2.1.
Faktor
Tuba(1)
Frekuensi
faktor tuba dalam infertilitas sangant bergantung pada populasi yang
diselidiki. Peranan faktor tuba yang
masuk akal ialah 25-50%. Dengan demikian dapat
dikatakan faktor tuba paling sering ditemukan dalam masalah infertilitas. Oleh
karena itulah, penilaina potensi tuba dianggap sebagai salah satu pemeriksaan
dalam pengelolaan unfertilitas.
2.1.1.
Pertubasi
(1)
Pertubasi
atau uji rubin, bertujuan memeriksa patensi tuba dengn jalan meniupkan gas CO2
melalui kanula atau kateter Foley yang dipasang pada kaanlis servikalis. Apabila
servik uteri dan salah satu atau kedua
tubanya paten, maka gas akan mengalir bebas kedalam kavum peritonei. Potensi tuba akan di nilai dari catatan
tekanan aliran gas sewaktu dilakukan peniupan. Insuflator apa pun yang dimakan, kalau tekanan
gasnya naik dan bertahan sampai 200mmHg, tentu terdapat sumbatan tuba. Kalau
naiknya hanya sampai 80-100mmHg, salah satu atau kedua tubanya pastilah paten. Tanda
lain yang menyokong patensi tuba
ialah terdengarnya pada auskultasi suprasimfisis tiupan gas masuk kedalam kavum
peritonei seperti “bunyi jet”; atau
nyeri bahu segera setelah pasien dipersilahkan duduk sehabis pemeriksaan,
akibat terjadinya pengumpulan gas dibawah diafragma.
Kehmilan
yang belum di singkirkan, peradangan alat kelamin, perdarahan uterus, dan
kuretase yang baru dilakukan merupakan indikasi kontra pertubasi. Adanya kehamilan dapat mengakibatkan keguguran
kandungan, sedangkan adanya peradangan dapat meluas. Peradangan uterus dan kuretase yang baru dilakukan dapat
mengakibatkan emboli udara atau sumbatan tuba karena tertiupnya udara ke dalam
pembuluh darah, dan bekukan-bekuan darah ke dalam tuba.
Saat
yang terbaik untuk pertubasi ialah setelah haid bersih dan sebelum opulasi,
atau pada hari ke-10 siklus haid.
Pertubasi tidak dilakukan setelah opulasi
karena dapat mengganggu kehamilan yang mungkin telah terjadi. Lagi pula endometrim pada masa luteal itu
menebal, yang
dapat mengurangi kelancaran aliran gas.
Pemeriksaan
lain yang dilakukan dan lebih dipercaya seperti histerosalfingografi atau
laparoskopi.
2.1.2.
Masalah
Tuba
yang Tersumbat
Kalau
infertilitas ternyata hubungannya dengan masalah tuba yang tersumbat, maka
pengobatan saja sangat sedikit kemungkinan membawa hasil.(1)
Istri
dengan riwayat infeksi pelvik yang berulang dapat dicoba dengan pemberian
antibiotik dalam jangka panjang.
Pemberian antibiotik secukupnya selang satu
bulan selama 6-12 bulan dapat lebih memungkinkan terjadinya patensi tuba
daripada kelompok istri yang tidak diberikan pengobatan itu. Terapi kimiawi terhadap tuberkulosis pelvik
sangat sedikit membawa hasil. Kalaupun ada, akan dihadapkan kepada kehamilan diluar kandungan yang sangat
tinggi. Kemungkinan
terjadinya kehamilan sangat tergantung kepada kerusakan yang ditimbulkan pada
endosalping.(1)
Endometriosis
pada tuba dapat di obati dengan pil-KB, progesteron, atau danazol, yang
diberikan secara terus-menerus atau selang-seling. Akan tetapi penyembuhan endometriosis itu akan
meninggalkan parut, yang dapat menyumbat atau menekuk tuba sehingga akhirnya
memerlukan pembedahan untuk mengatasinya.(1)
Indikasi
pembedahan tuba adalah tersumbatnya seluruh atau sebagian tuba sebagaimana
diperiksa dengan histerosalpingografi dan laparoskopi, lekukan tuba yang patologik,
sakulasi tuba, perlekatan pertubular dan periovarial khususnya untuk membebaskan
gerakan tuba dan ovarium. Pembedahan
tuba tidak dilakukan kalau hasil analisis air mani suaminya abnormal (kecuali
kalau bersedia dilakukan inseminasi buatan dengan air mani donor), dan penyakit
pada istri yang tidak membolehkan ia hamil. Tujuan pembedahan tuba
adalah untuk memeperbaiki dan mengambilkan anatomi tuba dan ovarium seperti
semula, dengan sangat memperhatikan kemungkinan gerakan otot dan silia tuba,
sekresi tuba, dan daya tangkap ovum yang efektif. Saat yang paling tepat untuk melakukan adalah
pada tengah fase poliferasi, dan jangan pada fase sekresi. Fase poliferasi
adalah fase regeneratif, sedangkan fase sekresi adalah fase degenartif. (1)
Penyumbatan
tuba dapat ditemukan di proksimal, bagian tengah, dan distal dari tuba
falopi. Sumbatan lengkap diidentifikasi secara lebih
pasti dibandingkan sumbatan parsial yang dapat sulit terdeteksi. Tetapi,
spasme tuba tidak dapat disingkirkan terutama jika terdapat sumbatan proksimal.
Pada
tuba yang terokulasi, luasnya kerusakan dapat diperkirakan ukuran hidrosalfing,
dan ada atau tidaknya ruga.(2)
2.1.3. Pembedahan
Tuba
A. Riwayat
Pemeriksaan
Fisik(2)
Penilaian
fungsi tuba falopi adalah komponen dasar dalam pemeriksaan pasangan infertil. Infeksi
pada tuba dan ovarium adalah penyebab utama penyakit adneksa. Survei terhadap agen infeksi telah menemukan
lebih dari 20 mikroorganisme, tersering adalah Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, koliformis,
dan anaerobik. Manifestasi yang tifikal adalah
bervariasi menurut organisma penyebab infeksi. Salfingitis
chlamydia adalah berbahaya sebagai suatu infeksi yang indolen jika dibandingkan
salfingitis
akut tipikal akibat gonorea. Semakin mempersulit gejala klinis infeksi tersebut
adalah peningkatan logaritmik insidensi infertilitas pada episode peyakit
peradangan pelvis (PID; pelvic
inflammatory disease) yang berulang.
Sebagian
besar kasus PID disebabkan oleh infeksi asenden dari saluran genital bagian
bawah menuju tuba falopi, infeksi dapat naik dalam saluran genital untuk
menyebabkan infeksi terutama pada endosalfing atau dapat meluas melalui jalur
limpatik untuk mengenai adneksa, sehingga disebut eksosalfingitis. Pembedahan antara endo dan eksosalfingitis
adalah sulit, karena keduanya dapat menimbulkan dua sekuela utama yang dapat menyebabkan
infertilitas. Kerusakan intralumen dan perlekatan tuba ekternal. Perlekatan terjadi jika permukaan sel-sel yang
meradang mengalami aglutinasi, ditutup oleh defosisi fibrin dan poliferasi
fibroblas. Perlekatan kemudian mengganggu penangkapan dan tras por ovum. Kerusakan intraluminal dianggap kerusakan yang
lebih parah,
dan dapat mengubah sel-sel endosalfing yang biasanya bersilia menjadi bentuk
cobblestone yang mendatar. Jika terinfeksi tuba berupaya membatasi
penyebaran infeksi dengan menutup kedua ujung tuba, kemungkinan awalnya karena
odem selular akibat peradangan. Biasany semakin besar
hidrosalfing, semakin tipis mukosa tuba, semakin parah kerusakan pada sel siliaris
dan sekretorik.
1. Enddometritis pasca persalinnan dan
penyulit noninfeksius dari kehamilan, seperti ruptur korpus luteum atau
kehamilan ektopik, dapat menyebabkan kerusakan tuba. Abortus septik mungkin disertai kerusakan tuba
bagian proksimal. Penyebab penyakit tuba yang paling sering adalah operasi
pelvis sebelumnya.
2. Pemeriksaan
pelvis menemukan nyeri menetap atau suatu massa yang dihubungkan denga PID,
diberikan antibiotika untuk menghilangkan seradangan sebelum dilakukan histerosalfingografi (HSG).
Antibiotik yang biasanya diberikan adalah doxycycline atau Augmentin dan metronidazole
selama 6 sampai 12 minggu. Jika tidak ada perbaikan pada saat tersebut HSG
tidak boleh dilakukan karena adanya risiko peritonitis, pemeriksaan operatif
harus dimulai.
3. Setiap
orang dengan riwayat atau pemeriksaan fisik yang sesuai dengan penyakit pelvis,
dan wanita dengan risiko penyulit dari bakteriemia peri-HSG. Biasanya diberikan
doxycycline, 24 jam setelah HSG. Menurut kriteria tersebut dapat diperkirakan
hampir separuh pasien akan mendapatkan profilaksis peri-HSG.
B. Histerosalpingorafi
dan Laparoskopi(2)
Histerosalfingografi
biasanya dilakukan sebagai prosedur diagnostik, tetapi kadang-kadang dapat
digunakan secara terapetik. Histerosalfingografi dapat memberikan informasi
tentang rongga rahim, misalnya rongga rahim yang normal, sunekia (perlekatan)
rahim seperti pada sindroma Asherman, polip atau mioma, septum rahim, hasil
konsepsi, atau rahim dengan bentuk T yang menyatakan pemaparan
diethylstilbestrol (DES).
Histerosalfingografi
dapat juga memberkan informasi tentang tuba falopi, baik patensi dan perincian
lain yang berhubungan dengan fertilitas. Patensi tuba dapat dinilai dengan
mengamati masuknya zat warna ke dalam rongga peritoneum. Teapi perlejatan
pelvis yang bisa menhalangi sel telur dari ovarium ke tuba adalah yang sulit untuk diidentifikasi dengan cara ini.
Histerosalfingografi
dapat dilakukan dengan mengunakan zat dengan dasar minyak atau air. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa pemakaian zat warna dengan dasar minyak adalah
disertai dengan penigkatan insidensi kehamilan pada tiga sampaiempat siklus
selanjutnya. Penyulit potensial fari pemakaian dari zat warna minyak adalah
ekstravasasi dengan akibat embolus atau pembentukan granuloma di dalam tuba
falopi. Jika zat warna tampak normal dan pasien yang tidak memiliki riwayat
penyakit peritoneum, lalu dimasukan Ethiodol 3 cc ke dalam rongga rahim.
Laparoskopi
adalah prosedur diagnostik terakhir dari pemeriksaan infertilitas karena risiko
operatifnya. Ini adalah metode yang paling penting untuk mendiagnosis penyebab
tuboperitoneal dari infertilitas. Jika HSG normal, laparoskopi dapat ditunda 6
bulan untuk memungkinkan peningkatan infertilitas dari HSG menhasilkan
konsepsi. Jika penyakit tuba yang mengharuskan operasi ditemuka hasil HSG ,
menunggu selama 6 bulan untuk laparoskopi dapat dipilih. Temuan pada saat
laparokopi adalah sesuai denga HSG pada duapertiga pasien. Setelah
menyelesaikan pemeriksaan infertilitas,sekurangnya separuh pasien yang
menjalani lparoskopi memiliki penyakit pelvis, biasanya endometritis atau
perlekatan pelvis. Pemeriksaan laparoskopi harus memberikan informasi sebagai
berikut:
·
Luas dan keparahan perlekatan yang
mengenai adneksa dan usus.
·
Luasnya proses patologis lain. Misalnya:
endometritis.
·
Patensi tuba melalui kromopertubasi.
·
Status segmen tuba bagian distal,
terutama pada pasien yang menginginkan pemulihan sterilisasi.
·
Penilaian yang sedikit menyeluruh
tentang prognosis operasi rekonstruktifyang akan dilakukan.
Anjuran
pembedahan tuba hanya dapat dilakukan jika insidensi kehamilan yang diharapkan
adalajh lebih besar dari insidensi kehamilan yang ditawarkan oleh fertilisasi
in vitro (IVF). Pada saat ini penyakit tuba yang parah seperti okulasi tuba
bipolar sebaiknya diterapi dengan IVF daripada neosalfingostomi bilateral.
Diskusi yang lengkap dan menyeluruh bersama pasangan infertil harus dilakukan
sebelum melakukan pembedahan tuba. Ahli bedah harus menjelaskan kontraindikasi,
alternatif, penyulit, dan insidensi kehamilan dari pendkatan operatif yang
dimaksud. Pendekatan alternatif bagi banyak pasien adalah terapi perlekatan
secara laparoskopi atai fertilisasi in vitro.(2)
2.1.4. Pencegahan
Timbulnya Perlekatan Pascaoperatif(2)
Timbulnya perlekatan pelvis pascaoperatif adalah
masalah yang besar bagi ahli bedah. Perlekatan
terjadi pada sebagian besar wanita yang menjalani prosedur operatif untuk
memulihkan fertilitas. Perlekatan
tersebut menurunkan kemungkinan bahwa wanita tersebut akan hamil.
Penyebab timbulnya perlekatan masih belum diketahui
dengan baik. Pada sebagaian kasus ia
berhubungan dengan iskemia jaringan dan penurunan aktivitas plasminogen
activator. Iskemia jaringan, termasuk devaskularisasi, terjadi akibat trauma
pada jaringan selama suatu prosedur operatif.
Masuknya benda asing ke dalam rongga abdomen, termasuk sarung tangan,
benang jahit, atau benda lain, dianggap akhir prosedur juga dianggap
berhubungan dengan perkembangan perlekatan; peranan darah atau bekuan darah
masih kurang dipahami.
Berbagai jenis pendekatan bedah dan adjuvan bedah
telah digunakan untuk mengurangi perkembangan perlekatan pascaoperatif. Sampai sekarang upaya- upaya tersebut masih
belum berhasil sepenuhnya, seperti yang dibuktikan dari banyaknya jumlah wanita
yang mengalami perlekatan pelvis pada saat laparoskopi “pencarian kedua” (second look).
Untuk mencegah timbulnya perlekatan antara struktur-
struktur ynag berdekatan telah digunakan berbagai jenis barier. Hal tersebt termasuk jaringan biologis,
seperti graft omentum atau peritoneum dan amnion, dan material sintetik. Material sintesis termasuk material yang
perlu diangkat pada prosedur operatif selanjutnya serta material yang
selanjutnya direabsorpsi.
2.1.5.
Penyakit
Tuba
Proksimal(2)
Penyakit
tuba proksimal biasanya disebabkan oleh salpingitis isthmica nodosa atau
penyakit peradangan pelvis (PID; pelvis
in flammatory disease). Penyebab
yang lebih jarang adalah endometriosis, leiomioma, atresia kongenital, polip, dan sekuela
pembedahan sebelumnya (misalnya, sterilisasi tuba).
A. Diagnosis
oklusi proksimal bilateral pada histerosalfingografi (HSG) adalah spasme tuba,
oklusi artefak oleh gelembung udara, atau aklusi patologis pada tuba. Jika HSG menunjukkan oklusi bilateral, HSG
ulang dapat dilakukan, tetapi sebagian besar klinis melanjutkan dengan
kromopertubasi dibawah laparoskopik untuk konfirmasi. Walaupun sebagian besar ahli pertama kali melakukan
HSG sebagai standar mutakhir
dalam pemeriksaan rongga rahim dan isthmus
tuba, sebagian melakukan histeroskopi pada saat laparoskopi. Setelah penilai
patensi tuba pada kromopertubasi transervatikal, pelvis diperiksa untuk mencari
penyakit penyerta. Pembedahan korektif
untuk oklusi proksimal dikontraindikasikan jika terdapat infeksi akut atau subakut,
okulasi distal penyerta, pelvis membeku (frozen pelvis), tuberkolosis, atau
panjang tuba pascareparasi diperkirakan kurang dari 3 cm.
B. Pada saat ini, insidensi kehamilan melalui fertilisasi
in vitro adalah lebih baik dibandingkan insidensi dengan koreksi bedah penyakit
tuba bipolar.
C. Pembedahan dijadwalkan selama fase proliferatif. Suatu kateter Foley pediatrik intrauterin
yang terpasang pada suatu semprit yang berisi zat warna indigo carmine encer
kemudian dimasukkan. Kornu dapat
diinjeksi secara mengeliling dengan Pitressin encer. Insisi awal dibuat dengan pisau Gomel 1 cm
dari pertemuan kornu- tuba yang terlihat; potongan selanjutnya dibuat proksimal
sampai zat warna mengalir bebas dari zat warna yang baru. Jika myometrium rahim masih cukup memungkinkan
anastomosis tuba- kornu, prosedur dilanjutkan; jika pemotongan serial mencapai
rongga rahim, sebagian besar ahli bedah melanjutkan dengan prosedur
implantasi. Digunakan kauterisasi
bipolar secara cermat untuk mendapatkan hemostasis.
D. Untuk anastomosis tubo- komu, digunakan suatu seperti
balon dengan zat warna indigo carmine encer untuk membilas tuba bagian distal
melalui fimbria; kemudian dibuat potongan tajam secara serial sampai zat warna
terlihat mengalir bebas dari lubang proksimal yang baru pada segmen tuba.
2.1.6. Penyakit Tuba Distal(2)
Penyebab tersering penyakit tuba distal
pascainflamatorik adalah infeksi bakteri, yang dicontohkan oleh endosalfingitis
yang berhubungan dengan gonorea dan Chlamydia. Kerusakan tuba yang berhubungan
dengan penyakit peradangan pelvis ( PID: pelvic inflammantory disease) adalah
penyebab infertilitas yang tersering pada wanita yang berusia 25 tahun dan
kurang. Diperkirakan bahwa pemakaian kontrasepsi oral dosisi rendah menurunkan
kemungkinan PID pada wanita individual dan demikian pula sekuela penyakit tuba
sebasar 50%. Penyebab penyakit tuba distal yang lebih jarang adalah iatrogenik
( pascafimbriektomi ) dan kongenital ( atresia atau deformitas yang
kadang-kadang berhubungan dengan pemaparan diethylstilbestrol [DES] intrauterin
). Gambaran histerosalpingografik ( HSG ) dari penyakit tuba distal
pascainflamatorik mungkin berupa penutupan tuba, seperti yang terlihat dengan
hidrosalfing atau distorsi dan sakulasi akibat perlekatan, yang menyebabkan
distorsi tuba. Jika ditemukan hidrosalfing, terlihatnya ruga tuba adalah tanda
prognistik yang baik. Laparoskopi dilakukan setelah HSG dalam pemeriksaan
penyakit tuba. Asimetri pada penyakit tuba dicatat, dan tiap tuba dinilai dalam
hal dilatasinya, ketebalan dinding dan kondisi fimbria dan ovarium. Saat
kromopertubasi, jika zat warna gagal mencapai tuba distal karena hindransi
proksimal atau jika tuba tampak tipis dan lemah, prognosis setelah reparasi adalah buruk.
Hidrosalfing yang berdiamter lebih dari 2 cm memiliki tingkat keberhasilan
kurang dari separuh dibandingkan dengan derajat yang lebih ringan.
Lisis adhesis secara laparoskopik adalah
teknik yang baku, sedangkan fimbrioplasti laparoskopi bukan. Pada pasien dengan
penyakit yang parah, misalnya, hidrosalfing terdilatasi bilateral,
neosalfingotomi laparoskopik kemungkinan memberikan hasil yang sama buruknya
seperti operasi yang dilakukan saat laparotomi dengan risiko dan rasa tidak
nyaman yang sedikit bagi pasien.
Salfingostomi adalah koreksi bedah pada
tuba falopi yang terokulasi total tanpa fimbria yang dapat dikenali saat
inspeksi sebelum membuka tuba. Suatu lekuk sentral seringkali dapat ditemukan
dan merupakan tempat terbaik untuk menusuk hidrosalfing. Sebuah bantal titanium
diinsersikan ke dalam lubang, dan dibuat tiga atau empat insisi radial dengan
trauma yang minimal dengan menggunakan laser finepoint atau kauter. Jika
ditemukan perdarahan, digunakan elektrokauter bipolar secara cermat. Tepi
neosalfingotomi dieversikan dengan menggunakan sinar laser defocused pada
sel-sel atau memasang benang nilon 8-0 atau yang lebih kecil.
Fimbrioplasti adalah koreksi bedah pada
tuba falopi distal jika terdapat jaringan fimbria yang definitif. Fimbria lebih
mengalami penyakit dibandingkan yang terlihat pada salfingoovariolisis, namun
masih terlihat pada hidrosalfing. Tuba dapat teroklusi lengkap atau parsial
pada lubangnya. Pembesaran dan teknik bedah mikro adalah persyaratan mutlak
untuk fimbroplasti. “Fimosis” tuba oleh perlekatan kolar yang mengkonstruksi
lumen ampula dikoreksi dengan lisis pada aspek antimesentrik tuba. Aglutinasi
fimbria biasanya menyebabkan perlekatan halus pada permukaan fimbria. Jika
tepi-tepi fimbria terinfeksi, dibuat insisi serial sepanjang bidang avaskular
dari serosa tuba, dan tepi-tepinya dieversikan menggunakan laser CO2 defocused,
atau beberapa jahitan permanen 8-0 atau yang lebih kecil.
Salfingo-ovariolisis menawarkan
prognosis yang terbaik dari pembenahan pada tuba distal karena fimbria
dipertahankan dalam keadaan normal tetapi terdistorsi dari hubungan normalnya
dengan ovarium karena adanya perlekatan eksternal. Perlekatan dilisis secara
serial, dari lubang rongga peritoneum, menuruni pelvis menuju omentum bebas dan
usus dan akhirnya lisis perlekatan adneksa.
Penyulit operatif berupa perdarahan dan
infeksi adalah jarang. Penyulit yang paling jarang namun serius dari operasi
tuba distal adalah kehamilan ektopik tuba. Kehamilan ektopik dilaporkan dari 4%
sampai 20%, insidensi tampaknya berhubungan langsung dengan derajat penyakit
intraluminal yang telah ada saat koreksi bedah. Bedah makro lawan mikro dan
teknik laser lawan kauter tampaknya tidak berhubungan dengan insidensi ektopik
prapembedahan.
Keberhasilan berhubungan langsung dengan
derajat penyakit yang ditemukan pada tuba. Salfingo-ovariolisis disertai dengan
insidensi keberhasilan 60% karena dan ampula.
2.1.7. Anastomisis
Tuba(2)
Oklusi
isthmus tuba mengenai tuba dengan panjang yang bermacam-macam tergantung pada
penyebabnya. Koagulasi unipolar laparoskopik untuk sterilisasi disertai dengan
destruksi isthmus yang paling luas, dan kerusakan histologis dapat meluas
sampai intramural dan aspek ampularik dari tuba. Luka bakar bipolar biasanya
kurang luas dibandingkan luka bakar unipolar, tetapi banyak ahli bedah membuat
luka bakar bipolar pada tiga tempat terpisah pada isthmus selama sterilisasi.
Cincin falope biasanya merusak 1 sampai 2 cm tuba, klip Hulka merusak kira-kira
0,5 cm isthmus. Catatan sterilisasi sebelumnya harus ditinjau. Ketidaksesuaian
antara laporan operatif yang ditulis dan pemeriksaan laparoskopi selanjutnya
tidak jarang terjadi, harus berhati-hati untuk menolak pemeriksaan lebih lanjut
seorang pasien untuk anastomisis yang semata-mata didasarkan pada laporan
operatif.
Histerosalfingografi
(HSG) tetap merupakan cara yang terbaik untuk mengukur panjang tuba proksimal
yang tersisa setelah sterilisasi. Karena prognosis untuk kehamilan adalah
berhubungan langsung dan berhubungan positif dengan panjang tuba yang
direparasi, sekurangnya 2 cm tuba proksimal adalah penting untuk keberhasilan
anastomisis.
Temuan
yang paling penting pada saat anastomisis dikontraindikasikan jiak panjang tuba
total kurang dari 3 cm. Untuk panjang total 4 cm atau lebih, prognosis untuk
kehamilan adalah 50% dan untuk 6 cm atau lebih prognosis mendekati 70%.
Walaupun
masih dilakukan penelitian untuk memperbaiki teknik anastomosis laparoskopik
untuk tuba falopi yang terligasi, teknik baku sekarang memerlukan laparotomi.
Biasanya digunakan insisi transversal rendah. Teknik bedah mikro yang cermat
dan pembesaran adalah prasyarat untuk kebrhasilan anastomisis.
Suatu kateter Foley pediatric intrauterine atau Harrison uterine manipulating injector (HUMI)
dihubungkan dengan spuit 30 cc yang berisi larutan zat warna indigocarime
encer. Tuba proksimal dipotong secara
serial menggunakan pisau yang tajam samai ditemukan mukosa tuba ynag
mengalirkan zat warna secara lancar.
Mukosa tuba harus tampak normal di bawah pembesaran. Hemostasis dicapai dengan elektrokauter
bipolar secara berhati- hati. Idealnya
serosa 3 sampai 4 mm lebih pendek dibandingkan mukosa dan muskularis tuba untuk
mempermudah penjahitan. Jika kedua
segmen tuba proksimal tidak cocok untuk anastomisis, transposisi segmen
kontralateral dapat dilakukan.
Transposisi dan anastomisis segmen tuba telah dilakukan pada sedikit
pasien, dan kadang- kadang konsepsi dapat terjadi. “Transplantasi” pertama yang berhasil,
melibatkan transposisi segmen fimbria kiri dan pembuluh darahnya ke segmen tuba
proksimal kanan, menganastomosiskan pembuluh darah tuba, dan memungkinkan
pasien untuk hamil dan aterm.
Segmen tuba distal dibalas dengan spuit eyedrop yang
berisi zat warna indigocarmine encer.
Ujung yang teroklusi dipotong secara serial sampai lumen tampak normal
di bawah pembesaran dan zat warna mengalir secara bebas. Sebuah stent nilon no. 1 dimasukkan melalui
fimbria ke lubang yang baru pada segmen tuba proksimal. Stent tidak boleh dimasukkan ke dalam bagian
intramular dari tuba karena risiko timbulnya jalur palsu. Mesosalfing diaproksimasikan dengan jahitan
terputus menggunakan benang 6-0 yang dapat diabsorpsi untuk menghilangkan
regangan pada jahitan anastomosis.
Mukosa segmen tuba tidak ditembus oleh jarum atau dimanipulasi oleh
jarum. Muskularis diaproksimasikan
denganjahitan terputus menggunakan benang 8-0 yang dapat diabsorpsi pada posisi
jam 6, 3, 9, dan 12 secara berurutan; dan benang tersebut diikat rapat tetap
tidak kencang dalam urutan yang sama.
Simpul diarahkan menjauh dari mukosa. Serosa diaproksimasikan dengan
empat benang 6- 0 yang dapat diabsorpsi.
Kromopertubasi harus menunjukkan patensi tuba tanpa kebocoran pada
tempat anastomotik
Penyulit perdarahan dan infeksi yang serius jarang
terjadi. Kehamilan etopik terjadi pada
kira- kira 5 persen pasien; teknik bedah mikro dan pembesaran diduga menurunkan
risiko kehamilan ektopik tuba.
Prognosis untuk kehamilan tergantung pada beberapa
factor, termasuk tempat anastomosis.
Insidensi kehamilan yang tertinggi terjadi pada anastomosis isthmik-
isthmik (63%) dan isthmik- kornu (60%) dan insidensi terendah pada anastomosis
ampula- ampula (50%) dan anastomosis ampula- kornu (40%).
2.1.8. Prosedur umum bedah tuba(1)
Pasien dibaringkan dalam sikap litotomi
untuk laparoskopi diagnostik, agar mudah dilakukan uji patensi tuba segera
sebelum, sewaktu, dan sesudah pembedahan. Pemasangan tampon vagina sedapat
mungkin dapat mendorong uterus dan adneksanya sedekat mungkin pada dinding perut, sehingga memudahkan pembedahan.
Hal ini penting, terutama pada pembedahan mikro, untuk menampilkan genetalia
interna tanpa tarikan karena kalau tidak, dapat menimbulkan trauma pada waktu
menarik, menjepit, atau menjahit alat-alat tersebut.
Setelah rongga perut terbuka, penting
untuk menhindarkan kerusakan pada tuba dan permukaan peritoneum dengan jalan
mengisi rongga perut dengan larutan garam fisiologik, irigasi lapangan
pembedahan terus-menerus, dan melindungi alat-alat yang tidak dibedah dengan
lembaran plastik.
Alat-alat bedah yang halus, khususnya
gunting, pemegang jarum,cunam arteri, cunam jaringan, da sonde, dapat
mengurangi kerusakan jaringan. Untuk menghindarkan perlekatan di kemudian hari,
jaringan senantiasa diperlakukans secara halus, dan jangan sekali-kali
menggosokannya. Perlekatan-perlekatan harus dilepaskan dengan sangat
berhati-hati agar tidak menimbulkan kerusakan jarinagn disekitarnya. Pemakaian lup atau mikroskop binokular dapat
memperbaiki penglihatan jaringan, sehingga memudahkan identifikasi jaringan
yang rusak, memudahkan pemakaian alat-alat yang halus, dan memudahkan
penjahitan. Alat pembesaran itu terutama sangat penting pada waktu melakukan
anastomosis dan diseksi fimbria.
Untuk bedah tuba sebaiknya dipakai
benang nilon yang tidak diaborpsi 4-0, 6-0, atau 8-0. Kalau memakai benang lain
dapat menimbulkan peradangan, fibrosis jaringan, atau kerusakan silia
endosalping.
Hemostasis sebaiknya dilakukan dengan
diatermi bipolar. Pemakaian diatermi unipolar pada tuba dilarang, karena aliran
listriknya dapat menyebar ke bagian tuba yang sehat. Kalau diatermi bipolar
tidak tersedia, hemostasis dilakukan dengan cunam arteri moskuito, kemudian
diikat dengan dengan benang nilon yang halus.
Teknik bedah mikro yang dapat
mendekatkan jaringan secara tepat telah meniadakan keperluan akan splint. Pada
akhir pembedahan dilakukan hidrotubasi untuk membilas sisa-sisa darah dalam
tuba, dan untuk menguji apakah jahitannya jedap air. Kalau tidak, jahitan
tersebut harus diperbaiki.
Pada setiap bedah pelvik pemberian antibiotika prabedah da sewaktu
bedah lebih bermanfaat daripada pemberian pascabedah. Pasien yang memerlukan
bedah tuba mungkin seklai pernah mengalami infeksi, sehingga cukup beralasan
untuk memberikan antibiotika profilaktik.
Hidrotubasi pascabedah masih dilakukan
oleh banyak pembedah walaupun dapat dihadapkan kepada risiko infeksi. Beberapa
pembedah memakai kombinasi antibiotika dan kortison untuk menanggulangi risiko
infeksi yang dapat menimbulkan perlekatan.
Pemeriksaan laparoskopi umtuk meyakinkan
patensi tuba layak ditawarkan kepada pasien karena kalau terdapat perlekatan
sedikit, dengan mudah dapat dilepaskan melalui laparoskopi. Kalau pasien tidak
mau dilaparoskopi, dapat dianjurkan pemeriksaan histerosalpingografi.
Setelah luka bedah sembuh dan haid sudah
datang, pasien dianjurkan melakukan senggama seperti biasa. Pada waktu itu,
pemeriksaan ringan untuk meyakinkan tidak adanya masalah lain yang dapat
mengurangi kesuburan dapat dilakukan, dan diperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar