Laman

Cari Materi

Selasa, 28 Agustus 2018

IMUNISASI


2.1.            Definisi Imunisasi
Imunisasi merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit tertentu pada diri seseorang dengan pemberian vaksin. Vaksin adalah antigen yang dapat bersifat aktif maupun inaktif yang berasal dari mikroorganisme ataupun racun yang dilemahkan. Pemberian vaksin bisa melalui injeksi ,misalnya vaksin BCG, DPT, DT, TT, Campak, dan Hepatitis B. Sedangkan yang diberikan secara oral yaitu vaksin polio. Pemberian vaksin secara dini dan rutin pada bayi dan balita diketahui mampu memunculkan kekebalan tubuh secara alamiah. Cara itu sangat efektif, mudah, dan murah untuk menangkal berbagai penyakit menular.

2.2.            Imunisasi Wajib
5 jenis imunisasi yang wajib diperoleh bayi sebelum usia setahun. Penyakit-penyakit yang hendak dicekalnya memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi, selain bisa menimbulkan kecacatan.
1.      BCG
Ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis) berkaitan dengan keberadaan virus tubercle bacili yang hidup di dalam darah. Itulah mengapa, agar memiliki kekebalan aktif, dimasukkanlah jenis basil tak berbahaya ini ke dalam tubuh, alias vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara endemis TB (penyakit TB terus-menerus ada sepanjang tahun) dan merupakan salah satu negara dengan penderita TB tertinggi di dunia. TB disebabkan kuman Mycrobacterium tuberculosis, dan mudah sekali menular melalui droplet, yaitu butiran air di udara yang terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun bersin. Gejalanya antara lain: berat badan anak susah bertambah, sulit makan, mudah sakit, batuk berulang, demam dan berkeringat di malam hari, juga diare persisten. Masa inkubasi TB rata-rata berlangsung antara 8-12 minggu.
Untuk mendiagnosis anak terkena TB atau tidak, perlu dilakukan tes rontgen untuk mengetahui adanya vlek, tes Mantoux untuk mendeteksi peningkatan kadar sel darah putih, dan tes darah untuk mengetahui ada-tidak gangguan laju endap darah. Bahkan, dokter pun perlu melakukan wawancara untuk mengetahui, apakah si kecil pernah atau tidak, berkontak dengan penderita TB.
Jika anak positif terkena TB, dokter akan memberikan obat antibiotik khusus TB yang harus diminum dalam jangka panjang, minimal 6 bulan. Lama pengobatan tak bisa diperpendek karena bakteri TB tergolong sulit mati dan sebagian ada yang “tidur”. Karenanya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Selain menghindari anak berkontak dengan penderita TB, juga meningkatkan daya tahan tubuhnya yang salah satunya melalui pemberian imunisasi BCG.
a.       Jumlah pemberian
Cukup 1 kali saja, tak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan.
b.      Usia pemberian
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi sudah kemasukan kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera setelah lahir si kecil diimunisasi BCG
c.       Lokasi penyuntikan
Lengan kanan atas, sesuai anjuran WHO. Meski ada juga petugas medis yang melakukan penyuntikan di paha.
d.      Efek samping
Umumnya tidak ada. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah (atau di selangkangan bila penyuntikan dilakukan di paha). Biasanya akan sembuh sendiri.
e.       Tanda keberhasilan
Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.
Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja dikarenakan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat vaksinasi alamiah.
f.       Kontra indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan Mantoux positif.
2.      Hepatitis B
Lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program nasionalnya. Apalagi Indonesia yang termasuk negara endemis tinggi penyakit hepatitis. Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virus hepatitis B (VHB), dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati (kerusakan sel hati yang berat). Bahkan yang lebih buruk bisa mengakibatkan kanker hati.
Banyak jalan masuknya VHB ke tubuh si kecil. Yang potensial melalui jalan lahir. Bisa sejak dalam kandungan sudah tertular dari ibu yang mengidap hepatitis B atau saat proses kelahiran. Cara lain melalui kontak dengan darah penderita, semisal transfusi darah. Bisa juga melalui alat-alat medis yang sebelumnya telah terkontaminasi darah dari penderita hepatitis B, seperti jarum suntik yang tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi. Bahkan juga lewat sikat gigi atau sisir rambut yang digunakan antaranggota keluarga.
Malangnya, tak ada gejala khas yang tampak secara kasat mata. Bahkan oleh dokter sekalipun. Fungsi hati kadang tak terganggu meski sudah mengalami sirosis. Tidak cuma itu. Anak juga terlihat sehat, nafsu makannya baik, berat tubuhnya pun naik dengan bagus pula. Penyakitnya baru ketahuan setelah dilakukan pemeriksaan darah. Gejala baru tampak begitu hati si penderita tak mampu lagi mempertahankan metabolisme tubuhnya.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota keluarga dicurigai kena VHB, biasanya dilakukan screening terhadap anak-anaknya untuk mengetahui apakah membawa virus atau tidak. Pemeriksaan harus dilakukan kendati anak tak menunjukkan gejala sakit apa pun. Selain itu, imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah masuknya VHB.
a.       Jumlah pemberian
Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
b.      Usia pemberian
Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia antara 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain imunisasi yang dilakukan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan imunisasi tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum berusia 24 jam.
c.       Lokasi penyuntikan
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi di paha lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.
d.      Efek samping
Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua hari.
e.       Tanda keberhasilan
Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
f.       Tingkat kekebalan
Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.
g.      Kontra indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.


3.      Imunisasi Polio
imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II, III, yaitu :
1.        vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk). Cara pemberian vaksin ini ialah dengan penyuntikan .
2.        vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II dan III yang masih hidup, tetapi telah dilemahkan (vaksin Sabin). Cara pemberiannya ialah melalui mulut dalam bentuk pil atau cairan.
Di indonesia yang lazim diberikan ialah vaksin jenis Sabin. Kedua jenis vaksin tersebut mempunyai kebaikan dan kekurangannya. Kekebalan yang diperoleh sama baiknya. Karena cara pemberiannya lebih mudah melalui mulut, maka lebih sering dipakai jenis Sabin. Di beberapa negara terkenal “Tetra Vaccine” yang mengandung 4 jenis vaksin, yaitu kombinasi DPT dan polio, cara pemberiannya dengan suntikan.
poliomielitis ialah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus polio. Telah dikenal 3 jenis virus polio, yaitu tipe I, II dan III. Virus polio akan merusak bagian anterior (bagian muka) susunan saraf pusat tulang belakang. Penyakit ini terutama banyak terdapat di negara yang sedang berkembang. Di indonesia tercatat beberapa kali wabah polio, misalnya di Belitung tahun 1948, di Semarang tahun 1954, di Medan tahun 1957. Gejala penyakit ini bervariasi, dari gejala ringan sampai timbul kelumpuhan, bahkan mungkin suatu kematian. Gejala yang umum dan mudah dikenal ialah anak mendadak menjadi lumpuh pada salah satu anggota geraknya, setelah ia menderita demam selama 2-5 hari. Bila kelumpuhan itu terjadi pada otot pernafasan, mungkin anak akan meninggal karena sukar bernafas. Penyakit ini dapat langsung menular ari seseorang penderita polio atau dengan melalui makanan.
Di Indonesia dipakai vaksin Sabin yang diberikan melalui mulut. Imunisasi dasar diberikan ketika anak berumur 2 bulan, sebanyak 2-3 kali. Jarak waktu antara 2 pemberian ialah 4-6 minggu. Revaksinasi diberikan ketika anak berumur 1 ½ - 2 tahun, menjelang umur 5 tahun dan menjelang umur 10 tahun. Vaksin polio dapat diberikan bersama dengan vaksin DPT. Pada pemberian vaksin polio perlu diperhatikan bayi yang masih mendapat ASI. Karena ASI mengandung zat anti terhadap polio, maka dalam waktu 2 jam setelah minum vaksin polio bayi tersebut sebaiknya tidak diberikan ASI dahulu. Zat anti yang terdapat dalam ASI akan menghancurkan vaksin polio, sehingga imunisasi polio menjadi gagal. Pada saat ini banyak sarjana berpendapat bahwa tidak ada pengaruh ASI terhadap imunisai polio. ASI dapat diberikan seperti biasa, karena sifat dan jenis antibodi pada ASI berlainan.
Masalah lain yang sering dipertanyakan adalah tentang perlunya pemberian imunisasi ulang seandainya seorang anak pernah terjangkit penyakit polio. Jawabannya “Ya, masih diperlukan imunisasi ulang”. Alasannya adalah mungkin anak yang menderita polio itu hanya terjangkit oleh virus polio tipe I. Artinya, bila penyakitnya telah menyembuh ia hanya mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe I, tetapi tidak mempunyai kekebalan terhadap kedua jenis virus tersebut perlu diberikan imunisasi ulang polio.
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bisa lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio. Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang sehat.
Virus polio berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal.
Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Nah, imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio.
a.       Jumlah pemberian
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal. Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak ada istilah overdosis dalam imunisasi!
b.      Usia pemberian
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.
c.       Cara pemeberian
Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.

d.      Efek samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
e.       Tingkat kekebalan
Dapat mencekal hingga 90%.
f.       Kontra indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.
4.      Imunisasi DPT
Dengan pemberian imunisasi DTP, diharapkan penyakit difteri, tetanus, dan pertusis, menyingkir jauh dari tubuh si kecil. Kekebalan segera muncul seusai diimunisasi.
a.       Usia dan Jumlah pemberian
Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia 18 bulan, dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi TT
b.      Efek samping
Umumnya muncul demam yang dapat diatasi dengan obat penurun panas. Jika demamnya tinggi dan tak kunjung reda setelah 2 hari, segera bawa si kecil ke dokter. Namun jika demam tak muncul, bukan berarti imunisasinya gagal, bisa saja karena kualitas vaksinnya jelek, misal.
Untuk anak yang memiliki riwayat kejang demam, imunisasi DTP tetap aman. Kejang demam tak membahayakan, karena si kecil mengalami kejang hanya ketika demam dan tak akan mengalami kejang lagi setelah demamnya hilang. Jikapun orangtua tetap khawatir, si kecil dapat diberikan vaksin DTP asesular yang tak menimbulkan demam. Kalaupun terjadi demam, umumnya sangat ringan, hanya sekadar sumeng.
c.       Kontra indikasi
Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu penyakit seperti epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh menerima vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang menyebabkan panas.
   Penyakit DPT yang berbahaya
a.       Difteri
Penyakit yang disebabkan kuman Corynebacterium diphtheriae ini, gejalanya mirip radang tenggorokan, yaitu batuk, suara serak, dan tenggorokan sakit. Namun, difteri tak disertai panas sebagaimana yang terjadi pada radang tenggorokan. Gejala lain difteri adalah kesulitan bernapas (leher seperti tercekik dan napas berbunyi), sehingga wajah dan tubuh membiru, serta adanya lapisan putih pada lidah dan bibir.
Bakteri penyebab difteri ditularkan saat batuk, bersin, atau kala berbicara. Masa inkubasinya 1-6 hari. Penderita harus mendapatkan perawatan di rumah sakit dalam waktu cukup lama, sekitar 2-3 minggu, dan baru boleh pulang setelah penyakitnya benar-benar hilang 100%. Soalnya, difteri bisa kambuh lagi kalau belum betul-betul sembuh.
b.      Tetenus
Disebabkan oleh bakteri Clostridium Tetani, penyakit ini berisiko menyebabkan kematian. Infeksi tetanus bisa terjadi karena luka, sekecil apa pun luka itu. Tetanus rawan menyerang bayi baru lahir, biasanya karena tindakan atau perawatan yang tidak steril.
Gejala-gejala yang tampak antara lain kejang otot rahang, rasa sakit dan kaku di leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk mematikan kuman, antikejang untuk merilekskan otot-otot, dan antitetanus untuk menetralisir toksinnya.
c.       Pertusis
Disebut juga kinghoest, batuk rejan, atau batuk 100 hari lantaran batuknya memang berlangsung lama, bisa sampai 3 bulan. Penyakit ini mudah sekali menular melalui udara yang mengandung bakteri Bordetella pertussis. Masa inkubasinya 6-20 hari.
Gejala awalnya seperti flu biasa, yaitu demam ringan, batuk, dan pilek, yang berlangsung selama 1-2 minggu. Kemudian, gejala batuknya mulai nyata dan kuat, batuk panjang secara terus-menerus yang berbeda dengan batuk biasa. Tak jarang, karena kuatnya batuk ini, anak bisa sampai menungging-nungging, muntah-muntah, mata merah, berair, dan napasnya susah. Gejalanya sangat berat. Bahkan beberapa penderita bisa mengalami perdarahan. Setelah 2-4 minggu berlalu, batuk mulai berkurang dan kondisi anak mulai pulih.
Penderita akan diberi obat antibiotik untuk mematikan kuman, dan obat untuk mengurangi/menghentikan batuknya. Istirahat yang cukup, banyak minum, dan konsumsi makanan bergizi akan membantu mempercepat kesembuhan.
5.      Imunisasi Campak
Imunisasi diberikan untuk mendapat kekebalan terhadap penyakit campak secara aktif. Vaksin campak mengandung virus campak hidup yang sudah dilemahkan. Vaksin campak yang beredar di Indonesia dapat diperoleh dalam bentuk kemasan kering tunggal atau dalam kemasan kering kombinasi dengan vaksin gondong / bengok (mumps) dan rubella (campak jerman). Di Amerika Serikat kemasan terakhir ini dikenal dengan nama vaksin MMR (Measles-Mumps-Rubella Vaccine).
Istilah asing untuk penyakit campak ialah morbilli (latin), measles (inggris). Penyakit ini sangat mudah menular. Kuman penyebabnya ialah sejenis virus yang termasuk ke dalam golongan paramyxo virus. Gejala yang khas yaitu timbulnya bercak-bercak merah di kulit (eksantem), 3-5hari setelah anak menderita demam, batuk atau pilek. Bercak merah ini mula-mula timbul pada pipi di bawah telinga. Kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota gerak. Pada stadium berikutnya bercak merah tersebut akan berwarna coklat kehitaman dan akan menghilang dalam waktu 7-10 hari kemudian. Tahap penyakit ketika timbul gejala demam disebut stadium kataral. Tahap ketika kemudian timbul bercak merah di kulit disebut stadium eksantem. Pada stadium kataral penyakit campak sangat mudah menular kepada anak lain. Daya tular ini menjadi berkurang pada stadium eksantem.
Pada waktu stadium kataral dan stadium eksatem anak nampak sakit berat, lesu dan tidak ada nafsu makan. Sebenarnya penyakit campak sendiri merupakan penyakit yang terbatas dan dapat sembuh sendiri, tetapi sering diikuti oleh komplikasi yang cukup berat. Komplikasi penyakit campak yang berbahaya ialah radang otak (ensefalitis atau ensefalopati), radang paru, radang saluran kemih dan menurunnya keadaan gizi anak. Terutama pada anak yang kurang gizi, sering terdapat komplikasi radang paru yang mungkin dapat mengakibatkan kematian.
Menurunnya berat badan anak akibat penyakit campak akan menyebabkan merendahnya daya tahan, sehingga ia dengan mudah dihinggapi penyakit lain. Penyakit ini juga akan menyebabkan lebih menurunnya berat badan dan begitulah seterusnya. Maka terdapat lingkaran setan antara menurunnya berat badan, merendahnya daya tahan tubuh dan kejadian infeksi. Keadaan ini mungkin berakhir dengan kematian.
Dengan memperhatikan komplikasi penyakit campak yang cukup berat ini, sebenarnya tidaklah tepat pendapat tradisional bahwa sebaiknya anak itu dibiarkan menderita campak secara alamiah. Atau dengan istilah awam : “Kalau anak sakit, biarkan supaya campaknya keluar”.
Bayi baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit campak dari ibunya ketika ia dalam kandungan. Makin lanjut umur bayi, makin berkurang kekebalan pasif tersebut. Waktu berumur 6 bulan biasanya bayi itu tidak mempunyai kekebalan pasif lagi. Dengan adanya kekebalan pasif ini sangatlah jarang seorang bayi menderita campak pada umur kurang dari 6 bulan.
Menurut WHO (1973) imunisasi campak cukup dilakukan dengan 1 kali suntikan setelah bayi berumur 9 bulan. Lebih baik lagi setelah ia berumur lebih dari 1 tahun. Karena kekebalan yang dipeoleh berlangsung seumur hidup, maka tidak diperlukan revaksinasi lagi. Di Indonesia keadaannya berlainan. Kejadian campak masih tinggi dan sering dijumpai bayi menderita penyakit campak ketika ia berumur antara 6-9 bulan, jadi pada saat sebelum ketentuan batas umur 9 bulan untuk mendapat vaksinasi campak seperti yang dianjurkan WHO. Dengan memperhatikan kejadian ini, sebenarnya imunisasi campak dapt diberikan sebelum bayi berumur 9 bulan, misalnya pada umur antara 6-7 bulan ketika kekebalan pasif yang diperoleh dari ibu mulai menghilang. Akan tetapi kemudian ia harus mendapat satu kali suntikan ulang setelah berumur 15 tahun.
Bila ada seorang anak terjangkit campak, apakah imunisasi terhadap anak lain serumah yang belum pernah campak perlu diberikan? Pertanyaan ini sering dikemukakan oleh para ibu. Vaksinasi terhadap anak serumah yang mempunyai kontak dengan penderita campak dapat diberikan dalam waktu 5hari setelah terjadi kontak. Bila diberikan setelah hari ke-5, vaksinasi tidak akan bermanfaat, karena anak sudah tertular lebih dulu dari anak penderita campak tadi. Yang menjadi masalah ialah kesulitan menentukan waktu yang tepat terjadinya kontak. Untuk hal ini sebagai patokan dapat diambil hari pertama terjadinya demam yang timbul pada penderita campak tersebut, sebelum timbul bercak merah di kulit. Seperti diuraikan di atas masa penularan yang paling berbahaya ialah pada awal penyakit, yaitu pada stadium kataral sebelum keluar bercak merah. Dengan demikian dapat disimpulkan, bila seorang anak diketahui menderita penyakit campak,yang biasanya dikenal ibunya karena timbulnya bercak merah, maka pada saat ini tidak ada manfaatnya lagi untuk melakukan imunisasi pada anak lainnya. Saat kejadian ini biasanya telah melampaui batas waktu 5 hari dari hari pertama terjadinya demam.
Seandainya anak serumah yang sudah ditulari virus campak, karena sesuatu hal tetap mendapat imunisasi campak, hal ini tidak akan memperberat atau memperingan keadaan anak bila dalam beberapa hari kemudian ia akan menderita campak yang sebenarnya.
Masalah lain yang sering timbul pada pihak ibu adalah perlukah vaksinasi campak diulang pada anak yang telah menderita campak karena infeksi alamiah. Sebenarnya bila anak tersebut benar-benar telah menderita sakit campak, maka vaksinasi campak tidak perlu diberikan lagi. Masalahnya adalah apakah anak tersebut benar menderita campak? Biasanya seorang ibu mendasarkan dugaan sakit anaknya itu hanya karena adanya demam yang disertai dengan timbulnya bercak merah di kulit. Gejala demam dengan bercak merah tidak hanya terjadi pada penyakit campak, tetapi dapat pula dijumpai pada penyakit lain, seperti penyakit “demam 3 hari”, demam berdarah, campak jerman, dan sebagainya.

Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare. Satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5°C. Seiring dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercak-bercak merah ini akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya baik, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak.
Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini, tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak.
Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru (broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi inilah yang umumnya paling sering menimbulkan kematian pada anak.
a.      Usia dan jumlah pemberian
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella).
b.      Efek samping
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.

c.       Kontra indikasi
Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan pemberian vaksin campak. Walaupun berlawanan penting untuk mengimunisasi anak yang mengalami malnutrisi. Demam ringan, infeksi ringan pada saluran nafas atau diare, dan beberapa penyakit ringan lainnya jangan dikategorikan sebagai kontraindikasi. Kontraindikasi terjadi bagi individu yang diketahui alergi berat terhadap kanamycin dan erithromycin. Karena efek vaksin virus campak hidup terhadap janin belum diketahui, maka wanita hamil termasuk kontraindikasi. Individu Pengidap Virus HIV (HUMAN IMMUNODEFFICIENCY VIRUS).
Vaksin Campak kontraindikasi terhadap individu-individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma atau generalized malignancy. Bagaimanapun penderita HIV, baik yang disertai gejala ataupun tanpa gejala harus diimunisasi vaksin campak sesuai jadual yang ditentukean.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar