BBLR (Bayi Baru Lahir Rendah)
2.1.1. Defenisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat
lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir (3).
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi
bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia
dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang
atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR
didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi
dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (4).
BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan
disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang
terhadap kehidupannya dimasa depan (1,2). Angka kejadian di
Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu
berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah multicenter diperoleh angka
BBLR dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut
SDKI, angka BBLR sekitar 7,5 %. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang
ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010
yakni maksimal 7% (2,3).
2.1.3. Etiologi
Penyebab
terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu yang lain
adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,
kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya
BBLR (3).
1. Faktor ibu
a.
Penyakit
Seperti
malaria, anaemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
b. Komplikasi pada kehamilan.
Komplikasi
yang tejadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan antepartum, pre-eklamsia
berat, eklamsia, dan kelahiran preterm.
c. Usia Ibu dan paritas
Angka
kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan
usia <>
d.
Faktor kebiasaan ibu
Faktor
kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu pecandu alkohol dan ibu
pengguna narkotika.
2. Faktor Janin
Prematur,
hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan kromosom.
3. Faktor Lingkungan
Yang
dapat berpengaruh antara lain; tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi,
sosio-ekonomi dan paparan zat-zat racun (4,7).
2.1.4. Komplikasi
Komplikasi
langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain (8):
·
Hipotermia
·
Hipoglikemia
·
Gangguan
cairan dan elektrolit
·
Hiperbilirubinemia
·
Sindroma
gawat nafas
·
Paten
duktus arteriosus
·
Infeksi
·
Perdarahan
intraventrikuler
·
Apnea of Prematurity
·
Anemia
Masalah
jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) antara lain (3,8):
·
Gangguan
perkembangan
·
Gangguan
pertumbuhan
·
Gangguan
penglihatan (Retinopati)
·
Gangguan
pendengaran
·
Penyakit
paru kronis
·
Kenaikan
angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
·
Kenaikan
frekuensi kelainan bawaan
2.1.5. Diagnosis
Menegakkan
diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi dalam jangka waktu
<> dapat diketahui dengan dilakukan anamesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (8).
1. Anamnesis
Riwayat
yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk menegakkan mencari etiologi
dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR (3):
·
Umur
ibu
·
Riwayat
hari pertama haid terakir
·
Riwayat
persalinan sebelumnya
·
Paritas,
jarak kelahiran sebelumnya
·
Kenaikan
berat badan selama hamil
·
Aktivitas
·
Penyakit
yang diderita selama hamil
·
Obat-obatan
yang diminum selama hamil
2. Pemeriksaan Fisik
Yang
dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain (3):
·
Berat
badan
·
Tanda-tanda
prematuritas (pada bayi kurang bulan)
·
Tanda
bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan antara lain (3):
·
Pemeriksaan
skor ballard
·
Tes
kocok (shake test), dianjur untuk bayi kurang bulan
·
Darah
rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia fasilitas diperiksa kadar
elektrolit dan analisa gas darah.
·
Foto
dada ataupun babygram diperlukan pada
bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau
didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.
·
USG
kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan
2.1.6. Penatalaksanaan/ terapi
1. Medikamentosa
·
Pemberian
vitamin K1(3):
·
Injeksi
1 mg IM sekali pemberian, atau
·
Per
oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10
hari, dan umur 4-6 minggu)
2. Diatetik
Bayi
prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks menghisapnya masih
lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas
dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan memegang kepala
dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap sementara ASI yang
telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet atau selang kecil yang menempel
pada puting. ASI merupakan pilihan utama (6):
·
Apabila
bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara apapun,
perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang
sehari sekali.
·
Apabila
bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20 g/hari selama 3
hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.
·
Pemberian
minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan bayi
adalah sebagai berikut (3):
a. Berat lahir 1750 – 2500 gram
ü
Bayi Sehat
Ø
Biarkan
bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil lebih mudah merasa
letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu lebih sering (contoh; setiap 2
jam) bila perlu.
Ø
Pantau
pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai efektifitas menyusui.
Apabila bayi kurang dapat menghisap, tambahkan ASI peras dengan menggunakan
salah satu alternatif cara pemberian minum.
ü
Bayi Sakit
Ø
Apabila
bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV, berikan minum seperti
pada bayi sehat.
Ø
Apabila
bayi memerlukan cairan intravena:
·
Berikan cairan intravena hanya selama
24 jam pertama
·
Mulai berikan minum per oral pada hari
ke-2 atau segera setelah bayi stabil. Anjurkan pemberian ASI apabila ibu ada
dan bayi menunjukkan tanda-tanda siap untuk menyusu.
·
Apabila masalah sakitnya menghalangi
proses menyusui (contoh; gangguan nafas, kejang), berikan ASI peras melalui
pipa lambung :
o
Berikan cairan IV dan ASI menurut umur
o
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam
(contoh; 3 jam sekali). Apabila bayi telah mendapat minum 160 ml/kgBB per hari
tetapi masih tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum. Biarkan bayi
menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi menunjukkan keinginan untuk
menyusu dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.
b. Berat lahir 1500-1749 gram
·
Bayi Sehat
Ø
Berikan
ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang dibutuhkan tidak dapat
diberikan menggunakan cangkir/sendok atau ada resiko terjadi aspirasi ke dalam
paru (batuk atau tersedak), berikan minum dengan pipa lambung. Lanjutkan dengan
pemberian menggunakan cangkir/ sendok apabila bayi dapat menelan tanpa batuk
atau tersedak (ini dapat berlangsung setela 1-2 hari namun ada kalanya memakan
waktu lebih dari 1 minggu)
Ø
Berikan
minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap
kali minum.
Ø
Apabila
bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk
menyusui langsung.
·
Bayi Sakit
Ø
Berikan
cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Ø
Beri
ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan IV
secara perlahan.
Ø
Berikan
minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan
minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap
kali minum.
Ø
Lanjutkan
pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok apabila kondisi bayi sudah stabil
dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau tersedak
Ø
Apabila
bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk
menyusui langsung.
c. Berat lahir 1250-1499 gram
·
Bayi Sehat
ü
Beri
ASI peras melalui pipa lambung
ü
Beri
minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum
ü
Lanjutkan
pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
ü
Apabila
bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk
menyusui langsung.
·
Bayi Sakit
ü
Beri
cairan intravena hanya selama 24 jam pertama.
ü
Beri
ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi jumlah cairan
intravena secara perlahan.
ü
Beri
minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum
160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali
minum
ü
Lanjutkan
pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
ü
Apabila
bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk
menyusui langsung.
d. Berat lahir (tidak tergantung kondisi)
·
Berikan
cairan intravena hanya selama 48 jam pertama
·
Berikan
ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke-3 dan kurangi pemberian cairan
intravena secara perlahan.
·
Berikan
minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam). Apabila bayi telah mendapatkan minum
160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali
minum
·
Lanjutkan
pemberian minum menggunakan cangkir/ sendok.
·
Apabila
bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan cangkir/ sendok, coba untuk
menyusui langsung.
3. Suportif
Hal
utama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal (3):
·
Gunakan
salah satu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti
kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau
ruangan hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai
petunjuk.
·
Jangan
memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin
·
Ukur
suhu tubuh dengan berkala
·
Yang
juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah :
ü
Jaga
dan pantau patensi jalan nafas
ü
Pantau
kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit
ü
Bila
terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia, kejang,
gangguan nafas, hiperbilirubinemia)
ü
Berikan
dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya
ü
Anjurkan
ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan ibu berkunjung
setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui.
2.1.7. Pemantauan (Monitoring)
1. Pemantauan saat dirawat
a.
Terapi
ü
Bila
diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan
ü
Preparat
besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu
b.
Tumbuh kembang
ü
Pantau
berat badan bayi secara periodik
ü
Bayi
akan kehilangan berat badan selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk bayi
dengan berat lair ≥1500 gram dan 15% untuk bayi dengan berat lahir <1500>
ü
Bila
bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori berat lahir) dan
telah berusia lebih dari 7 hari :
-
Tingkatkan jumlah ASI denga 20
ml/kg/hari sampai tercapai jumlah 180 ml/kg/hari
-
Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan
peningkatan berat badan bayi agar jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari
-
Apabila kenaikan berat badan tidak
adekuat, tingkatkan jumlah pemberian ASI hingga 200 ml/kg/hari
-
Ukur berat badan setiap hari, panjang
badan dan lingkar kepala setiap minggu.
2. Pemantauan setelah pulang
Diperlukan
pemantauan setelah pulang untuk mengetahui perkembangan bayi dan mencegah/
mengurangi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi setelah pulang sebagai
berikut (3,4):
ü
Sesudah
pulang hari ke-2, ke-10, ke-20, ke-30, dilanjutkan setiap bulan.
ü
Hitung
umur koreksi
ü
Pertumbuhan;
berat badan, panjang badan dan lingkar kepala.
ü
Tes
perkembangan, Denver development screening test (DDST)
ü
Awasi
adanya kelainan bawaan
2.1.8. Pencegahan
Pada
kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah langkah yang
penting. Hal-hal yang dapat dilakukan (3):
1.
Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali selama kurun
kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu hamil yang diduga
berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah melahirkan bayi BBLR harus cepat
dilaporkan, dipantau dan dirujuk pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih
mampu
2.
Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim,
tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri selama kehamilan agar
mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik
3.
Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat
(20-34 tahun)
4.
Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam meningkatkan
pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka dapat meningkatkan akses
terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal dan status gizi ibu selama hamil
2.2. Asfiksia
2.2.1. Definisi
Asfiksia
neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami kegagalan
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
2.2.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Hipoksia
janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran
gas transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat ganguan dalam persediaan
O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun
akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak
karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.
Gangguan
menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit menahun
seperti anemia, hipertensi, jantung dll. Faktor-faktor yang timbul dalam
persalinan yang bersifat mendadak yaitu faktor janin berupa gangguan aliran
darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat, depresi pernapasan karena
obat-obatan anestesia/ analgetika yang diberikan ke ibu, perdarahan
intrakranial, kelainan bawaan seperti hernia diafragmatika, atresia saluran
pernapasan, hipoplasia paru-paru dll. Sedangkan faktor dari pihak ibu adalah
gangguan his misalnya hipertonia dan tetani, hipotensi mendadak pada ibu karena
perdarahan, hipertensi pada eklamsia, ganguan mendadak pada plasenta seperti
solusio plasenta.
Towel
(1996) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernapasan paa bayi terdiri
dari :
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Dapat
terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi
dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b. Gangguan
aliran darah uterus
Berkurangnya
aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkutangnya aliran oksigen ke
plasenta dan juga ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada gangguan
kontraksi uterus, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi
pada penyakit eklamsi dsb.
2. Faktor
plasenta
Pertukaran
gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta, asfiksis
janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya
perdarahan plasenta, solusio plasenta dsb.
3. Faktor fetus
Kompresi
umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah
umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran
darah ini dapat ditemukan pada keadaan talipusat menumbung, melilit leher,
kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin, dll.
4. Faktor
neonatus
Depresi
pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu
pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu, trauma yang terjadi saat
persalinan misalnya perdarahan intra kranial, kelainan kongenital pada bayi
misalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernapasan,
hipoplasia paru, dsb.
2.2.3. Tanda Dan Gejala
1. Hipoksia
2. RR> 60 x/mnt atau < 30 x/mnt
3. Napas megap-megap/gasping sampai dapat terjadi
henti napas
4. Bradikardia
5. Tonus otot berkurang
6. Warna
kulit sianotik/pucat
2.2.4. Patofisiologi
Pernapasan
spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin pada masa hamil dan
persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang
bersifat sementara. Proses ini sangat perlu untuk merangsang hemoreseptor pusat
pernapasan untuk terjadinya usaha pernapasan yang pertama yang kemudian akan
berlanjut menjadi pernapasan yang teratur. Pada penderita asfiksia berat usaha
napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Pada tingkat
ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula
penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid). Pada asfiksia
berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya
bernapas secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran
gas/transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya menimbulkan
asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan terjadi
metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis metabolik,
selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler.Asidosis dan gangguan
kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel-sel otak, dimana
kerusakan sel-sel otak ini dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa
(squele).
2.2.5. Klasifikasi
Asfiksia
neonatorum diklasifikasikan sbb:
1. Vigorous Baby
Skor
APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Mild Moderate asphyksia/ asphyksia
sedang
Skor
APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas
tidak ada.
3. Asphyksia
berat
Skor
APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 x
permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek
iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung
fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi
jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat.
2.2.6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa
Gas darah
2. Elektrolit
darah
3.
Gula darah
4. Baby
gram (RO dada)
5. USG
(kepala)
2.2.7. Manajemen Terapi
Tindakan
untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang
bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala
sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti
tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi :
1.
Memastika saluran nafas terbuka :
o
Meletakan
bayi dalam posisi yang benar
o
Menghisap
mulut kemudian hidung k/p trakhea
o
Bila
perlu masukan Et untuk memastikan pernapasan terbuka
2.
Memulai pernapasan :
o
Lakukan
rangsangan taktil
o
Bila
perlu lakukan ventilasi tekanan positif
3.
Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang
dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau bila perlu
menggunakan obat-obatan
Cara resusitasi dibagi
dalam tindakan umum dan tindakan khusus :
1. Tindakan
umum
a.
Pengawasan
suhu
b. Pembersihan jalan nafas
c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2. Tindakan khusus
a. Asphyksia berat
Resusitasi
aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki ventilasi paru
dengan pemberian O2 dengan tekanan dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi
endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir
selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB,
diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini
disuntuikan kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat
ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung.
Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3
kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau
frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan frekuensi
80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan
1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi
dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali,
mungkin hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum
dikoreksi atau gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau stenosis
jalan nafas.
b. Asphyksia sedang
Stimulasi
agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam waktu 30-60 detik tidak
timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dilakukan, ventilasi
sederhana dengan kateter O2 intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan
dalam posisi dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan
menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan
frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding toraks dan
abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan, usahakan
mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak dicapai dalam
1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak langsung
segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari
mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut
ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan
dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang
mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan
berberapa saat terjasi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot,
intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa
dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan
pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.
2.2.8. Diagnosis Keperawatan yang Sering Muncul
1. Bersihan nafas tidak efektif
2. Pola
nafas bayi tidak efektif b.d kelemahan otot pernapasan
3. Risiko
infeksi b.d prosedur infasif
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d kelemahan
5. PK
: Asidosis
6. Hipotermia
b.d pajanan lingkungan yang dingin, bayi baru lahir
Bagan Penanganan
Asfiksa
Ujikembali
efektifitas :
- Ventilasi
- Kompresi dada
- IntubasiEndotrakeal
-
Pemberianepinefrin
Pertimbangkankemungkinan
:
- Hipovolemia
-Asidosismetabolikberat
2.3. Sindrom Gangguan Pernafasan
2.3.1. Definisi
Adalah
gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan
tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara
kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray
thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat
penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark
1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.
Menurut
Murray et.al (1988) disebut RDS apabila ditemukan adanya kerusakan paru
secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau
kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar.
Definisi
RDS menurut Bernard et.al (1994) apabila onset akut, ada infiltrat bilateral
pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal =18mmHg dan tidak ada bukti secara
klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2
: FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang
ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200,disebut sebagai RDS .
2.3.2. Etiologi
Towel
dalam Jumiarni, dkk (1995) menggolongkan penyebab kegagalan pernafasan pada
neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor
persalinan.
Faktor
ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari
35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit
pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi,
penyakit jantung, diabetes melitus dan lain-lain. Faktor plasenta meliputi
solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis,
plasenta tidak menempel pada tempatnya. Faktor janin atau neonatus meliputi
tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara
janin dan jalan lahir, gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus
dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan
dan lain-lain.
Kegawatan
pernafasan dapat terjadi pada bayi aterm maupun pada bayi preterm, yaitu bayi
dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan
BBLR yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena belum maturnya
fungsi organ-organ tubuh.
Kegawatan
sistem pernafasan dapat terjadi pada bayi yang lahir dengan berat kurang dari
2500 gram dalam bentuk sindroma gagal nafas dan asfiksia neonatorum yang terjadi
pada bayi cukup bulan.
Sindroma
gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekwatnya jumlah surfaktan pada paru-paru. Sementara asfiksia neonatorum
merupakan gangguan pernafasan akibat ketidakmampuan bayi beradaptasi terhadap
asfiksia. Biasanya masalah ini disebabkan karena adanya masalah-masalah kehamilan
dan pada saat persalinan.
Sindroma
gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) adalah istilah yang digunakan
untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak
adekwatnya jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001). Gangguan
ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit
membran hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang
melapisi alveoli.
Defesiensi
atau kerusakan surfaktan
Ada
4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
a.
Prematur
b.
Asfiksia
Perinatal
c.
Maternal
diabetes
d.
Seksio
sesaria.
Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan
pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang
lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru
yang matur.
Fungsi
surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi
udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah
berat.
2.3.3. Patofisiologi
Pada
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat
yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel
saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri
dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan
tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan
sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi.
Kolaps
paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia,
retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia
akan menyebabkan terjadinya :Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme
anerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
Kerusakan
endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam
alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan
membrane hialin.
Asidosis
dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah
keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis.
Sel
tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada
periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine
seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.
Secara
singkat patofisiologinya dapat digambarkan sbb :
Atelektasis
→ hipoksemia →asidosis → transudasi → penurunan aliran darah paru → hambatan
pembentukan zat surfaktan → atelekstasis. Hal ini berlangsung terus sampai
terjadi penyembuhan atau kematian.
2.3.4. Gambaran Klinis
RDS
mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan <1000 gram.
Tanda-tanda
gangguan pernafasan berupa :
a.
Dispnue/hipernue/takipneu
b.
Sianosis
c.
Retraksi suprasternal / epigastrik / intercostals
d.
Grunting expirasi
e.
Mengorok ekspiratori
f.
Pernapasan cuping hidung
g.
Pernapasan kulit
Didapatkan
gejala lain seperti :
a.
Bradikardi
b.
Hipotensi
c.
Kardiomegali
d. Edema
terutama didaerah dorsal tangan atau kaki
e.
Hipotermi
f. Tonus
otot yang menurun
Berdasarkan
foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
·
Pertama,
terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,
·
Kedua,
bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
·
Ketiga,alveoli
yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan
bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
·
Keempat,
seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat
dilihat.
2.3.5. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek dapat
terjadi :
1. Kebocoran alveoli : Apabila dicurigai
terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium,
emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan
gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang
menetap.
2.
Jangkitan penyakit kerana keadaan
penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan
thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti
pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3.
Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak
pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4.
PDA dengan peningkatan shunting dari
kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan
terapi surfaktannya.
Komplikasi
jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak
dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1.
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi
vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2.
Retinopathy prematur Kegagalan fungsi
neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi,
adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
2.3.6. Asuhan pada BBL dengan RDS
1. Pengkajian
1.
Data Demografi ( Nama Anak, jenis
kelamin, nama orang tua, pekerjaan orang tua, alamat, pendidikan terakhir,
agama, suku dsb.)
2.
Lakukan pengkajian fisik bayu baru lahir dan pengkajian gestasi.
3.
Lakukan pengkajian sistemik, dengan penekanan kusus pada pengkajian
pernafasan.
4.
Observasi adanya manifestasi RDS :
-
Dispnue/hipernue/takipneu
-
Sianosis
-
Retraksi suprasternal / epigastrik / intercostals
-
Grunting expirasi
-
Mengorok ekspiratori
-
Pernapasan cuping hidung\
-
Pernapasan kulit
Bila penyakit
berlanjut :
-Lemah
dan lesu
-Tidak
responsive
-Sering
mengalami episode apneu
-Penurunan
bunyi napas gangguan termoregulasi
Penyakit yang berat
berhubungan dengan hal berikut :
Keadaan
seperti syok
Penurunan
curah jantung
Rendahnya
tekanan darah sistemik
Bantu
saat prosedur dan tes-tes, (mis radiografi, analisis gas darah)
2. Diagnosa Keperawatan
1.
Inefektif pola nafas b.d adanya penumpukan
lendir pada jalan nafas.
2.
Gangguan perfusi jaringan b.d
kurangnya oksigenasi keotak
3.
Defisit volume cairan b.d meningkatnya
metabolisme
4.
Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d
intake yang tidak adekuat
5.
Resiko terjadinya infeksi pada tali pusat b.d invasi kuman patogen kedalam
tubuh
6.
Kecemasan ortu b.d kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar