Klasifikasi
Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum didefinisikan
sebagai perdarahan yang berlebihan dari traktus genital setelah bayi lahir
hingga 6 minggu setelah pelahiran. Jika terjadi selama kala III persalinnan
atau dalam 24 jam setelah melahirkan, perdarahan ini disebut perdarahan post
partum primer. Jika terjadi terjadi setelah 24 jam pertama hingga minggu ke-6
postpartum, perdarahan ini disebut perdarahan postpartum skunder.
Perdarahan postpartum merupakan salah
satu kedaruratan yang paling berbahaya dan serius yang dapat dihadapi bidan,
tidak hanya itu, peristiwa ini juga menakutkan, terutama jika terjadi sesaat
setelah melahirkan. Perdarahan postpartum selalu menjadi pengalaman yang
menakutkan bagi ibu dan dapat meruntuhkan kepercyaan dirinya, memengaruhi
sikapny terhadap kehamilan berikutnya, serta menghambat pemulihannya. Meskipun
angka kematian ibu dinegara maju seperti Inggris telah menurun, yaitu 12,2 per
100.000 kelahiran hidup (dalam laporan DoH at al 1998), angka kematian ibu di
Afrika Selatan padat pada 1998 adalah 150 per 100.000 kelahiran hidup (DoH
1999). Jumlah kematian yang signifikan ini terjadi akibat perdarahan
postpartum. Bidan sering kali menjadi orang pertama dan mungkin satu-satunya
profesional yang hadir saat perdarahan tersebut terjadi sehingga tindakan yang
segera dan kompeten merupakan hal yang sangat penting dalam mengendalikan
perdarahan dan menurunkan risiko morbiditas, atau bahkan kematian maternal.
2.2. Perdarahan Postpartum Primer
Seperti yang dijelaskan sebelumnya,
kehilangan cairan sangat sulit diukur secara akurat, terutama jika cairan
terserap pada pakaian dan linen. Harus di ingat juga bahwa bekuan mengeras yang
dapat di ukur hanya mewakili sekitar setengah dari kehilangan cairan total.
Dengan mengingat faktor ini ukuran yang terbaik adalah bahwa setiap kehilangan
darah, bagaimanapun kecilnya dapat memengaruhi kondisi ibu yang mengalami
perdarahan postpartum. Oleh karena itu, banyak hal yang bergantung pada
kesejahtraan umum ibu. Selain itu, jika keahilangan cairan yang terukur
mencapai 500 ml, hal ini harus ditangani seperti perdarahan postpartum terlepas
dari kondisi maternal.
Terdapat beberapa alesan mengapa
perdarahan pascapartum dapat terjadi, termasuk atonia uteri, retensio plasenta,
trauma, dan gangguan koagulasi.
2.2.1. Atonia Uteri
A.
Definisi
Atonia uteria (relaksasi otot
uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-
serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum
yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam
setelah persalinan. Atonia uteri dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok
hipovolemik.
Overdistensi uterus, baik absolute
maupun relative, merupakan factor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh
kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin
(misalnya hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk
melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum
maupun sesudah plasenta lahir.
Lemahnya kontraksi miometrium
merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan
tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat
dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat- obatan, seperti gen anestesi
terhalogenesis, nitrat, obat- obatan antiinflamasi nonsteroid, magnesium
sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak
rendah, toksin bakteri (korioma- nionitis, endomiometrium, septicemia),
hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruption plasenta dan
hipotermia akibat resusitasi massif. Data
terbaru menyebutkan bahwa gandemultiparitas bukan merupakan factor risiko
independen untuk terjadinya perdarahan post partum.
B.
Etiologi
Penyebab
tersering kejadian pada ibu dengan atonia uteri antara lain: overdistention
uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi; umur
yang terlalu muda atau terlalu tua; multipara dengan jarak kelahiran pendek;
partus lama/ partus terlantar; malnutrisi; dapat juga karena salah penanganan
dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas uterus.
C.
Manifestasi Klinis
Tanda gejala yang khas pada atonia uteri jika kita
menemukan;
·
Uterus
tidak berkontraksi dan lembek.
·
Perdarahan
segera setelah anak lahir (post partum primer).
D.
Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian
oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum
lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai
terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam
persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan
utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan
tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah
atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin
setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus
atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik
oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk
mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat
long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit
dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara
pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan
operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
E.
Manajemen Atonia Uteri
1.
Resusitasi
Apabila
terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi
dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital,
monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan
darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2.
Masase dan kompresi bimanual
Masase dan
kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan
perdarahan.
Pemijatan
fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik).
·
Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi
tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks
mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
·
Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Ø Bersihkanlah
bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks.
Ø Pastikan bahwa
kandung kemih telah kosong.
Ø Lakukan
kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
Ø Jika uterus
berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan
pantau kala empat dengan ketat.
Ø Jika uterus
tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi
bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg
LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16
atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama
secepat mungkin; Ulangi KBI.
Ø Jika uterus
berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat.
Ø Jika uterus
tidak berkontraksi maka rujuk segera
3.
Pemberian Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi
oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang
efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin
dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus
dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat
sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi
cairan jarang ditemukan.
Metil ergometrin maleat
merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5
menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5
menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada
miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat
menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea
dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog
15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal,
intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg,
yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara
rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1
g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit
kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus,
bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang
menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan
basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika
ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal,
dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan
sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan
prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan
atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini
sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan
penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.
4.
Operatif (dilakukan oleh dokter spesialis kandungan)
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina
menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri
uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim.
Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim.
Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang
absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan
jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian
avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari
rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri
miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan
kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi
perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi
kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi
vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri
uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke
servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian.
5.
Ligasi arteri
Iliaka Interna (dilakukan oleh
dokter spesialis kandungan)
Identiffikasi
bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter.
Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi
arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan
dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko
ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu
dan kondisi pasien.
Teknik
B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch
1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan
pospartum akibat atonia uteri.
6.
Histerektomi (dilakukan oleh dokter
spesialis kandungan)
Histerektomi
peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan
pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per
10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal
dibandingkan vaginal.
7.
Kompresi
Bimanual Uterus Atoni (dilakukan oleh bidan yang sudah berpengalaman)
Peralatan :
sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan
telanjang yang telah dicuci.
Teknik : Basuh genetalia
eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan.
Ø Eksplorasi
dengan tangan kiri.
Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina.
Ø Tangan kanan
(luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari
belakang atas.
Ø Tangan dalam
menekan uterus keatas terhadap tangan luar.
Itu tidak hanya menekan
uterus, tetapi juga merregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan
lumennya.
Kompresi
uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10- 15 menit. Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya
sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna. Bila uterus refrakter oksitosin, dan
perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka histerektomi tetap
merupakan tindakan terakhir.
Pada
kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500- 800 cc/ menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera
setelah kelahiran plasenta, maka ibudapat mengalami perdarahan sekitar 350- 500
cc/ menit dari bekas melekatnya plasenta.
Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit ayaman pembbuluh
darah yang berjalan diantara serabut otot tadi.
Dengan hasil pemeriksaan yaitu keadaan umum ibu lemas, kesadaran kurang
baik, tanda- tanda vital: TD 90/ 70 mmHg, suhu 34,8 oC, nadi 65x/
menit, plasenta lahir lengkap, uterus lembek, tidah ada kontraksi, pengeluaran
vaginam lochea rubra, perdarahan >500 cc.
setelah dilakukan massase uterus selama 15 detik, maka dilakukan penatalaksanaan
sebagai berikut:
a.
Kompresi Bimanual Internal (KBI)
(boleh dilakukan oleh bidan yang sudah berpengalaman)
· Pakai sarung
tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan secara
obstetric (menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus dan ke dalam vagina
kemudian periksa vagina dan serviks.
Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin hal
ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh.
· Setelah
seluruh tangan sudah masuk, kepakalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks
anterior, tekan diantara anterior uterus, kearah tanga n luar yang menahandan
mendorong dinding posterior uterus ke arah depan sehingga uterus di tekan dari
arah depan dan belakang.
· Tekan kuat
uterus diantara kedua tangan, kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung
pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding uterus
dan juga merangsang myometrium untuk berkontraksi.
· Kepalkan
tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding anterior
uterus, kea rah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus
kea rah depan sehingga uterus di tekan dari arah depan dan belakang.
· Tekan kuar
uterus diantara kedua tangan. Kompresi
uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh- pembuluh darah yang
terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding uterus dan merangsang myometrium
untuk berkontraksi.
Gambar KBI
Alasan dilakukan KBI: atonia uteri
serngkali bisa di atasi dengan KBI.
Jika KBI tidak berhasil dalam waktu
5 menit diperlukan tindakan- tindakan lain:
1.
Berikan 0,2 mg ergometrium IM atau
misoprostol 600- 1000 mcg perrektal.
Jangan berikan ergometrin pada ibu bila ibu hypertensi karena ergometrin
dapat menaikkan tekanan darah.
2.
Gunakan jarum berdiameter besar
(ukuran 16 atau 18), pasang infuse dan berikan 500 cc larutan ringer laktat
yang mengandung 20 unit oksitosin. Alas
an :
jarum berdiameter besar memungkinkan pemberian cairan IV secara cepat
dan dapat dipakai untuk transfuse darah (jika perlu). Oksitosin secara IV cepat merangsang
kontraksi uterus. Ringer laktat
diberikan bentuk restorasi volume cairan yang hilang selama perdarahan.
3.
Pakai sarung tangan steril atau
disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.
Alasan : KBI dengan ergometrin dan oksitosin akan
membantu uterus berkontraksi.
4.
Jika uterus tidak berkontraksi dalam
waktu 1 sampai 2 menit, segera rujuk ibu karena ini bukan atonia uteri
sederhana. Ibu ebutuhkan tindak gawat
darurat di fasilitas kesehatan rujukan yang mampu melakukan tindakan operasi
dan transfuse darah.
5.
Sambil membawa ibu ke tempat
rujukan, terus tindakan KBI dan infuse cairan hingga ibu tiba di tempat
rujukan.
6.
Infuse 500 ml/ jam pertama
dihabiskan dalam waktu 10 menit dan berikan tambahan 500 ml/ jam hingga tiba di
tempat rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 L dan
kemudian lanjutkan dalam jumlah 125 cc/ jam.
7.
Jika cairan infuse tidak cukup,
infuskan 500 ml (botol kedua) cairan infuse dengan tetesan sedang dan ditambah
denga
b.
Kompresi Bimanual Eksteral (KBE)
(boleh dilakukan oleh bidan yang berpengalaman)
1.
Letakkan satu tangan pada dinding
abdomen dan dinding depan corpus uteri dan diatas simpisis pubis.
2.
Letakkan tangan lain pada dinding
abdomen dan dinding belakang corpus uteri , sejajar dinding depan corpus
uteri. Upayakan untuk mencakup atau
memegang bagian uterus seluas mungkin.
3.
Lakukan kompresi uterus dengan cara
silang mendekatkan tangan depan dan belakang agar pembuluh darah dalam anyaman
myometrium dapat di jepit secara manual.
Cara ini dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk
berkontraksi.
2.2.2. Robekan
Jalan Lahir
Robekan
jalan lahir bersumber dari berbagai organ diantaranya vagina, perineum, posrio
serviks dan uterus. Ciri yang khas dari robekan
jalan lahir yaitu kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil, perdarahan terjadi
langsung setelah anak lahir. Perdarahan
ini terus- menerus setelah dilakukan massase atau pemberian uterotonika
langsung mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Dalam keadaan apapun, robekan jalan lahir
harus dapat diminimalkan karena jarang perdarahan terjadi karena robekan dan
ini menimbulkan akibat yang fatal seperti terjadinya syok.
A.
Robekan
Perineum
1. Konsep Dasar
Robekan
perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya.
Namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan jalan menjaga
jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Dan adanya robekan perineum ini dibagi menjadi: robekan perineum derajat 1, robekan perineum
derajat 2, 3, dan 4.
1. Derajat Laserasi Jalan Lahir
Ø Derajat 1
: mukosa vagina, komisura posterior,
kulit perineum.
Ø Derajat 2 :
mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum.
Ø Derajat 3 :
mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum, otot spingter
ani eksterna.
Ø Derajat 4 :
mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum, otot spingter
ani eksterna.
Gambar
derajat laserasi
Robekan
perineum yang melebihih drajat 1 harus dijahit.
Hal ini dapat dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada
kemungkinan plasenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu
ditunda sampai menunggu plasenta lahir.
Dengan penderit aberbaring secara litotomi dilakukan pembersihan luka
dengan cairan antiseptic dan luas robekan ditentukan dengan seksama.
Pada robekan
perineum drajat 2 setelah diberi anastesia local otot- otot diafragma
urogenitalis dihubungan digaris tengah dengan jahitan da kemudian luka pada
vagina dan kulit perineum ditutup dengan megikutsertakan jaringan- jaringan
bawahnya.
Menjahit
robekan perineum drajat 3 harus dialkukan dengan teliti, mula- mula dinding
depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup, dan muskulus
sfingter ani eksternus yang robek dijahit.
Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti pada robean perineum
derajat 2. Untuk mendapatkan hasil yang
baik pada robekan perineum total perlu tindakan penanganan pasca pembedahanyang
sempurna.
Penderita
diberikan makanan yang tidak mengandung selulosa dan mulai hari ke-2 diberi
paraffinum liquidium sesendok makan 2 kali sehari dan jika perlu pada hari ke-
6 diberi klisma minyak.
2. Perbaikan Robekan Tingkat I dan II
untuk Menjahit Robekan Pada Perineum dan Vagina
Umunya robekan
tingkat 1 dapat sembuh sendiri tanpa perlu dijahit; kaji ulang prinsip dasar
perawatan; berikan dukunagn emosional; pastikan tidak ada alergi pada lodokain
atau obat- obatan sejenis; periksa vagina, perineum, dan serviks; Jika robekan panjang dan dalam, periksa
apakah robekan itu tingkat II atau IV dengan cara: masukkan jari yang bersarung
tangan ke anus, identifikasi sfingter, rasakan tonus dari sfingter, ganti
sarung tanga.
Jika
sfingter kena, lihat resposisi robekan tingkat II dan IV, jika sfingter utuh,
teruskan reparasi, dan antiseptic di daerah robekan, masukan jarum pada ujung
atau pojok leserasi atau luka dan dorng masuk sepanjang luka mengikuti garis
tempat jarum jahit akan masuk atau keluar, aspirasi dan kemudian suntikan
sekitar 10 ml lidokain 0,5 dibawah mukosa vagina, dibawah kulit perineum, dan
pada otot- otot perineum tunggu 2 menit agar anestesi efektif. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan
catgut cronik 2-0.
Lakukan
jahitan pada daerah otot perineum jika terkena sampai ujung luka pada perineum
secara jelujur dengan catgut cronik 2- 0; lihat kedalam luka untuk mengetahui
letak ototnya untuk menjahit kulit cari lapisan sukbutikuler persis dibawah
lapisan kulit; lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali kearah batas
vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina.
B. Robekan Vagina
1. Konsep
Dasar
Perlukan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum
tidak seberapa sering terdapat. Mungkin
sudah ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi lebih sering sebagai akibat
ekstrasi dengan cunam, lebih- lebih kalau kepala bayi harus diputar. Robekan dinding lateral dan bahu terlihat
pada pemerksaan dengan speculum.
Perdarahan biasanya banyak, mudah diatasi dengan jahitan. Kadang- kadang robekan atas vagina terjadi
sebagai akibat menjalarnya uterine terputus, timbul banyak perdarahan yang
membahayakan jiwa penderita. Apabila
perdarahan demikian itu sukar dikuasai dari bawah, terpaksa dilakukan
laparotomi dan ligamentum latum dibuka untuk menghentikan perdarahan, jika hal
yang terakhir ini tidak berhasil, arteria hipogastrika yang bersangkutan perlu
diikat.
2. Perlukaan Vagina Terdiri Dari
Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring
pada bagian atas vagina hal ini terjadi apabila oada persalinan dengan
disporposi sefalopelviks terjadi regangan sekmen bawah uterus dengan serviks
uteri tidak terjepit antara kepala janin dan tulang panggul sehingga tarikan
keatas langsung ditampung oleh vagina.
Jika tarikan teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang berfiksasi
pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis
juga bisa timbul apa bila tindakan pervaginam dengan memasukan tangan penolong
ke dalam uterus dibuat kesalahan, yang
fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar supaya ukterus tidak naik
keatas.
Gejala- gejala yang timbul yaitu pasien gelisah,
pernafasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan nyeri terus menerus dibawah
perut. Segmen bawah uterus tegang nyeri
pada perabaan dan lingkaran retraksi tinggi sampai mendekati pusat dan linga
mantra rotunda tegang.
Fisrula
akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal ynag
sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan SC. Fistula dapat terjadi menandakan karena
perlukaan pada vagina yang menembus kandung kencing atau rectum, misalnya oleh
karena robekan serviks menjalar ketempat- ketempat tersebut. Jika kandung kencing luka, air kencing segera
keluar dari vagina. Fistula tak terduga
dapat juga terjadi karena dinding vagina dan kandung kencing atau rectum
tertekan lama antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi iskemia,
akhirnya terjadi nekrosis jaringan yang tertekan.
3. Etiologi
Penyebab
robekan vagina terdiri dari, persalinan buatan atau cunam, vagina yang sempit,
arkus pubis yang sempit, lanjutan dari laserasi serviks, posisi oksipito
posterior, anak besar, kepala bayi terlalu cepat lahir, kepala bayi diputar setelah
sesaat kepala bayi lahir.
3.
Tanda atau
Gejala Robekan Vagina
Tanda dan
gejala yang selalu ada: adanya perdarahan segar (perdarahan post partum) darah
segar setelah bayi lahir, plasenta lahir lengkap, uters.
C. Robekan Uteri
1. Konsep Dasar
Faktor
predisposisi yang menyebabkan ruptur uteri yaitu multiparitas hal ini
disebabkan karena dinding perut yang lembek dengan kedudukan uterus dalam
posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat menimbulkan CPD : Pemakaian oksitisin untuk induksi persalinan
yang tidak tepat; kelainan letak dan
implantasi plasenta umpamanya pada plasenta akreta, plasenta inkreta atau
perkreta; kelainan bentuk uterus; hidramnion.
2. Jenis
1. Ruptur uteri spontan :
terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan pada waktu persalinan
yaitu pada kelainan letak dan persentasi janin, panggul sempit, kelainan
panggul, tumor jalan lahir.
2. Ruptur uteri traumatic :
terjadi karena ada dorongan pada uterus misalnya fundus akibat
melahirkan anak pervaginam seperti ekstrasi, penggunaan cunam, manual plasenta.
3. Ruptur uteri jaringan parut : terjadi karena
bekas operasi sebelumnya pada uterus seperti bekas SC.
4. Pembagian jenis menurut anatomic : ruptur
uteri komplit: dimana dinding uterus robek, lapisan serosa (peritoneum) robek
sehingga janin dapat berada dalam rongga perut dan ruptur uteri inkomplit :
dinding uterus robek sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
3.
Gejala
His kuat dan
terus menerus, rasa nyeri perut yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu
ditekan, gelisah atau seperti ketakutan, nadi dan pernafasan cepat, cincin van
Bandl meninggi. Setelah terjadi ruptur
uteri dijumpai gejala syok (akral dan ekstermitas dingin, nadi melemah, kadang
hilang kesadaran), perdarahan (bisa keluar dari vagina atau dalam rongga
perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan
darah turun. Pada palpasi sering
dibagian bawah janin teraba langsung dibawah dinding perut, ada nyaeri tekan,
dan bagian bawah teraba uterus kira- kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.
4. Penangan (dilakukan oleh dokter
spesialis kandungan)
Penanganan pada ruptur uteri yaitu :
1.
Melakukan laparotomi. Sebelumnya penderita diberi transfuse darah
sekurang- kurangnya infuse RL untuk mencegah syok hipovolemik.
2.
Umumnya histerektomi dilakukan
setelah janin yang berada di dalam rongga perut dikeluarkan, penjahitan luka
robekan hanya dilakukan pada kasus- kasus khusus, dimana pinggir robekan masih
segar dan rata serta tidak terlihat adanya tanda- tanda infeksi dan tidak
terlihat adanya tanda- tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh
nekrosis.
2.2.3. Retensio Plasenta
A. Konsep Dasar
Retensio plasenta
adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran
bayi. Pada aabeberapa kasus dapat terjadi retensio plasenta. Plasenta harus
dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena dianggap
sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat terjadi polip
plasenta dan terjadi degenerasi ganas korio karsinoma. Sewaktu suatu bagian
plasenta (satu aatau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus
berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang. (Prawirohardjo, 2005).
B.
Fisiologi
Plasenta
Klasifikasi plasenta
merupakan proses fisiologis yang terjadi dalam kehamilan akibat deposisi
kalsium pada plasenta. Klasifikasi pada plasenta terlihat mulai kehamilan 29
minggu dan semakin meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan, terutama
setelah kehamilan 33 minggu.
C.
Fisiologi
Pelepasan Plasenta
Pemisahan
plasenta ditimbulkan dari kontraksi dan retraksi miometrium sehingga
mempertebal dinding uterus dan mengurangi ukuran area plasenta. Area plasenta
menjadi lebih kecil, sehingga plasenta mulai memisahkan diri dari dinding
uterus dan tidak dapat berkontraksi atau berinteraksi pada area pemisahan
bekuan darah retro plasenta terbentuk. Berat bekuan darah ini menambah
pemisahan kontraksi uterus berikutnya akan melepaskan keseluruhan plasenta dari
uterus dan mendorongnya keluar vagina disertai dengan pengeluaran selaput dan
bekuan darah retro plasenta (WHO, 2001).
D.
Penyebab
Retensio Plasenta
Secara
fungsional dapat terjadi karena his kurang kuat (penyebab terpenting), dan
plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi disudut tuba), bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis), dan ukurannya (plasenta yang kecil).
Plasenta yang sukar lepas karena penyebab diatas disebut adhesive.
E.
Tertinggalnya
Sebagian Plasenta (sisa plasenta)
Sewaktu
suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus
tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan. Tetapi mungkin saja pada
beberapa keadaan tidak ada perdarahan pada sisa plasenta.
Penemuan
cara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta
seteah dilahirkan. Pada kasus sisa
plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan
kembali lagi ketempat bersalin dengan keluhan perdrahan setelah beberapa hari
pulang kerumah, dan subinvolusi uterus:
1.
Penenmuan secara dini, hanya
dimungkinkna dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah
dilahirkan. Pada kasusu sisa plasenta
dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasient akan kembali
lagi ketempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang
kerumah dan subinvolusi uterus.
2.
Berikan antibiotika (sesuai instruksi
dokter) karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
3.
Lakukan eksplorasi digital (bidan boleh
melakukan) ( bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan.
4.
Bila kadar Hb kurang dari 8 g/dL berikan
transfuse darah.
F. Tanda dan Gejala
Gejala
yang selalu ada : plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera,
kontraksi uterus baik. Gejala yang
kadang- kadang timbul : tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inverse
uteri akibat tarikan, perdarahan lanjut.
Penilaina
retensio plasenta harus dilakukan dengan benar karena ini untuk menentukan
sikap pada saat bidan akan mengambil keputusan untuk melakukan manual plasenta,
karena retensio bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
1.
Plasenta adhesivia adalah implantasi
yang kuat dari jonjot chorion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme
separasi fisiologis.
2.
Plasenta acreta adalan implantasi jonjot
chorion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan myometrium, perlekatan
plasenta sebagian atau total, pada dinding uterus.
3.
Plasenta inkreta adalah implantasi
jonjot chorion plasenta hingga mencapai atau melewati lapisan myometrium.
4.
Plasenta perkreta adalah implantasi
jonjot choroion plasenta yang menembus lapisan myometrium hingga mencapai lapisan
serosa dinding uterus.
5.
Plasenta inkarserata adalah tertahannya
plasenta di dalam cavum uteri disebabkan oleh kontriksi ostium uteri.
G. Penanganan Retensio Plasenta Dengan
Separasi Parsial
1.
Tentukan jenis retensio yang terjadi
karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
2.
Regangan tali pusat dan minta pasien
untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol
tali pusat.
3.
Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500
mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol
400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi
tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri).
4.
Bila traksi terkontrol gagal untuk
melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk
menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan.
5.
Lakukan transfusi darah apabila
diperlukan.
6.
Bila antibiotika profilaksis (ampisilin
2 g IV/ oral + metronidazol 1 g supositoria/ oral).
Penanganan
Plasenta Akreta :
a.
Tanda penting untuk diagnosis pada
pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik.
Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang
dalam.
b.
Upaya yang dapat dilakukan pada
fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan
rujuk ke rumah sakit rujukan kasus ini memerlukan tindakan operatif.
H. Penatalaksanaan Retensio Plasenta
Dalam
melakukan penatalaksanaan pada retensio plasenta sebaiknya bidan harus
mengambil beberapa sikap dalam menghadapi kejadian Retensio Plasenta yaitu :
1.
Sikap umum bidan : melakukan pangkajian
dan secara subyektif dan obyektif antara lain ; keadaan umum penderita, apakah
ibu anemis, bagaimana jumlah perdarahannya, keadaan umum penderita, keadaan
fundus uteri, mengetahui keadaan plasenta, apakah plasenta inkaserata,
melakukan tes plasenta lepas dengan metode kustner, metode klein, metode
starsman, metode manuaba, memasang infus dan memberikan cairan pengganti.
2.
Sikap khusus bidan : pada kejadian
retensio plasenta atau plasenta tidak keluar dalam waktu 30 menit bidan dapat
melakukan tindakan manual plasenta yaitu tindakan untuk mngeluarkan atau
melepas plasenta secara manual (menggunakan tangan) dari tempat implantasinya
dan kemudian melahirkannya keluar dari kavum uteri (Depkes, 2008).
3.
Prosedur Plasenta Manual dengan cara :
Langkah 1
: persiapan, pasang set dan cairan infus, jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan
tindakan, lanjutkan anastesia verbal atau analgesia per rektal, siapkan dan
jelaskan prosedur pencegahan infeksi.
Langkah 2
: Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri, pastikan kandung kemih dalam keadaan
kosong, jepit tali pusat dengan klem 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu
tangan sejajar lantai.
Langkah 3
: Secara Obstetrik masukan tangan lainya (punggung tangan menghadap ke bawah)
ke dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat, setelah mencapai
bukaan servik, kemudian minta seorang asisten atau penolong lain untuk
memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus
uteri.
Langkah 4
: Sambil menahan fundus uteri, masukan tangan dalam hingga ke kavum uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta. Bentangkan tangan obstetrik
menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat ke jari telunjuk dan
jari-jari merapat). Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling
bawah. Bila plasenta berimplantasi di korpus belakang, tali pusat tetap di
sebelah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding
uterus dimana punggung tangan menghadap kebawah (posterior punggung). Bila di
korpus depan maka pindahkan tangan ke seblah atas tali pusat dan sisipkan ujung
jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan
menghadap ke atas (anterior ibu). Setelah ujung-ujung jari masuk diantara
plasenta dan dinding uterus maka perluas pelepasan plasenta dengan jalan
menggeser tangan ke tangan dan kiri sambil digeserkan keatas (cranial ibu)
hingga semua perlekatan plasenta terlepas dari dinding uterus.
Langkah 5
: Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri. Lakukan eksplorasi untuk
menilai tidak ada plasenta yang tertinggal.
Langkah 6
: Pidahkan tangan luar dari fundus ke supra syimphisis (tahan sekmen bawah
uterus) kemudian instruksikan asisten atau penolong untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam membawa plasenta ke luar (hindari adanya percikan darah)
Langkah 7
: Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan supra syimphisis) uterus ke
arah dorso kranial setelah plasenta dilahirkan dan ditempatkan plasenta di
dalam wadah yang telah disediakan.
Langkah 8
: Lakukan tindakan pencegahan infeksi dengan cara ; dekontaminasi sarung tangan
(sebelum dilepaskan) dan peralatan lain yang digunakan. Lepaskan dan rendam
sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5% selama 10
menit,cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir, keringkan tangan dengan
handuk bersih dan kering.
Langkah
9
: Lakukan pemantauan pasca tindakan, periksa kembali tanda vital ibu, catat
kondisi ibu dan buat laporan tindakan, tuliskan rencana pengobatan, tindakan
yang masih diperlukan dan asuhan lanjutan, beritahukan pada ibu dan keluarganya
bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan
lanjutan. Lanjutan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan sebelum pindah ke
ruang gawat gabung.
I.
Upaya
Preventif
Retensio
Plasenta
oleh Bidan
Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan adalah dengan promosi untuk
meningkatkan keluarga berencana, sehingga memperkecil terjadi retensio
plasenta, meningkatkan penolongan persalian oleh tenaga kesehatan yang
terlatih,pada waktu pengaktifan pertolongan kala III pada waktu meolong
pertolongan kala III tidak diperkenankan untuk melakukan masasse dengan tujuan
mempercepat proses persalinan plasenta. Massase yang tidak tepat waktu dapat
mengacaukan kontraksi otot rahim dan mengganggu plasenta.
J.
Penanganan
Retensio Plasenta Menurut Tingkatannya
Sebelum
melakukan penanganan sebaiknya mengetahui beberapa hal dari tindakan retensio
plasenta yaitu : plasenta dengan perdarahan langsung melakukan manual plasenta
tanpa perdarahan.
1.
Di tempat bidan : setelah memastikan
keadaaan umum, pasien segera memasang
infuse dan memberikan cairan merujuk penderita ke pusat dengan fasilitas cukup
untuk mendapatkan penanganan yang leboh baik, memberikan transfusi proteksi
dengan antibiotic; mempersiapkan plasenta manual dengan legeartis dalam
pengaruh narkosa.
2.
Tingkat Polindes : penanganan retensio
plasenta dari tingkatan desa sebelumnya persiapan donor darah yang tersedia
dari warga setempat yang telah dipilih dan dicocokkan dengan donor darah
pasien.
3.
Tingkat Puskesmas : diagnosis dilakukan
stabilisasi kemudian lakukan plasenta manual untuk kasus risiko rendah rujuk
kasus berat dan berikan utero tonika antibiotika.
4.
Tingkat Rumah Sakit : Diagnosis stabilisasi plasenta manual
histerektomi transfuse uterotonika antibiotika kedaruratan komplikasi.
K.
Penanganan
Secara Umum
1.
Jika plasenta terlihat dalam vagina,
mintalah ibu untuk mengedan, jika anda dapat merasakan plasenta dalam vagina,
keluarkan plasenta tersebut.
2.
Pastikan kandung kemih sudah
kosong. Jika diperlukan lakukan
kateterisasi kandung kemih.
3.
Jika plasenta belum keluar, berikan
oksitosin 10 unit IM jika belum dilakukan pada penanganan aktif kala III.
4.
Jangan berikan ergometrin karena dapat
menyebabkan kontraksi uterus yang tonik, yang bisa memperlambat pengeluaran
plasenta.
5.
Jika plasenta belum dilahirkan setelah
30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi, lakukan penarikan
tali pusat terkendali.
6.
Jika traksi pusat terkendali belum
berhasil, cobalah untuk melakukan pengeluaran plasenta secara manual.
7.
Jika perdarahan terus berlangsung,
lakukan uji pembekuan darah sederhana.
Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan
lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.
8.
Jika terdapat tanda- tanda infeksi
(demam, secret vagina yang berbau) berikan antibiotic untuk metritis.
9.
Sewaktu suatu bagian dari plasenta satu
atau lebih lobus tertinggal, akan menyebabkan uterus, tidak dapat berkontraksi
secara efektif.
10. Raba
bagiand alam uterus untuk mencari sisa plasenta. Eksplorasi manual uterus menggunakan tekhnik
yang serupa dengan tekhnik yang digunakan untuk mengeluarkan plasenta yang
tidak keluar.
11. Keluarkan
sisa plasenta dengan tangan, cuna ovum, atau curret.
12. Jika
perdarahan berlanjut lakukan uji bekuan darah.
2.2.4. Pembentukan Hematoma
Perdarahan postpartum juga dapat
tersamarkan akibat pembekuan hematoma proresif. Hal ini dapat di diagnosis
dengan mudah pada area seperti perinium atau vagina bagian bawah tetapi akan
lebih suliut di diagnosis jika terjadi pada ligamen yang luas atau liang
vagina. Volume darah yang besar dapat terkumpul secara tersembunyi (hingga 1
L). Involusi dan lokia biasanya normal
dan gejala utamanya semakin memperberat nyeri maternal.hal ini sering kali
bersifat akut sehingga hematoma harus diatasi di ruang operasi dibawah anstesi
umum infeksi skunder merupakan sangat mungkin terjadi.
2.2.5. Inversio Uteri
A.
Defenisi
Suatu
keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak
atau terjadi secara perlahan, selain dari pada itu pertolongan persalinan ynag
makin banyak dilakukan tenaga terlatih maka kejadian inversion uteripun makin
berkurang.
B. Diagnosa untuk Menentukan Keadaan
Inverio Uteri
Untuk menegakan
diagnose, maka periksa fundus dan hasilnya adalah fundus uteri menghilang dari
abdomen; pemeriksaan dalam; fundus uteri didalam lingkungan/ ruang rahim dapat
dengan atau tanpa plasenta, disertai rahim.
C. Penangan (dilakukan oleh dokter)
1.
Jika ibu kesakitan, berikan petidin
1 mg/kg BB (tetapi jangan lebih dari 100mg) IM atau IV secara perlahan atau
berikan morvin 0,1 mg/kg BB IM.
2.
Catatan jangan dibberikan oksitosin sampai inverse
telah direposisi.
3.
Jika perdarahan berlanjut, lakukan
uji pembekuan darah denganc ara sederhana.
4.
Berikan antibiotik profilaksis dosis
tunggal setelah mereposisi uterus missal : ampisilin 2g IV ditambah
metronidazol 500 mg IV, atau sefazolin 1
gr IV ditambah metronidazol 500 mg IV.
5.
Jika ada tanda- tanda infeksi
berikan antibiotic untuk metritis.
6.
Jika dicurigai terjadi bekrosis,
lakukan histerektomi vaginal. Hal ini
mungkin membutuhkan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan primer.
7.
Cara melakuakn reposisi inversion
uteri : pasang infuse, masukan tangan ke vagina, fundus didorong ke atas
berikan uterotonika, lakukan plasenta manual.
2.3. Perdarahan Postapartum Sekunder
Perdarahan postpartum skunder adalah
perdarahan dari traktus genital yang terjadi 24 jam atau lebih setelah
pelahiran plasenta; perdarahan postpartum dapat terjadi sampai 6 minggu
kemudian. Namun demikian, perdarahan postpartum cenderung terjadi antara 10 dan
14 hari stetelah pelahiran. Perdarahan biasanya terjadi akibat retensi fragmen
plasenta atau membran, atau adanya bekuan darah uterus yang besar. Lokia lebih banyak
dari normal dan tetrdiri atas darah segar yang biasanya akan terjadi kembali
selama minggu ke-2. Lokia jiga dapat berbau busuk jika terdapat infeksi. Dalam
hal ini biasanya terjadi subinvolusi, pireksia, dan takhikardia. Peristiwa
cenderung terjadi dirumah sehingga, ibu harus diperingatkan tentang
kemungkinnan tanda-tanda perdarahan postpartum skunder sebelum dipulangkan unit
kebidanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar