kedalam luka sayatan kecil berukuran 0.5-1 cm di pusar
dan bagian bawah perut. Melalui akses ini dokter dapat memasukkan instrumen
bedah yang ukurannya kecil tetapi dapat melakukan hal yang sama bila tindakan
ini dilakukan melalui bedah konvensional Berbagai macam kondisi dapat dilakukan
dengan cara pembedahan modern ini. Seperti kista kandung telur, mioma uteri,
pengangkatan rahim (histerektomi), pengangkatan usus buntu dan kandung empedu.
Keuntungan melakukan pembedahan dengan laparascopi jika dibandingkan dengan
pembedahan konvensional adalah:
·
Memperkecil
Luka Operasi
·
Besarnya
sayatan sedalam 5-10 mm
·
Mempersingkat
lama perawatan di rumah sakit
·
Mengurangi
rasa nyeri pasca operasi
·
Mengurangi
perlengketan pasca operasi
·
Mengurasi
resiko pendarahan
·
Mempercepat
mobilitas pasien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar