Kejang
2.1.1 Definisi
Kejang
Kejang pada neonatus didefinisikan
sebagai suatu gangguan terhadap fungsi neurologis seperti tingkah
laku, motorik, atau fungsi otonom. Periode bayi
baru lahir (BBL) dibatasi sampai hari ke 28 kehidupanpada bayi
cukup bulan, dan untuk bayi premature, batasan ini digunakan
sampai usia gestasi 42 minggu.
Kebanyakan kejang
pada BBL timbul selama beberapa hari. Sebagian kecil dari bayi tersebut
akan mengalami kejang lanjutan dalam kehidupannya kelak. Kejang pada neonatus
relatife sering dijumpai dengan manipestasi klinis yang berfariasi. Timbulnya
sering merupakan gejala awal dari gangguan neurologi dan dapat terjadi gangguan
pada kognitif dan perkembangan jangka panjang.
2.1.2 Penyebab
Neuron dalam susunan saraf pusat
(SSP) mengalami depolarisasi sebagai akibat dari masuknya kalium dan
repolarisasi timbul akibat keluarnya kalium. Kejang timbul bila terjadi depolarisasi
berlebihan akibat arus listrik yang terus menerus dan
berlebihan.
Volpe mengemukakan 4
kemungkinan alasan terjadi depolarisasi yang berlebihan, yaitu:
·
gagalnya pompa
natrium kalium karena gangguan produksi energi
·
selisih relatife
antara neurotransmitter eksitasi dan inhibisi
·
perubahan membrane
neuron menyebabkan hambatan gerakan natrium.
Penyebab kejang pada neonatus:
1.
Bayi tidak
menangis pada waktu lahir adalah penyebab yang paling sering timbul
dalam 24 jam kehidupan pada kebanyakan kasus.
2.
Perdarahan otak,
dapat timbul sebagai akibat dari kekurangan oksigen atau trauma pada kepala. Perdarahan
subdural yang biasanya diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan kejang.
3.
Gangguan metabolik
a.
Kekurangan kadar
gula darah(hipoglikemi), sering timbul dengan gangguan
pertumbuhan dalam kandungan dan pada bayi dengan ibu penderita
diabetes mellitus (DM). Jangka waktu antara hipoglikemia dan waktu
sebelum pemberian awal pengobatan merupakan waktu timbulnya kejang
lebihjarang timbul pada ibu penderita DM, kemungkinan karena waktu hipoglikemia
yang pendek.
b.
Kekurangan
kalsium (hipokalsemia), sering ditemukan pada bayi berat badan lahir
rendah, bayi dengan ibu penderita DM, bayi asfiksia, bayi dengan ibu penderita
hiperparatiroidisme.
c.
Kekurangan
natrium (hiponatremia)
d.
Kelebihan
natrium (hipernatremia), biasanya timbul bersamaan dengan dehidrasi
atau pemakaian bikarbonat berlebihan.
2.1.3 Tanda dan gejala
·
Riwayat kejang
·
Ada tanda dan gejala kejang
·
Tremor dengan atau tanpa
kesadaran menurun
·
Menangis melengking
tiba-tiba
·
Gerakan yang tidak
terkendali pada mulut, mata atau anggota gerak
·
Mulut mencucu
·
Kaku seluruh badan dengan
atau tanpa rangsangan
2.1.4 Penatalaksanaan
Pertahankan homeostasis sistemik
(pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
v Terapi etiologi spesifik :
·
Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena
bolus pelan dalam 5 menit
·
Kalsium glukonas
10 % 200 mg/kg BB intravena(2 ml/kg BB) diencerkan aquades sama
banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila diduga hipokalsemia)
·
Antibiotika bila
dicurigai sepsis atau meningitis
·
Piridoksin
50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang
akan berhenti dalam beberapa menit
v Terapi anti kejang :
·
Diazepam
·
Fenobarbital :
Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler dalam 5 menit,
jika tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2
kali dengan selang waktu 30 menit.
·
Bila kejang
berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg BB intra vena dalam 30 menit.
·
Rumatan fenobarbital dosis
3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara intramuskuler atau peroral dalam dosis
terbagi tiap 12 jam,dimulai 12 jam setelah loading dose.
·
Rumatan fenitoin
dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam.
Penghentian obat anti
kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna
pada USG atau CT Scan kepala atau
adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang.
2.2 Perdarahan Tali Pusat
2.2.1 Pengertian Perdarahan Tali Pusat
Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat
dari trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses
pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa
sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.
2.2.2 Etiologi
1. Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a.
Patus precipitates
b.
Adanya trauma atau lilitan
tali pusat
c.
Umbilikus pendek, sehingga
menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat persalinan
d.
Kelalaian penolong persalinan
yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea
2. Robekan umbilikus abnormal,
biasanya terjadi karena :
a.
Adanya hematoma pada
umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk
kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi
bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi
bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi
b.
Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila
varises tersebut pecah
c.
Aneurisma pembuluh darah
pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah
dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding
pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah
pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah
3.
Robekan pembuluh darah
abnormal. Pada kasus dengan robekan pembuluh
darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya
dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti :
dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti :
a.
Pembuluh darah aberan yang
mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jely Wharton
b.
Insersi velamentosa tali
pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat
sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak adda
proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda
c.
Placenta multilobularis, perdarahan terjadi
pembuluh darah yang menghubungkan masing- masing lobus dengan jaringan
placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah
pecah
pecah
4.
Perdarahan akibat placenta
previa dan abrotio placenta
Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abrutio
placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia. Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abrutio
placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia. Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala.
2.2.3
Tanda dan Gejala
·
Pucat
·
Lemah
·
Reaksi terhadap
rangsangan berkurang
·
Kesadaran menurun
·
Nadi dan
denyutan pembuluh darah tali pusat tidak teraba
·
Takhikardi
(nafas Cepat)
·
Bunyi jantung
lemah
·
Pernapasan
dangkal
2.2.4
Penatalaksanaan
1)
Penanganan disesuaikan
dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi
2)
Untuk penanganan awal, harus
dilakukan tindakan pencegahan infeksi pada tali pusat.
3)
Segera lakukan inform
consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk dilakukan rujukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar