Pengertian Infertilitas
Definisi standar infertilitas adalah
ketidakmampuan untuk menjadi hamil dalam satu tahun setelah secara teratur
menjalani hubungan intim tanpa kontrasepsi.
Menurut Weschler, ada beberapa hal yang
menyebabkan seseorang berkesimpulan dirinya infertil, padahal sebenarnya belum
tentu demikian:
a.
Apabila
dalam satu tahun tidak terjadi kehamilan meski menjalani hubungan
intim tanpa kontrasepsi.
b.
Jika
siklus menstruasi tidak teratur. Padahal, tidak semua wanita
memiliki siklus 28 hari, dan ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke 14.
c.
Dokter
terburu-buru mengambil kesimpulan hanya berdasarkan frekuensi hubungan intim,
dan terburu-buru menerapkan tes-tes yang invasif atau terburu-buru memberikan
obat. Padahal, keseringan hubungan intim tidak akan menghasilkan kehamilan
apabila dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Dokter yang teliti akan
mengambil langkah berikut terlebih dahulu:
d.
Dokter
hanya memfokuskan mengambil solusi berdasarkan kenaikan suhu
basal tubuh, dan
mengabaikan pengamatan lendir leher
rahim. Padahal, kenaikan
suhu terjadi pada saat ovum sudah mati, sementara masa subur adalah
tepat sebelum kenaikan suhu tersebut terjadi. Lihat menstruasi.
e.
Dokter
melakukan tes kesuburan pada waktu yang tidak tepat. Contohnya adalah :
1)
Penerapan
tes pasca-senggama (postcoital test), yang dimaksudkan untuk menganalisa apakah
sperma tersebut subur, dan apakah lendir leher
rahim wanita kondusif
untuk pembuahan. Padahal, jika tes ini dilakukan bukan pada fase
subur, tes ini akan
invalid. Dan jangan lupa, tidak semua orang mengalami ovulasi pada hari 14 setelah menstruasi.
2)
Demikian
juga tes biopsi dinding rahim, tidak akan menunjukkan hasil yang baik jika
waktunya tidak tepat
f.
Alat
untuk menentukan masa subur kadang kala tidak tepat:
1)
Alat
ini biasanya mendeteksi munculnya hormon LH sebelum ovulasi. Padahal, ada wanita yang mengalami sindrom
LUFS di mana hormon LH tidak menyebabkan ovulasi.
2)
Ada
wanita yang mengalami kemunculan hormon LH jauh sebelum ovulasi itu sendiri
(mini-peaks of LH).
4)
Ketepatan
alat ini bisa berkurang jika terkena panas yang berlebihan
5)
Alat
ini tidak akan memberi hasil positif jika dilakukan bukan pada masa subur.
Sementara banyak wanita yang menyangka dirinya berovulasi hanya pada hari ke
14. Padahal tidak selalu demikian.
6)
Obat
kesuburan seperti Pergonal atau Danicrone bisa mempengaruhi alat tersebut
7)
Alat
ini tidak akurat untuk wanita di atas 40 tahun
g.
Ada
wanita yang menyangka dirinya tidak bisa hamil, padahal kenyataannya dia bisa
hamil tetapi mengalami keguguran.
2.2. Penyebab Infertilitas
A. Faktor Wanita
Infertilitas
didiagnosa dan diterapi dalam konteks satu unit pasangan (couple unit).
Proporsi pasangan dengan faktor wanita adalah sama besarnya dengan proporsi
pasangan dengan laki-laki, dan banyak pasangan memiliki banyak penyeban infertilitasnya.
Faktor wanita terlibat dalam sejkitar 50% pasangan yang ingin hamil, sering
sekali faktor laki-laki juga terlibat disamping faktor wanita yang dicurigai.
Ovulasi
dapat dibuktikan hanya melalui pengamatan langsung pelepasaan oosit dari ovarium.
Secara klinis, kartu temperatur tubuh basal yang bifasik, progesteron midluteal
yang lebih besar dari 12 ng per mililiter, dan endometrium sekrettorik pada
bihiopsi akan mengesankan siklus ovulasi yang normal. Biopsi pada fase luteus
akhir dapat juga mendeteksi disfungsi ovulatorik kualitatif dalam bentuk defek
fase luteus.
Karena
wanita yang biasanya mengalami siklus mingkin kadang-kadang juga mengalami
siklus anovulatorik, semua tes diagnostik yang mengarahkan pada anovulasi harus
diulangi atau harus ditegakan dengan tes lain. Kira-kira 15 % dari semua
pasangan infertil didiagnosa anovulasi. Hipotalamus mungkin memperantarai
terjadinya anovulasi pada anoreksia nervosa, kelelahan fisik yang ekstrim
(misalnya, penari baret, pelari maraton), atau stres. Gangguan pada jalur pada
hipotalamus hipofisis karena tumor atau gangguan pembuluh darah dapat mengacau
pelepasan gonadotropin , hiperprolaktinemia juga mengakibatkan anovulasi
melalui sumbu hipotalamik hipofisis, kelebihan produksi androgen dapat berasal dari
sumber adrenal (tumor atau hiperplasia) atau ovarium (sindroma ovarium polikistik), kadar estrogen
sirkulasi tonik yang tinggi mungkin berkaitan dengan obesitas, tumor pensekresi
estrogen, atau estrogen eksogen. Penyakit seperti diabetes, penyakit dan
sindroma Cushing, penyakit Addison, dan hiper- serta hipotiroidisme dapat
disertai dengan anovulasi. Belakangan ini, banyak terdapat kontroversi yang
berpusat pada wanita yang membentuk folikel tetapi gagal melepaskan sel telur
walaupun terjadi luteinisasi (luteinezed unruptured follicle syndrom[LUF]).
Fase luteal yang tidak adekuat mungkin berhubungan dengan LUF.
Pada 5%
pasangan, saluran genital wanita yang rendah menghalangi konsepsi. Kelainan
perkembangan dapat menghambat konsepsi melalui cara yang jelas seperti pada
septum vagina tranfersal, atau melalui cara yang lebih samar-samar seperti
perubahan anatomik yang berkaitan dengan dietilstilbestrol. Kelainan servik
akibat pembedahan (konisasi, kauterisasi) atau infeksi (Chamyda) menurunkan
penetrasi sperma. Mukus servik mungkin memiliki antibodi yang membatasi
motilitas dan naiknya sperma ke dalam rahim dan tuba.
Histerosalfingografi
(HSG) dapat menghasilkan kecurigaan awal adanya penyakit uterotuba.
perlekatan
(adhesi) intrauterin semakin sering didiagnosis, karena semakin banyaknya
pemakaian histeroskopi diagnostik. Tetapi pengaruh berbagai tingkat dan lokasi
perlekatan intrauterin terhadap infertilitas masih perlu diperjelas.
Histeroskopi atau HSG dapat juga mendeteksi malforasi perkembangan rahim dan
leilomioma submukosa yang menyebabkan distosi rongga rahim. Biopsi endometrium
selain digunakan untuk memeriksa fase luteal, dapat mengarahkan endometritis
kronis yang disebabkan oleh infeksi (misalnya,tuberkulosis).
Kerusakan
mukosa tuba intrinsik dan distorsi tuba eksternal dapat dicurigai melalui HSG
abnormal yang memerlukan ovulasi untuk memastikan dan terapi.
Laparoskopi
mengungkapkan penyakit tuboperitoneal pada 20% wanita dengan HSG normal,
sebaliknya 5% wanita dengan HSG abnormal tidak memiliki penyakit yang dapat
diidentifikasi saat laparoskopi. Beberapa faktor tuboperitoneal terlibat dalam
seperempat pasang infertil. Salfingitis mungkin merupakan faktor yang paling
sering, endosalfingiis tipikal akibat penyakit peradangan pelvis biasanya lebih
mengganggu fungsi tuba dibandingkan aksosalfingitis yang tipikal untuk
salfingitis pascaabortus atau periapendisitis. Endometriosis lebih sering
didiagnosis sekarang karena laparoskopi karena biasanya dimasukan dalam
pemeriksaan pasangan infertil, selain itu karena berbagai bentuk endometriosis
awal dikenali , kadang-kadang dengan bantuan mikroskop cahaya atau elektron,
prevalensi diagnosis ini kemungkinan meningkat.
Setelah
pemeriksaan yang menyeluruh, 10% pasangan tidak mendapat diagnosis tersendiri
mengenai sebab-sebab infertilitasnya. Peninjauan ulang yang lengkap terhadap
pemeriksaan pasangan diperlukan untuk menjamin tidak ada hal yang terlewat,
penggalian riwayat penyakit ualang dapat
menentukan disfungsi seksual, waktu hubungan seksual yang non produktif, atau
pemakaian agen spermisida sebagai pelumas (lubricant). Hasil tes yang ambang
mungkin perlu diulangi. Jika hasil pemeriksaan pasangan memuaskan, periode
pelaksanaan ekspektatif akan menghasilkan kehamilan pada sebagian
pasangan.tekhnik inseminasi buatan dapat dipilih.
B. Faktor Laki-laki
Faktor
laki-laki diduga berperan dalam infertilitas pada sekitar separuh pasangan yang
infertil. Walaupun ahli ginekologi infertilitas harus memiliki pengaturan
tentang diagnosis banding faktor laki-laki, pemeriksaan dan terapi laki-laki
sebaiknya dilakukan dengan berkonsultasi dengan seorang ahli urologi yang
berpengalaman dalam infertilitas laki-laki.
Analisis
semen (SA) termasuk volume semen dan viskositas semen, densitas (kepadatan)
sperma,motilitas dan morfologi sperma, metode yang lenih canggih adalah tes
migrasi, tes penetrasi, dan tes imunologis. Kualitas semen pada seorang
individu adalah bervariasi dari waktu ke waktu dan jarang terdapat
karakteristik absolut yang menghalangi
fertilisasi (misalnya, azzospermia). SA harus diulangi, jelasnya pada saat
titik pengambil keputusan dalam pemeriksaan pasangan laki-laki dan wanita.
Seperti ovulasi yang diperiksa secara berkala pda wanita infertil dengan siklus
yang teratur, demikian pula spermatogenesis harus diikuti pada laki-laki yang
infertil dengan satu SA yang normal.
Sindroma
Klinefelter (47,xxy) adalah
kelainan kromatin seks yang paling sering pada laki-laki infertil, tidak semua
pasien dengan karyotip 47, XXY memiliki temuan sindroma Klinefelter yang
tipikal. Kelainan genetik lain yang berhubungan dengan infertilitas laki-laki
adalah pola XXXY, XXXXY, XXYY, XX/XXY, dan XY/XXY. Translokasi autosomal juga
berhubungan dengan subfertilitas.
Varikole,
walaupun ditemukan pada banyak laki-laki fertil adalah dihubungkan dengan
analisis semen abnormal yang dapat memperbaiki setelah ligasi vena spermatika.
Lebih jarang, spermatozoa tersumbat oleh defek kongenital, seperti tidak adanya
vas deferen parsial atau total, dan epispadia atau hipospadia. Spermatokel yang
disebabkan oleh pembedahan sebelumnya dapat menyebat vas. Ejakulasi retrograd
karena gangguan persarafan ( misalnya, diabetes melitus, trauma medula
spinalis) dapat berhasil diterapi pada banyak laki-laki dengan terapi medis dan
teknik pengumpulan khusus.
Orchitis
dapat disebabkan oleh mumps, tuberkolosis, simfisis, atau pankreatitis.
Epididimitis dapat disebabkan oleh gonorea, Chlamydia
trachomatis atau tuberkulosis. Prostatitis biasanya disebabkan oleh bakteri
dan sulit untuk diterapi. Vesikula seminalis mungkin terinfeksi oleh
Trichomonas Vaginalis atau tuberkulosis. Uretritis biasanya disebabkan oleh
Chlamydia, gonore atar organisme Ureaplasma. Peningkatan temperatur karena
sebab apapun dapat menyebabkan supresi sementara spermatogenesis. Kerusakan
autonium pada testis dapat terjadi, seperti yang ditemukan berhubungan dengan
lepra. Tidak adanya kelainan intraskrotum tidak menyingkirkan adanya infeksi
atau kelainan imunologis. Plasma dan darah seminal dapat mengandung antibodi
yang mengimobilisasi spermatozoa pada laki-laki yang secara anatomik adalah
normal. Penyebab-penyebab lainnya dari laki-laki yang kurang jelas adalah
pemaparan toksik. Beberapa obat , terutama beberapa kelas obat antihipertensif
dan neuroleptik dapat mengganggu fungsi seksual. Toksin lingkungan seperti
logam berat dan zat warna dapat menyebabkan infertilitas. Penyalahgunaan obat,
termasuk etanol, dapat menekan spermatogenesisi. Radiasi dapat menyebabkan
fibrosis testis.
Keadaan
hipogonadotropik pada laki-laki mungkin memiliki etiologi hipofisis, seperti
pada penyakit Cushing, akromegali, tumor atau kegagalan hopofisis, atau
defisiensi gonadotropin terisolasi. Suatu proses pada hipotalamus (misalnya,
tumor, trauma pada tangkai hipotalamus) dapat menyebabkan keadaan hipogonadal
hipogonadotropik. Hipo- atau hipertiroidisme dapat menyebabkan infertilitas
laki-laki yang diperantai oleh hipotalamus-hipofisis. Keadaan hipogonadotropik
adalah karena insufisiensi testis yang sifatnya idiopatik atau sekunder akibat
trauma atau peradangan. Kelainan sintesis atau reseptor androgen mungkin lebih
sering terlibat dikemudian hari.
Diagnosis
histologi tertentu seperti noposspermatogenesis, henti maturasional, dan
sindroma hanya sel sertoli (cell-sertoly-only sindrome) memiliki etiologi yang
tidak diketahui. Riwayat trauma yang cermat (torsi), pembedahan pada lipat
paha, pemaparan dengan toksin, dan infeksi adalah penting pada laki-laki dari
pasangan yang infertil.
2.3. Masalah Ovarium
Deteksi
ovulasi merupakan bagian integral pemeriksaan infertilitas karena kehamilan
tidak mungkin terjadi tanpa ovulasi. Ovulasi yang jarang terjadipun dapat
menyebabkan infertilitas.
Deteksi
tepat ovulasi kini tidak seberapa penting lagi setelah diketahui spermatozoa
dapat hidup dalam lendir servic sampai 8 hari. Deteksi tepat ovulasi baru
diperlukan kalau akan dilakukan inseminasi buatan, menentukan saat senggama
yang jarang dilakukan, atau siklus haidnya sangat panjang. Bagi
pasangan-pasangan infertil yang bersenggama teratur, cukup dianjurkan senggama
2 hari sekali pada minggu dimana ovulasi diharapkan akan terjadi. Dengan
demikian, nasihat senggama yang terlampau ketat tidak diperlukan.
Selain
kehamilan atau ditemukannya ovarium pada pembilasan tuba, pemeriksaan ovulasi
manapun masih dapat mengalami kesalahan. Pengamatan korpus luteum secara
langsung merupakan pemeriksaan yang dapat dipercaya, akan terapi pemeriksaannya
dengan jalan laparoskopi itu tidak mungkin dilakukan secara rutin. Walaupun
demikian, terdapat beberapa cara pemeriksaan dimana seorang klinikus dapat
mendeteksi ovulasi atau mendiagnosis anovulasi dengan ketepatan yang layak.
Siklus
haid yang teratur dan lama haid yang sama biasanya merupakan siklus haid yang
berovulasi. Menurut Ogino,haid berikutnya akan terjadi 14±2 hari setelah
ovulasi. Siklus haid yang tidak teratur, dengan lama haid yang tidak sama,
sangat mungkin disebabkan oleh anovulasi. Amenore hampir selalu disertai
kegagalan ovulasi.
Ovulasi
kadang-kadang ditandai oleh nyeri perut bawah kiri atau kanan, pada kira-kira
pertengahan siklushaid ini dianggap sebagai tanda ovulasi, yang telah
dibuktikan kebenarannya oleh Wharton dan Henriksen dengan jalan laparotomi.
Saat-saat
ovulasikadang-kadang disertaikeputihan, akibat pengeluaran lendir serviks
berlebihan, dan kadang-kadang disertai pula olehperdarahan sedikit. Ketegangan
jiwa, atau nyeri payudara prahaid seringkali terjadi pada siklus haid yang
berovulasi.
A. Perubahan
Lendir Seviks
Ovulasi terjadi bersama dengan memuncaknya
pengaruh estrogen pada pertengahan siklus haid. Sesungguhnya penurunan pengaruh
estrogen setelah memuncak itulah yang dipakai sebagai petunjuk terjadinya
ovulasi. Respon alat-sasaran estrogen, sekurang-kurangnya dalam batas-batas
tertentu, berbanding langsung dengan besar rangsangannya.oleh karena itu,
pemeriksaan lendir serviks dan usap vagina secaraserial dapat menentukan
setelah terjadinya dan saat terjadinya ovulasi, berdasarkan perubahan-perubahan
sebagai berikut:
1.
Bertambah
besarnya pembukaan ostium eksternum serviks
2.
Bertambah
banyaknya jumlah, bertambah panjangnya daya membentang, bertambahh jernihnya
dan bertambah rendahnya viskositas lendir serviks
3.
Bertambah
tingginya daya serbu spermatozoa
4.
Peningkatan
persentase sel-sel kariopiknotik dan eosinofilik pada usap vagina.
B. Suhu Basal Badan
Pengaruh hipertemik progesteron telah sangat
diyakini, akan tetapi berhubungan antara saat peningkatan suhu basal badan
dengan saat ovulasi masih kontroversial. Sering dikatakan ovulasi terjadi pada
saat suhu basal badan terendah. Pada prakteknya, suhu basal badan ituhampir
tidak pernah ditemukan. Greulich et al. Mengemukakan bahwa kenaikan suhu
basal badan mendahului saat ovulasi. Demikian pula menurut Strott et al. Suhu basal badan sangat
dipengaruhi peningkatan progesteron dalam plasma, sehingga setelah permulaan
peningkatan suhu basal badan itu.
Kurva suhu basal badan yang normal tidak sama
sekali menyingkirkan kemungkinan sekresi progesteron yang kurang. Menurut
Strott et al. Pada siklus haid dengan
fase luteal pendek kurva suhu basal badannya tampak normal, walaupun
sesungguhnya progesteron dalam plasmanya kurang. Siklus haid dengan fase
hipertermik seperti itu dengan endometrium yang bersekresi, seringkali
ditentukan pada pengobatan dengan sitrat klomifen, sebagaimana dilaporkan oleh
Van Hall dan Mastboom. Kemungkinan lain, sebagaimana dilaporkan oleh Johanes
& De Moraes-Ruehsen, endometriumnya tidak memperlihatkan pengaruh
progresteron dan pregnandiolnya terus-menerus rendah. Dengan atau tanpa
pengobatan klomifen sekalipun kadang-kadang terdapat folikel yang tidak pecah
(kista lutein), yang mengeluarkan progesteron cukup untuk merangsang pusat suhu, akan tetapi
tidak cukup merangsang endometrium untuk bersekresi. Sebaliknya mungkin tidak
adanya fase hipertermik tidak selalu berarti tidak adanya sekresi progesteron.
Dipertanyakan apakah gelora LH dan ovulasi telah terjadi pada siklus haid
seperti itu.
C. Sitologi
Vagina Hormonal
Sitologi
vagina hormonal menyelidiki sel-sel yang terlepas dari selaput lendir vagina,
sebagai pengaruh hormon –hormon ovarium (estrogen dan progesteron). Pemeriksaan
ini sangat sederhana, mudah, dan tidak menimbulkan nyeri, sehingga dapat
dilakukan secara berkala pada seluruh siklus haid.
Tujuan pemeriksaan sitologi vagina hormonal
ialah:
1.
Memeriksa
pengaruh estrogen dengan mengenal perubahan sitologik yang khas pada fase proliferasi.
2.
Memeriksa
adanya ovulasi dengan mengenal gambaran sitologik pada fase luteal lanjut.
3.
Menentukan
saat ovulasi dengan mengenal gambaran sitologik ovulasi yang khas.
4.
Memeriksa
kelainan fungsi ovarium pada siklus haid yang tidak berovulasi .
Sitologi
vagina hormonal tidak mengenal indikasi kontra. Walaupun dengan demikian,
pengenalan gambara sitologik dapat dipersulit kalau terdapat perdarahan atau
perdagangan traktus genitalis. Melakukan pemeriksaan sitologi vagina sebagai
berikut:
1.
Sebuah
tablet nimorazol dimasukan kedalam vagina 2 hari sebelum setiap kali
pemeriksaan, agar sediaan tidak dikotori sel-sel radang.
2.
Pemeriksaan
direncanakan pada hari ke-8, 12, 18, dan 24 dari siklus haid.
3.
Pasien
dilarang bersenggama, diperiksa dalam , atau membilas kedalam vagina, dalam 24
jam sebelum pemeriksaannya.
4.
Dengan
spekulum vagina yang bersih, fornises lateralis di tampilkan .
5.
Lendir
vagina dari fornises lateralis itu di usap dengan spatel kayu atau plastik yang
bersih, kemudian di oleskan pada sebuah gelas obyek baru.
6.
Difiksasi
dengan alkohol 95%.
7.
Di
warnai dengan pulasan Harris-Shorr.
D. Pemeriksaan
Hormonal
Hasil pemeriksaan hormonal dengan RIA harus
selalu dibandingkan dengan nilai normal masing-masing labolatorium.
Pemeriksaan FSH berturut-turut untuk memeriksa
kenaikan FSH tidak selalu mudah, karena perbedaan kenaikanya tidak sangat
nyata, kecuali pada tengah-tengah siklus haid (walaupun masih kurang nyata
dibandingkan dengan puncak LH). Pada fungsi ovarium yang tidak aktif, nilai FSH
yang rendah sampai normal menunjukan kelainan pada tingkat hipotalamus atau
hipofisis, sedangkan nilai yang tinggi menunjukan kelainan primernya pada
ovarium.
Pemeriksaan LH setiap hari pada wanita yang
berovulasi dan sangat nyata menunjukan puncak LH, yang biasanya dipakai sebagai
patokan saat ovulasi. Akan tetapi karena hipofisis mengeluarkan LH-nya secara
berkala, penentuan saat ovulasi dengan pemeriksaan ini dapat keliru ±1 hari.
Kekeliruan dapar dikurangi dengan melakukan pemeriksaan LH serum atau urin
beberapa kali setiap hari, yang tidak selalu mudah dilakukan. Penentuan saat
ovulasi dengan pemeriksaan LH ini baru dapat diyakinkan kalau pemeriksaan
berikutnya menghasilkan nilai LH yang rendah atau tinggi, interprestasinya sama
dengan untuk FSH.
Pemeriksaan estrogen serum atau urin dapat
memberikan banyak informasi tentang aktivitas ovarium dan penentuan saat
ovulasi. Kalu pemeriksaan ini tidak ditunjukan untuk penentuan saat ovulasi
yang tepat, pemeriksaanya cukup seminggu sekali. Nilai estrogen urin yang tetap
dibawah 10 mikrogram/ 24 jam menunjukan adanya aktivitas folikuler ovarium.
Pemeriksaan perangai sekresi estrogen dan pregnandiol dalam 4 minggu dapat
mempertunjukan adanya siklus anovulasi dengan akskresi estrogen terus-menerus
(20-50 mikrogram/24 jam), atau dengan ekskresi estrogen yang berfluktuasi
(puncak 40-200 mikrogram/24 jam), atau dengan nilai prenandiol rendah ( kurang
dari 1 mikrogram/24 jam).
Pemeriksaan progerteron plasma atau
pregnandiol urin berguna untuk menunjukan adanya ovulasi. Terjadinya ovulasi
akan diikuti oleh peningkatan
progesteron, yang sudah dapat diukur mulai 2 hari sebelum ovulasi, akan
tetapi sangat nyata dalam 3 hari setelah ovulasi. Nilainya 20-40 kali lebih
tinggi dari pada nilai pada fase folikuler. Akan tetapi puncak estrogen dan LH
masih dapat terjadi, sekalipun siklusnya anovulasi. Oleh karena itu,
pemeriksaan estrogen dan LH yang ditunjukan untuk mengetahui telah terjadinya
ovulasi harus disertai pemeriksaan progesteron plasma atau pregnandiol urin
kira-kira seminggu setelah ovulasi diperkirakan terjadi. Progesteron plasma di
atas 10 nanogram/ml atau pregnandiol urin diatas 2 mg/24 jam menunjukan bahwa
ovulasi telah terjadi. Nilai seperti itu dipertahankan kira-kira selama
seminggu.
2.4. Penilaian Fungsi Ovulatorik
Disfungsi
ovulasi berjumlah 10-25 % dari kasus infertilitas wanita. Untungnya sebagian
besar kasus infertilitas anovulatorik dapat berhasil diterapi. Riwayat dan
pemeriksaan fisik adalah alat yang paling penting untuk menilai status ovulasi
seringkali menyatakan adanya penyakit dasar yang serius, penyakit-penyakit
tersebut harus disingkirkan atau diterpi sebelum memusatkan perhatian pada
infertilitas dan induksi ovulasi itu sendiri. Pemeriksaan disesuaikan menurut
riwayat menstruasi dan apakah terdapat hirsutisme, galaktorea, atau tanda-tanda
lain penyakit dasar.
Hirsutisme
biasanya menyatakan hiperandrogenisme. Hirsutisme ringan atau sedang biasanya
berhubungan dengan hiperandrogenisme fungsional yang tersering adalah penyakit
ovarium polikstik atau hiperplasia adrenal anset dewasa. Hirsutisme parah
trauma dengan virilisasi dapat disebabkan oleh tumor ovarium atau adrenal yang
menghasilkan androgen. Kadar testosteron dan dehydroepiandrosterone sulfate
(DHEA-S) adalah sangat menolong dalam membedakan hiperandrogenisme fungsional
dari hiperandrogenisme terkait tumor. Pemeiksaan untuk hirsutisme harus
diselesaikan sebelum memusatkan perhatian pada infertilitas dan status ovulasi.
Galaktorea
seringkali mencerminkan hiperprolaktinemia, yang mungkin disebabkan oleh
berbagai obat serta oleh hipotiroidisme dan adenoma hipofisis.
Hiperprolaktinemia mengganggu fungsi ovulasi dan dapat menyebabkan berbagai
gangguan mulai dari fase luteal yang tidak adekuat, oligoovulasi, sampai
anovulasi lengkap dan amenore. Galaktorea harus doperiksa secara lengkap,
termasuk kadar thyroid stimulating hormone (TSH) dan prolaktin, sebelum
memusatkan perhatian pada infertilitas, terutama karena memulihkan kadar
prolaktin yang normal mungkin juga memulihkan siklus ovulasi yang teratur dan
fertilitas.
Pada
pasien tanpa hirsutisme, galakntorea atau tanda-tanda penyakit dasar serius
lainnya, pemeriksaan status ovulasi diarahkan oleh riwayat menstruasi.
Eumenorea didefinisikan sebagai siklus menstruasi yang teratur tiap 21-36 hari.
Oligomenorea didefinisikan sebagai siklus menstruasi yang lebih jarang, lebih
dari 36 hari, dan amenore adalah tidak adanya menstruasi yang lebih 6 bulan
pada seseorang wanita yang sebelumnya eumenorik.
Eumenorea
yang berarti keteraturan siklus menstruasi, tidak selalu menyatakan terjadinya
ovulasi. Perdarahan anovulatorik dapat terjadi dengan keteraturan yang relatif.
Perdarahan menstruasi yang teratur dalam suatu siklus yang disertai oleh
dismenore, mukorea servikal pertengahan siklus atau mittelschmerz, dan milimina
pra menstruasi hampir selalu berarti ovulatorik. Pola temperatur tubuh basal
(BBT) adalah sangat menolong dalam menegakan ovulasi dan lamanya peningkatan
temperatur fase luteal memberikan petunjuk tantang keadekuatan fase luteal.
Seorang
pasien dengan eumenore dan pola BBT bifasik yang normal mungkin masih memiliki
fase luteal yang tidak adekuat. Membuktikan keadekuatan fase luteal memerlukan
biopsi endometrium pada akhir luteal dengan membuktikan secara histologis
adanya endometrium sekretorik. Penentuan progesteron serum midluteal juga
menolong dalam menilai keadekuatan fase luteal.
Amenorea
seringkali mencerminkan penyakit dasar yang serius, dan diperlukan pemeriksaan
yang lengkap sebelum melanjutkan program induksi ovulasi nonspesifik. Semua
pasien dalam usia reproduksi dengan aminorea harus dianggap hamil sampai
terbukti bukan. Kadar hCG serum yang negatif dapat diandalakan untuk
menyingkirkan kehamilan. Hiperprolaktinemia sering ditemukan pada pasien
amenoreik, walaupun tidak terdapat galaktorea. Jika kadar TSH dan prolaktin
adalah normal, diagnosis terletak pada respon terhadap provokasi progestin dan
pengukuran TSH dan LH.
Oligomenorea
dalam arti terbaik, adalah ovulasi yang jarang dan dalam arti terburuk adalah
anovulasi. Karena keduanya adalah indikasi untuk induksi ovulasi, tidak perlu
membedakan antara perdarahan ovulatorik dan anovulatorik pada pasien infertil
tersebut. Tetapi penting untuk menyingkirkan tiroid dan hiperprolaktinemia,
karena keduanya mudahuntuk ditemukan dan memerlukan terapi spesifik yang
mungkin dapat memperbaiki fungsi ovulasi, yang menyebabkan clomphene atau obat
penginduksi ovulasi dan tidak diperlukan.
Hipogonadisme
hipergonadotropik berarti kegagalan ovarium yang dapat bersifat primer atau
sekunder. Disgenesis gonad bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus
kegagalan gonad primer. Pembedahan atau pemaparan dengan obat antineoplastik
atau radiasi dapat dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur sekunder.
Ooforitis autonium telah disebutkan dalam kasus-kasus lainya, dan banyak kasus
yang tidak memiliki etiologi yang jelas. Induksi ovulasi biasanya tidak
berhasil, tetapi subsitusi hormonal dan pemakaian oosit donor serta fertilisasi
in vitro dapat menawarkan kepada pasien tersebut kemungkinan untuk menjadi
hamil.
Hipoestrogenisme
dengan kadar FSH dan LH yangf rsndah atau normal menegakan diagnosis
hipogonadisme hipogonadotropik. Gangguan hipotalamus dan hipofisis keduanya
bertanggung jawab untuk membentuk amenorea yang sering terjadi ini. Dalam
banyak serial, penurunan berat badab dan anoreksia nervosa adalah penyebab yang
paling sering. Amenorea yang diinduksi oleh aktivitas juga masuk dalam kategori
ini. Tumor sistem saraf pusat mungkin membahayakan hidup, dan pemeriksaan
neurologis serta pemeriksaan pencitraan yang lengkap adalah penting sebelum
memulai induksi ovulasi pada pasien-pasien tersebut. Jika kadar gonadotropin
adalh normal dan perdarahan tidak terjadi setelah provokasi estrogen dan
progestin, gagal organ akhir harus dicurigai, dan ruang endrometrium dipeiksa
dengan histerosalpingografi, biopsi, dan histerokopi.
2.5. Penilaian Ovarium
A.
Eumenorea
Riwayat
dan pemeriksaan fisik adalah alat yang paling penting untuk menilai status
ovulasi. Infertilitas dan disfungsi menstruasi seringkali menyatakan penyakit dasar yang seius.
Penyakit-penyakit tersebut harus disingkirkan, dan hirsutisme serta kalaktorea
kepada infertilitas dan status ovulasi.
Pada
pasien dengan hirsutisme, galaktorea, atau penyakit dasar serius lainnya,
pemeriksaan status ovulasi diarahkan oleh riwayat menstruasi. Eumenorea, yang
didefinisikan sebagai perdarahan menstruasi yang teratur tiap 21-36 hari, bukan
merupakan tanda pasti terjadinya ovulasi, karena perdarahan anovulatorik dapat
terjadi dengan keteraturan relatif. Ovulasi harus ditegakan oleh riwayat
menstruasi, pola temperatur tubuh basal (BTT), dan konsentrasi progesteron
serum jika perlu.
Riwayat
menstruasi yang lengkap adalah sangat penting dalam menentukan status ovulasi.
Tiap fase siklus menstruasi memiliki perbedaan karakteristik jika siklus
ovulasi tersebut dibam\ndingkan dengan siklus anovulasi. Fase menstruasi atau
folikular dini dari siklus ovulatorik biasanya disertai oleh dismenorea dan
gejala yang berhubungan dengan prostaglandin. Dipertengahan siklus pasien yang
berovulasi mungkin mengalami mittelschmerz dan mokorea servik. Terakhir adanya
gejala milimina pramenstruasi yang teratur, seperti nyeri payu dara, kembung
perut, dan perubahan mood adalah bikti yang baik adanya sikluseumenoreik.
Data
historis dari ovulasi harus didukung oleh pencatatan BBT. Pola BBT yang bifasik
mencerminkan ovulasi, dapat ditegakan oleh penilaian fungsi korpus leteum
karena luteinisasi yang monofasik dapat terjadi walaupun progesteron meningkat,
tetapi pengalaman kami menyatakan bahwa isidensi pola BBT monofasik pada wanita
ovulatorik adalah sangat rendah.
Hampir
tidak pernah diperlukan mengukur kadar progesteron semata-mata untuk membedakan
ovulasi dan anovulasi. Informasi ini lebih baik didapatkan dari riwayat
menstruasi dan BBT. Tetapi pada pasien yang tidak dapat bercerita dan tidak
dapat membuat catatan BBT dengan baik, kadar progesteron fase luteal tunggal
3,0 ng atau lebih per mililiter menegakan ovulasi. Kami jarang mengukur kadar
progesteron untuk membedakan ovulasi dari anovulasi, tetapi melakukan tes
tersebut untuk menilai keadekuatan fase luteal.
Pada
pasien eumenoreik, pembuktian ovulasi harus diikuti dengan penilaian
keadekuatan fase luteal, walaupun siklus yang pendek dengan peningkatan BBT
yang kecil bisa menimbulkan kecurigaan akan disfungsi luteal, panjang siklus
yang normal dan peningkatan BBT yang normal tidak adekuat untuk memastikan fase
luteal yang adekuat. Hal tersebut harus dilakukan oleh biopsi endometrium
luteal akhir dan ditentukan umurnya secara histologis. Biopsi endometrium
adalah penting, pengukuran progesteron serum midluteal dapat memberikan data
tambahan.
B.
Fase
Luteal
Siklus
menstruasi yang spontan maupun yang diinduksi mungkin memiliki fase luteal yang
tidak adekuat. Insidensi tersebut bervariasi dalam 3-5% pada siklus spontan
sampai setinggi 30% pada pasien yang mengalami abortus habitualis atau pasien
yang menjalani induksi ovulasi. Sebelum menilai keadekuatan fase luteal,
ovulasi harus ditegakan dari riwayat menstruasi dan pola temperatur tubuh basal
(BBT).
Dengan
sedikit kekecualian, fase luteal harus dinilai oleh biopsi endometrium luteal
akhir pada semua pasien infertil yang berovulasi. Peningkatan BBT yang
dipertahankan selama kurang dari 11 hari atau kadar progesteron serum midluteal
yang kurang dari 12,0 ng per mililiter adalah mengarahkan adanya defek fase
luteal, tetapi ketidakadekuatan fase luteal dapat terjadi walaupun parameter
progesteron dan BBT adalah normal, dan biopsi endometrium luteal akhir dan
pengukuran tanggal histologis adalah penting untuk membedakan siklus dengan
fase luteal yang normal atau yang tidak adekuat. Dilain pihak biopsi
endometrium dapat menyebabkan pasien tidak nyaman, dan biaya biopsi, pemrosesan
histologis, dan interpretasi patologis adalah cukup tinggi kadang-kadang pergeseran
termal dan kadar progesteron adalah sangat abnormal sehingga diagnosis adalah
jelas dan biopsis dapat ditunda sampai terapi telah dimulai.
Biopsis
endometrium luteal akhir adalah pemeriksaan yang definitif tentang keadekuatan
fase luteal. Biopsis harus dilakukan pada akhir siklus, 2-3 hari sebelum onset
menstruasi yang diperkirakan. Biopsi tidak dapat dilakukan pada onset
perdarahan karena endometrium menstruasi menunjukan pola histologi yang berubah
yang menghalangi penentuan yang dapat diandalkan. Blok paraservikal dapat
digunakan tetapi biasanya tidak diperlukan. Setelah menentukan posisi uterus
dengan pemeriksaan bimanual, uterus disonde dan diambil sedikit jaringan
endometrium dari daerah fundus anterollateral dengan menggunakan kuret Novak atau
Randall. Endometriun dari segmen uterus bagian bawah seringkali tidak cukup
untuk diagnosis. Perdarahan biasanya minimal, risiko abortus jika endometrium
dibiopsi pada siklus konsepsi tampaknya tidak lebih tinggi dari resiko pada
siklus hamil yang tidak dibiopsis.
Identifikasi
fase luteal yang tidak adekuat mengharuskan bahwa endometrium lebih dari 2 hari
diluar fase dalam dua siklus menstruasi yang terpisah. Penentuan umur
endometrium dilakukan menurut kriterian Noyes, Hertig, dan Rock. Stadium
maturasi endometrium seperti yang ditentukan oleh pengukuran umur secara
histologis, kemudian dibandingkan dengan hari siklus yang normal, saat spesimen
biopsi diambil. Dengan melakukan konversi, onset menstruasi setelah biopsi
menjadi 28 hari, dan siklus hari biopsi ditentukan dengan menghitung mundur
dari 28 hari. Terapi fase luteal yang tidak adekuat dijelaskan dalam algoritma
tersendiri.
C.
Oligomenorea
Hirsutisme
atau galaktorea mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit yang menyebabkan
gangguan ovulasi dan menstruasi. Penilaian galaktorea dan hirsutisme
dibicarakan dalam algoritma. Berbagai penyakit serius lainnya juga dapat
menyebabkan disfungsi menstruasi dan harus disingkirkan pada awal pemeriksaan
oligomenorea.
Oligomenoria
didefinisikan sebagai siklus menstruasi yang panjang lebih dari 36 hari.
Walaupun dengan pasien tersebut adalah anovulatorik, sebagian besar adalah
pasien yang mengalami ovulasi secara tidak teratur pada keduanya mungkin untuk
menjadi hamil secara statistik adalah lebih rendah dan terapi untuk menginduksi
ovulatorik yang teratur.
Hipotiroidsme
dapat menyebabkan berbagai gangguan fungsi menstruasi, termasuk oligomenorea
dan amenorea. Penting untuk menyingkirkan pada semua wanita oligomenoreik.
Pengukuran TSH dalam serum adalah tes labilatorium yang paling berguan untuk
mendeteksi penyakit intrinsik pada kelenjar tiroid. Nila TSH yang normal
(<7µU per milimiter) menyingkirkan hipotiroidisme primer. Pemberian tiroid
memulihkan menstruasi dan fertilisasi yang normal pada sebagian besar wanita
hipotiroid. Pemberian tiroid tidak memberikan manfaat bagi pasien eutiroid.
Wanita
yang mengalami hiperprolaktinemia seringkali mengalami disfungsi menstruasi,
termasuk oligomenorea. Insidensi hiperprolaktinemia pada wania oligo menoreik
tanpa galaktorea adalah krang dari 10%, tetapi penting untuk mengidentifikasi
pasien-pasien tersebut karena implikaso diagnostik dan terapetik
hiperprolaktinemia. Jika konsentrasi prolaktin serum lkebih besar dari 20 ng
per milimiter, tes harus diulangi. Penilaian hiperprolaktinemia persisten
dijelaskan dalam algoritmalai.
Jika
hiperprolaktinemia, hipotiroidisme, dan penyakit dasar kronis lain telah
disingkirkan, pasien dengan oligomenorea adalah calon untuk uji coba induksi
ovulasi. Clomphene adalah oabat terpilih dalam menterapi pasien-pasien tersebu.
D.
Amenorea
Pemeriksaan
pada maenorea tergantung pada ada atau tidak adanya kelainan penyerta, seperti
galaktorea dan hirsutisme, yang didiskusikan dalam algoritma tersendiri.
Berbagai penyakit kronis dapat juga menyebabkan disfungsi menstruasi dan harus
disingirkan dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik pada awal pemeriksaan
pasien amenorik.
Amenore
dapat didefinisikan sebagai primeratau sekunder. Amenore primer didefinisikan
sebagai kegagalan mendapatkan menstruasi pada usia 16 tahun. tanpa ada
pertumbuhan pubertas dan perkembangan seksual sekunder yang tepat, atau jika
terdapat kelainan penitifik yang jelas seperti stigma Turner atau agenesia
vagina, pemeriksaan harus dimulai lebih awal. Amenorea sekunder didefinisikan sebagai
tidak adanya menstruasi secara teratur atau tidak adanya menstruasi selama
interval yang sama dengan tiga siklus mentruasi sebelumnya pada pasien yang
oligomenoreik.
Kehamilan
adalah penyebab amenorea yang paling sering pada wanita dalam usia reproduktif,
dan konsentrasi bera HCG harus diukur terlebih dahulu untuk mengidentifikasi
pasien amenorea fisiologis tersebut, jika beta HCG adalah negatif, pemeriksaan
harus mencakup pemngukuran kadar TSH dan prolaktin serum dan ter provokasi
progestin.
Walaupun
disfungsi menstruasi sering ditemukan pada wanita hipotiroid, penyakit tiroid
adalah penyebab amenore penyakit tiroid adlah penyebab amenore yang jarang.
Namaun demikian penyakit tiroid harus dipertimbangkan dalam pemeriksaan
amenore. Pemeriksaan terbaik untuk hipotiroidisme primer adalah TSH serum. Jika
kada TSH meningkat (lebih dari 7,0 µU/ml), diindikasikan pemeriksaan tiroid
yang lengkap. Hipertiroidisme juga dapat disertai disfungsi menstruasi dan
harus disingkirkan dengan mengukur kadar tiroksi (T4) serum dan
kapasitas mengikat tiroksin (resin T3 uptake). Kadar triiodotironin
(T3) kadang-kadang meningkat walaupun kadar T4 normal.
Hiperprolaktinemia
ditemukan pada sampai sepertiga wanita amenorik. Tidak adanya galaktorea tidak
meningkirkan hiperprolaktinemia, karena payudara memerlukan estrogen untuk
berespon terhadap prolaktin dan banyak pasien yang mengalami hiperprolaktemia
jelas hipoestrogenik. Malahan galaktorea hanya terjadi pada seoertiga pasien
hiperprolaktinemia. Pemeriksaan dan terapi galaktorea dan hiperprolaktinemia
didiskusikan dengan algorita sendiri.
Tes
proviasi progestin mamberikan informasi yang sangat berguna tentang keadaan
estrogen endogen dan kompetensi saluran keluar uterus. Perdarahan withdrawal
setelah pemberian dosis oral medroxyprogesterone acetate (provera 10 mg/hari
selama 7 hari) atau progesteron dalam minyak injeksi (150 mg IM) menyatakan
suatu saluran keluar yang paten dan endometrium yang responsif terhadap
estrogen. Pasien-pasein tersebut adalah amenorik karena anovulasi dan biasanya
responsif terhadap induksi ovulasi. Tidak terjadinya perdarahan setelah
provokasi progestin menyatakan adanay hipoestrogenisme, kegagalan endometrium,
atau obstruksi saluran keluar.
Pemebrian
estrogen eksogen (premarin, 2,5 mg/hari selama 25 hari) dan progestin (provera
10 mg/hari selama ahri ke-16 sampai 25 hari) membedakan pasien-pasien dengan
gagal organ akhir (misalnya sindroma Asherman) dari pasien-pasien dengan
hipoestrogenisme. Tidak terjadinya perdarahan harus diperiksa lebih
lanjutdengan biopsi endometrium, histerosalpinografi, dan histerokopi.
Terjadinya perdarahan menyatakan hipestrogenisme, baik hipergonadotropi (kegagalan
ovarium) atau hipergonadotropik (hipotalamus-hipofisis). Pengukuran kadar LH
dan TSH membedakan penyebab hipoestrogenisme tersebut. Dalam prakteknya
gonadotropin harus diukur sebelum memberikan estrogen eksogen dengan progestin,
yang separuh menekan sekresi LH-FSH.
1.
Amenorea
Hipogonadotropik
Sebeum
mengukur kadar ginadotropin selama satu pemeriksaan amenore hipogonadotropik.
Beberapa penyebab amenore lainnya harus disingkirkan. Penyebab amenore yang
paling sering pada wanita usia reproduksi adalah kehamilan, pasien dengan
hirsutisme, penyakit tiroid, dan hiperprolaktinemia harus diidentifikasi dan
terapi diberikan dengan semestinya. Ter provoksi progestin harus dilakukan
untuk menyingkirkan anovulasi sederhana. Pasien yang tidak mengalami perdarahan
setelah provokasi progestin adalah hipoestrogenik atau mengalami kegagalan
endometrium atau obstruksi saluran keluar uterus. Yang terakhir diidentifikasi
oleh tidak terjadinya perdarahan setelah provokasi estrogen dan progestin.
Pasien
amenorik yang tidak mengalami perdarahan sebagai respon provkasi progestin
tetepi mengalami perdarahan setelah pemberian estrogen eksogen adalah amenorik
sebagai akibat hipoestrogenisme dan endrometrium yang tidak terstimulasi.
Pengukuran kadar TSH dan LH serum adalah diperlukan untuk membedakan antara
kegagalan gonad dan kegagalan hipotalamus-hipofisis. Untuk alasan praktis kami
mengukur kadar FSH dan LH sebelum memberikan estrogen eksogen dan progestin,
yang mungkin sebagian menekan peningkatan kadar gonadotropin dan mengacaukan
diagnosis kegagalan gonad
Amenore
hipogonadrotopin menyatakan adanya penyakit orgenik atau fungsional pada
hipotalamus-hipofisi. Walapun penyebab tersering dari hipogonadisme
hipogonadotropik adalah stres atau terkait dengan berat badan, lesi organik
pada sistem saraf pusat mungkin berbahaya dan harus disingkirkan. Lesi
hipotalamus dapat menyebabkan amenore dengan mengganggu pengendalian sekresi
gonadotropin atau prolaktin. Lesi hipofisis memiliki efek yang serupa. Lesi
hipotalamus maupun hipofisis dapat diidentifikasi melalui temografi komputer (CT
: computed tomografi) atau pencitraan
resonansi magnetik (MRI : magnetic
resonsnce imaging). Politomografi memberikan hasil positif palsu dan
negatif palsu yang sangat tinggi dan tidak lagi diindikasikan. Hasil CT atau
MRI yang abnormal harus diikuti oleh pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan lapangan pandang, dan tes stimulasi Cortrosyn untuk memriksa
integritas hipofisis-adrenal. Kendatipun amenore tampaknya jelas berhubungan
dengan anoreksia atau penurunan berat badan, disaran kan untu CT atau MRI
karena lesi organik pada sistem saraf pusat dapat juga mempengaruhi nafsu makan
dan status gizi.
Sebagian
besar wanita usia reproduksi hipogonadisme hipogonadotropik menderita amenore
hipotalamik karena stres aktivitas, penurunan berat badan, anoreksia nervosa,
atau gangguan psikogen lain. Etiologi hipogonadisme yang sesunguahnya dalam
sindroma-sindroma tersebut amsih belum jelas, tetapi kemungkinan sebagai akibat
gangguan pada GRH. Menaikan berat badan atau mengehntikan aktivitas yang
terlalu berta biasanya memulihkan fungsi gonad yang normal. Jika
hipogonadotropisme meningkat, induksi ovulalsi dengan human menopausal
gonadotropin (pergonal) adalah diindikasikan.
2.
Amenorea
Hipergonadotopik
Hipogonadotropik,
kehamilan, hirsutisme, penyakit tiroid dan hiperprolaktinemia harus
disingkirkan sebelum pemeriksaan. Tesprovokasi progestin mengidentifikasi paien
dengan estrogen yang baik yang anovulatoik dan yang memungkinkan berespon
terhadap induksi ovulasi.
Hipogonadisme
hipergonadotropik didefinsikan sebagai hipoestrogenisme dan konsentrasi FSH
serum 45 mlU/ml atau lebih. Konsentrasi FSH serum 45 mlU/ml atau lebih
menyatakan kegagalan gonad. Pada pasien dengan kadar FSH yang tinggi
pemeriksaan harus diulangi dua minggu untuk menyingkirkan lonjakan gonadotropin
dipertengahan siklus sebagai etiologinya. Pasien dengan kadar FSH yang berulang
kali 45 mlU/ml atau lebih harus diperiksa secara lengkap untuk menentukan
penyebabanya.
Walaupun
usia rata-rata terjadinya menopause fisiologi adalah 51 tahun, mengilangnya fungsi
gonad pada usia 40 tahun masih dalam rentang onset menopause yang normal.
Selain membuntukan hipergonadotropisme, pemeriksaan yang luas tidak
diindikasikan untuk pasien-pasien tersebut. Penggantian estrogen adalh penting
untuk mencegah osteoporosis, dan adopsi dan bahkan oosit donor dapat dipilih
jika diinginkan fertilitas.
Kegagalan
ovarium prematur didefinisikan hipogonadisme hipergonadotopik yang terjadi
sebelum usia 40 tahun. penyebabnya ada beberapa dan biasanya dapat dibagi
menjadi penyebab dengan dan tanpa kelinan kromosom. Kariotip akan membedakan
antara kedua kelompok penyebab tersebut.
Walaupun
sebaian besar pasien dapat disgenesis gonad dan karyotip abnormal akan tampak
dengan amenore primer dan perkembangan pubertas yang abnormal atau malahan
tidak terjadi, sebagian awalnya akan mengalami siklus menstruasi yang normal
dan kemudian mengalami amenore sekunder, terutama pasien-pasien dengan
disgenensis gonad bentuk mosaik, baik XX/XO atau XX/XY. Kariotip abnormal tanpa
adnya kromosom Y menegakan diagnosis dan mengarahkan terapi penggantian
estrogen. Fungsi terpenting tes kariotipa pada pasien dengankegagalan overium
prematur adalah untuk megidintifikasi pasien-pasien dengan kromosom Y, kaena
pasien-pasien tersebut memeiliki resiko yang lebih penting untuk mengalami
neoplasie gonad, dan gondektomi didindikasikan.
Disgenensis
gonad dapat terjadi pada pasien dengan kariotp 46XX normal, tetepi sebagian
besar pasien normal dan kegagalan ovarium premetur mengalami kegagalan didapat
ketimbang genetik. Iradiasi sinar-x pada gonad, obat sitotoksik, pengangkatan
secara bedah, dan infeksi gonad seperti oofaritis mump adalah penyebab
kegagalan gonad yang diketahui. Kegagalan ovaruim dapat terjadi sebagai
komponen suatu sindrom endokrin autoimun poliglandular, yang terdiri dari gagal
tiroid, paratiroid, dan adrenal autoimun. Walaupun terdapat pengukuran
komersial untuk antibodi antitiroid, pemeriksaan auntuk antibodi antiovarium
dan anti adrenal masih dalam penelitian.
Sebagian
pasien dengan kegagalanoverium prematur dan karyotip normal didiagnosis sebagai
menderita hipogonadisme hipergonadotropoik idiopatik. Sebagian pasien tersebut
mungkin menderita sindrom oosit insensitif, dengan peningkatan kadar
gonadotropin dan hipoestrogenisme, walaupun komponen oosit yang normal, yang
tidak responsif terhadap stimulasi gonadotropin. Diagnosisi memerlukan jaringan
ovarium, yang harus diambil dengan reseksi baji saat laparotomi, karena biopsi
laparotopik mungkin tidak mendapatkan oosit karena sempel jaringan yang kecil.
Kebanyakannya diagnosis hanya merupakan minat akademik dan biopsi ovarium tidak
diindikasikan.
E.
Galaktorea
Galaktore mengharuskan suatu pemeriksaan
terlepas dari suatu menstruasi pasien. Sekresi payudara mungkin mencerminkan
galaktore atau sekresi lain sekret puting payudara, termasuk sekret yang
berasal dari penyakit maligna. Suatu sampel sekresi harus diapuskan pada slide
kaca yang bersih dan diperiksa dibaeah microskopuntuk mencrai adanya
tetes-tetes lemak. Jika terdapat lemak sekresi adalah galaktorea. Sekresi
selain galktorea harus dikirim untuk apusan Papanicalaou untuk mendeteksi
sel-sel atipikal. Galaktorea yang sesuangguhnya dapat disebabkan oleh berbagai
gangguan, termasuk lesi dan infeksi traumatik pada dinding dada (herpes zoster,
fraktur tulang rusuk, jaringan parut dinding dada). Kehamilan sekarang harus
disingkirkan, karena galaktorea pada kehamilan adalah fisiologi. Beberapa macam
obet dapat menyebabkan hiperprolaktinemia dan galaktorea. Yang tersering adalah
obat neurolepetik yang sering digunakan untuk mengobati berbegai gangguan
mental, terutama yang beraksi sebagia antagonos reseptor dopamin atau yang
mengganggu fungsi dopamin melalui mekanisme lain.
Sepertiga wanita amenorea tanpa etiologi
yang jelas mengalami hiperprolaktinemia, dan kira-kira sepertiga pasien dengan
peningkatan kadar prolaktin serum mengalami galaktorea. Bilamana galktore
diidnetifikasi, kadar prolaktin perlu diukur, sebih baik dari sempel puasa
dipagi hari. Jika kadar prolaktin adalh normal, bromocriptine mungkin berguna dalam
menegakan galaktorea. Jika kadar prolaktin lebih besar dari 20 ng/ml, kadar TSH
harus diukur dan pengukuran prolaktin diulang. Jika kadar prolaktin adalah
normal observasi atu terapi dengan agnosis reseptor dopamin dapat dipilih,
karena galaktore dapat terjadi walaupun terdapat normoprolaktinemia.
Karena kira-kira 5% pasien yang
menderita hipotiroidisme primer juga mengalami hiperprolaktinemia, penting ntuk
menyingkirkan penyakit tiroid pada pasien dengan galaktorea. Peningkatan kadar
TSH serum (7 µU/ml atau lebih) adalah indikator yang paling senstif untuk
hipotiroidisme primer. Jika kadar TSH serum lebih dari 7 µU/ml, tes harus
diulang, dan jika kadarnya masih tinggi pemeriksaan tiroid yang lengkap harus
dilakukan. Dengan penggantian tiroid, kadar TSH dan prolaktin harus kembali
normal.
Sepertiga pasien dengan amenorea
sekunder memeiliki tanda-tanda adanya
adenoma hipofisis, jika galaktorea juga terdapat, insidensinya meningkat sampai
50%. Adenoma hipofisis harus dicurigai pada setiap pasien yang mengalami
hiperprlaktinemia, bahkan pada pasien yang mengalami peningkatan prolaktin yang
relatif kecil, karena suatu mikroadenoma telah dilaporkan pada seorang pasien
dengan kadar prolaktin hanya 23 ng/ml. Lesi-lesi supraseral seperti
kraniofaringioma seringkali hanya menyebabkan hiperprolaktinemia yang marginal.
Diagnosis definitif lesi hipofisis atau supraseral tergantung pada pemeriksaan CT. Deteksi
makroadenoma (lebih dari 10,0 mm) atau lesi supraseral dengan CT scan atu MRI
memerlukan konsultasi neurologis formal, pemeriksaan lapangan pandang, dan ACTH
untuk meyingkirkan insufisiensi hipofisis-adrenal. Walaupun makroadenoma
memerlukan penatalaksanaan bedah saraf, terapi awal untuk makroadenoma dan
mikroadenoma adalah bromocriptine. Regresi tumor lebih dianjurkan beberapa kali
dengan bromocriptine. Supresi yang lebih lama mungkin diperlukan untuk mencegan
pertumbuhan tumor dan kembalinya hiperprolaktinemia, galaktorea, dan disfungsi
ovulasi.
F.
Hirsutisma
Hirsutisme ditandai oleh adnya rambut
kasar yang berpigmen pada wajah, dada, punggung baian atas, atau abdomen.
Hirsutisme adalah tanda dari hiperandrogenisme, dan derajat hirsutisme
berhubungan secara kasar konsentasi androgen bebas. Virillisasi merupakan
bentuk hiperandrogenisasi yang paling parah yang ditandai oleh lebotakan
remporer, merendahnya suara, bertambahnya otot-otot dan habitus tubuh
laki-lakiklitromegali dan hirsutisme. Hirsutisme dapat terjadi pada wanita
dengan eumenorea, oligomenorea, atau amenore dan harus diselidiki secara
lengkap terlepas dari status menstruasinya.
Penyebab hirsutisme dan
hiperandrogenisme antara lain tumor ovarium atau adrenal yang menghasilkan
androgen, hiperplasia adrenal karena defisiensi enzim adrenal hipersekresi
hormon ACTH pimer, obat eksogen, dan penyakit ovarium polikistik. Alasan utama
untuk memeriksa hirsutisme adalah untuk membedakan gangguan fungsional, yang
dapat diterapi secara medis, dari tumor-tumor penghasil androgen, yang
memerlukan intervensi bedah. Pemeriksaan dipusatkan pada pengukuran konsentrasi
testoteron serum dan dehydroepiandrosteron (DHEA-S). Testosteron sama-sama
dihasilka oleh ovarium dan sekresi adrenal, DHEA-S dihasilkan hampir seluruhnya
oleh adrenal.
Kadar DHEA-S yang tinggi dapat
disebabkan oleh tumor adrenal dan hiperplasia adrenal. Kedua kondisi tersebut
dibedakan oelh tes supresi dexametasone (DEX)
Dengan sedikit kekecualian, tumor
penghasil androgen adalah disertai kadar testoteron 200 ng/desiliter atau lebih
atau kadar DHEA-S 700 µg/desiliter atau lebih. Jika kadar-kadar tersebut lebih
rendah, tumor kecil kemungkinannya terdapat, terutama jika hirsutisme telah
berlangsung lama dan tidak berkembang dengan cepat. Gangguan adrenal dan
ovarium fungsional, terutama penyait ovarium polikistik, menyebabkan sebagian
besar kasus hirsutisme.
Jika dosis tinggi kadar dexamethasone
gagal menekan DHEA-S, CT scan kelenjar adrenal diiindikasikan. Adanya suatu
masa adrenal mengharuskan eksplorasi bedah. Jika temuan CT adalah normal,
katetrisasi vena adrenal retrogad bilateral harus dilakukan untuk mengambil
sepel androgen adrenal. Venografi adrenal mungkin juga berguna dalam menemukan
suatu tumor.
Jika kadar testotron saja yang
meningkat, sumberadrenal dan ovarium harus dipertimbangkan. Suatu tumor ovarium
dapat terdeteksi dari pemeriksaan pelvis atau USG, dan diperlukan eksplorasi
bedah. Tetepi, tidakadanya pembesaran dari pemeriksaan pelvis atau USG tidak
menyingkirkan tumor ovarium penghasil androgen yang mungkin berukuran sangat
kecil dan adrenal serta ovarium harus diperiksa lebih lanjut. Jika CT juga
gagal menemukan suatu lesi adrenal, kateterisasi vena retrogad pada vena
ovarium dan adrenal harus dipertimbangkan. Metode ini sulit secara teknis dan
tidak tanpa resiko dan harus dilakukan hanya di RS dengan personal yang
berpengalaman dalam pemesangan kateter.
Untungnya tumor penghasil andnrogen
adalah jarang, dan sebagian besar kasusu hirsutisme adalah hiperandrogenisme
fungsional, yang dapat diterapi dengan berbagai cara. Terapi kontrasepsi oral
diidnikasikan pada penderita hirsutisme yang menginginkan kontrasepsi dan tidak
memiliki kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral. Dexamethason 0,5 mg
setiap malam, adalh efektif dalam menekan hiperfungsi adrenal. Spironolactone
dapat digunakan untuk mengobati pasien hirsutisme yang gemuk yang hipertensif
dimana terapi kontrasepsi oral oleh DEX dikontraindikasikan. Clomiphene
digunakan jika diinginkan fertilitas. Tidak ada terapi-terapi tersebut yang
dapat menyababkan regresi hirsutisme yang telah ada, elektrolisis adalah tera[i
kosmetik yang paling efektif dan harus dipertimbangkan sebagai pelengkap
supresi androgen.
2.6. Induksi Ovulasi
Pemeilihan
pasien adlah determinan yang paling penting untuk keberhasilan induksi ovulasi.
Clomiphene sitrate adalah telah disebut sebagai “salahsatu obat yang paling
sering disalahgunakan dalam ginekologi”. Clomiphene tidak diindikasikan pada
pasien yang telah mengalami ovulasi secara teratur, keculai untuk menterapi
defek fase luteal. Pada pasien-pasien yang tidak membutuhkan clomiphene, obat
ini sesungguhnya dapat menciptakan masalah yang tidak ada sebelumnya,
menginduksi defek fase luteal ayau menurunkan kualitas dan kuantitas mukus
serviks melalui aksinya sebagai suatu antiestrogen. Kegagalan ovarium adalah
suatu kontraindikasi untuk pemakaian clomiphene. Pasien-pasien dengan
hiperprolaktinemia harus mendapatkan terapi spesifik dengan bromocriptine.
Analisis semen harus dilakukan untuk menyingkirkan azoospermia dan untuk
mengiddentifikasi laki-laki subfertil yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Terapi dengan clomiphene sitrate
(clomid, sherpene) biasanya dimulai dengan dosis 50 mg/hari pada hari ke-5
sampai 9 atau hari ke-3 sampai 7. Kartu temperatur tubuh basal (BBT) adalah
sangat berguna dalam mengikuti respon pasien. Jika sikluk ovulatorik telah
ditegakan sebagimana yang ditegakan sebagaimana yang dinyatakan oleh pola
menstruasi dan BBT, keadekuatan fase luteal harus dibutikan oleh luteal
akhir.fase luteal yang abnormal memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Tes
pascasenggama harus dilakukan untuk membuktikan mucus serviks pertengahan
siklus dan interaksi sperma – mukus yang normal, terutama meningat efek
antiestrogenik dari comiphene. Pasien yang tidak berhasil hamil setelah siklus
ovulatorik clomiphene dengan hasil tes pascasenggama yang normal dan fase luteal
yang normal memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Walaupun sebagian besar pasien berespon
terhadap comiphene pada dosis 100 mg atau kurang per hari selama 5 hari,
sebagian besar pasien memerlukan dosis yang lebih tinggi atau regimen yang
lebih lama. Demikian juga sebgian pasien tidak berespon terhadap comiphene dan
10.000 IU HCG yang diberikan secra IM pada hari ke-15. Kegagalan comiphene
didefinisikan sebagai anovulasi walupun diberikan 250 mg Cloamid setiap hari
selama 5-8 hari dikombinasikan dengan pemberian HCG pada pertengahan siklus.
Pasien-pasien tersebut adalah calon untuk terapi dengan human menopausal
gonadotropin (HMG, pergonal).
Dibandingkan dengan clomid, pergonal
adalah mahal sulit untuk diberikan dan dipantau dan disertai peningkatan resiko
kehamilan ganda dan hiperstimulasi ovarium. Dengan demikian obat ini tidak
bileh digunakan pada pasien dengan penyakit tuba yang bermakna.
Histerosalfinografi (HSG) harus dilakukan sebelum mempertimbangakan uji coba
HMG. Pasien dengan rahim dan patensi tuba yang normal adalah calon untuk uji
coba dengan pergonal. Pasien-pasien dengan temuan HSG yang abnormal dan
pasien-pasien yang tidak menjadi hamil setelah 3-6 siklus ovulatorik pergonal
harus menjalani laparoskopi sebelum memuali atau melanjutkan terapi Hmg.
Kegagalan mengalami ovulasi dengan
clomiphene saja adalah suatu indikasi untuk kombinasi komiphene dan HMg-HCG,
atau Hmg-HCG saja. Pamakaian comiphene bersama HMG dapat meningkatkan
responsivitas ovulatorik dan menurunkan kebutuhan HMG total. Jika ovulasi telah
terjadi fase luteal dan hasil tes pascasenggama harus diperiksa, seperti
ovulasi yang diinduksi oleh comiphene. Kegagalan ovulasi dengan comiphene dan
pergonal memerlukan pemeriksaan ulang untuk hiperprolaktinemia atau gagal organ
dini. Responder buruk yang memiliki kadar prolaktin dan gonadotropin serum yang
normal adalah calon untuk uji coba induksi ovulasi dengan GRH dengan pemerian
interval pulsatil atau SC.
A. Clomiphene Citrate
Antara 10-25% kasus infertilitas adalah
disebabkan oleh kegagalan ovulatorik. Regimen induksi ovulasi yang
diindividualisasikan dengan comiphene sitrate menghasilkan pada 80%
pasien-pasien tersebut. Insiden konsepsi sebesar 40-50% biasanya dilaporkan,
tetepi insiden sebanyak 85% dapat tercapai dengan wanita tertentu dengan infertiltas
anovulatorik yang murni. Kunci keberhasilan adalah pemilihan pasien. Clomiphene
tidak diindikasikan pada pasien yang telah mengalami ovulasi yang teratur,
kecuali untuk mengobati faseluteal yang tidak adekuat. Pasien dengan kegagalan
ovarium atau hipotalamus-hipofisis tampaknya tidak berespon terhadap
clomiphene. Anovulasi hiperprolaktinemik harus diterapi secara spesifik dengan
bromocriptine. Pemeriksaan kedua pasangan harus dilakukan secara bersamaan, dan
faktor laki-laki harus disingkirkan sebelum melakukan uji coba induksi ovulasi
dengan clompihene.
Terapi dengan clomiphene citrate
(Clomid, Serophene) biasanya dimulai dengan dosis 50 mg setiap hari selama 5
hari. Regiman hari 5-9 dan hari 3-7 sama-sama telah berhasil. Jika ovulasi
telah terjadi, seperti yang telah ditentukan dari pola temperatur tubuh basal
dan menstruasi, keadekuatan fase luteal harus dibuktikan.
Dalam siklus yang diinduksi oleh
clomiphene, ovulasi biasanya terjadi 10-15 hari setelah awal pemberian
clomiphene. Tes pascasenggama harus dilakukan selama periode tersebut untuk
membuktikan mucus serviksal pertengahan siklus yang normal dan interaksi
sperma-mucus yang normal. Pada pasien yang sebelumnya anovulatorik, induksio
ovulasi adalah suatu persyaratan untuk melakukan PCT. Pada wanita yang
mengalami oligoovulasi atau wanita yang mendpatkan clomiphene atau terapi fase
luteal yang tidak adekuat, PCT mungkin telah dilakukan. Namun demikain PCT
hahrus diulangi selama suatu siklus clomiphene dapat mengganggu kualitas mucus
serviks. Jika baik PCT maupun fase
luteal adalah normal dalam fase ovulatorik yang diinduksi oleh clomiphene, uji
coba comiphene, uji coba induksi ovulasi harus dilanjutkan selama sekurangnya 6
siklus. Pada pasien-pasien yang belum berhasil menjadi hamil, faktor-faktor
lain harus diperiksa lebih lanjut sebelum melanjutkan clomiphene.
Kegagalan bberovulasi setelah terapi
dengan 50 mg clomiphene selama 5 hari adalah suatu indikasi untuk meningkatkan
dosis menjadi 100 mg/hari. Sebagian pasien mengalami ovulasi sebagai respon
terhadap dosis 50 atau 100 mg/hari, dan 80% konsepsi terjadi dalam 3 siklus
ovulatorik pertama. Keberhasilan ditingkatkan dengan mengindividualisasikan regimen clomiphene,
meningkatkan dosis secara bertahap hingga setinggi 200-250 mg/hari selama 5-8
hari. Dengan regimen ini sepertiga pasien akan hamil dengan terapi clomiphene
pada dosis diatas 100 mg, dan separuh dari mereka memerlukan lebih dari 150
mg/hari.
Pasien-pasien yang tidak berovulasi
setelah clomiphene 150 mg/hari selama 5 hari mungkin mengalami ovulasi dengan
penambahan 10.000 IU HCG antara hari ke-13 dan 15 jika clomiphene yang telah
diberikan pada hari ke 3-7, atau diantara 15 dan 17 jika digunakan regimen
clomiphene pada hari 5-9. Waktu untuk memberikan terapi HCG dapat dilakukan secara
empirik atau dapat didasarkan pada skor serviks atau ukuran folikel, seperti
pada fertilisasi in vitro. 5-10% pasien gagal berovulasi walupun dosis
clomiphenen mencapai 250 mg/hari selama 5 hari dan dengan penambahan HCG 10.000
IU. Pada wanita-wanita tersebut regimen clomiphene yang terpanjang, yang
terdiri dari 250 mg selama 8 hari, diikuti oleh 10.000 IU HCG telah berhasil
dan harus dipertimbangkan sebelum memulai uji coba dengan HMG.
Kadar DHEA-S seringkali meningkat pada
wanita infertil dengan disfungsi ovulatorik, dan peningkatan kadar DHEA-S dapat
mengganggu respon terhadap clomiphene. Kombinasi DEX 0,5 mg setiap malam dan
clomiphene telah berhasil pada pasien dengan peningkatan kadaR DHEA-S yang
gagal berespon terhadap clomiphenene saja. Malahan pada wanita dengan kadar
DHEA-S sebesar 20 µg perdesiliter atau lebih, salah satu uji coba acak
membuktikan insidensi ovullasi dan kehamilan yang lebih tinggi secara bermakna
pada pasien-pasien yang awalnya diterapi dengan clomiphene dan DEX dibandingkan
pasien dengan clomiphene saja.
B.
Human
Menopausal Gonadrotopin
Human
menopausal gonadotropin (hMG),adalah diiindikasikan untuk terapi anovulatoir
atau ketidak adekuatanjika metoda lain yang lebih sederhana telah gagal, dan
untuk hiperstimulasi terkendali untuk fertilisasi invitro dan transfer embrio.
Karena terapi pergonal adalah rumit dan mahal, penyebab infertilitas lain harus
disingkirkan sebelum pemakaiannya. Pasien dengan kegagalan ovarium tidak
berespon terhadap pergonal, dan pasien tersebut harus diitentifikasidari
pengukuran gonadotropin serum dan dikelurakan dari terapi hMG.
Hiperprolaktinemia harus juga diidentifikasi; bromocriptine diindikasikan untuk
anovulasi hiperprolaktinemik.
Biasasnya
hMg dimulai dengan dosis 2 ampul per hari, dimulai pada hari ke tiga siklus.
Pasangan diajarkan tentang pemakaian dan pemberian hMG intramuscular selama
“kelas pergonal” yang dilakukan setiap minggu. Dosis pertama hMg diberikan pada
malam hari ke-3 siklus dilanjutkan tiap malam mulai hari ke-3 sampai 7( 5
dosis). Pada pagi hari ke-8 samapl darah diaambiluntuk mengukur esrtadiol E2
cepat. Hasilnya diperoleh pada jam 4 sore. Dosis hMG pada hari ke-8 ditentukan
oleh hasil E2 pagi.
Jika
kadar E2 serum pagi hari ke-8 adalah kurang dari 100pgper
milliliter, yang menyatakan tidak adanya respon terhadap hMG, dosis
ditingkatkan sampai 3 ampul perhari dan kadar E2 serum diukur kembali pada waktu 48 jam. Jika
masih tidak ada respon, dosis hMG ditingkatlkan lagi menjadi 4 ampul perhari,
dan sekali lagi menjadi 5 ampul perhari jika kadar E2 masih rendah.
Jika kadar E2 gagal meningkat
walaupun telah diberiakn 5 ampul perhari selam 48 jam, siklus dihentikan.
Setelah siklus dihentikan , dibatalkan, siklus hMG selanjutnya harus dimulai
dengan dengan dosis 4-5 ampul per hari
pada hari ke-3 sampai hari ke-7 setelah menstruasi yang diinduksi
Jika
konsentrasi E2 hari ke-8
melebihi 100 pg per milliliter( menyatakan respon terhadap hMG), dosis
dipertahankan tetap dan kadar E2 serum pagi dipantau tiap 24-48 jam, tergantung
pada kadar E2 . kadar dibawah 300 pg per milliliter, ditunggu 48 jam
sebelum pengukuran E2 selanjutnya, tetapi antara 300-800 pg per
milliliter, kemudian lakukan pemantauan pada E2 setiap hari.
Jika
konsentrasi E2 lebih besar
daripada 800 pg per milliliter, lakukan USG ovarium untuk menilai jumlah
folikel praovulatorik, yaitu folikel dengan diameter lebih dari atau samadengan
15mm. tujuan kami adalah untuk menurunkan resiko kehamilan ganda, dan telah dianjurkan untuk menunda pemberian
hMG jika terdapat 4 atau lebih folikel yang besar dan kadar E2 adalah kurang dari 1.500 pg per milliliter,
kami melanjutkan hMG dan mengulangi USG serta pengukuran E2 dalam 24
jam kemudian. Jika terdapat 4 atau lebih folikel matur, keputusan untuk
memberikan hCG sekali lagi tergantung kadar E2.
Resiko
hiperstimulasi meningkat bersamaan dengan peningkatan kadar E2 praovulatorik, walaupun hiperstimulasi tidak
terjadi jika hCG ditunda. Hcg tidak diberikan jika kadar E2 melebihi
2000 pg per milliliter atau ika kadarnya antara 1500-2000 pg per
milliliter dan ditemukan peningkatan yang tajam (lebih dari 50% lebih tinggi
dibandingkan kadar pada hari sebelumnya).
Karena
ovulasi biasanya terjadi 36 jam setelah pemberian hCG, pasangan harus
diinstrusikan melakukan hubungan dalam 24-48 jam setelah pemberian hCG.
C.
Gonadotropin
Releasing Hormone
Kegagalan berovulasi sebagai respon
terhadap clomiphene, hMG, hCG, adalah suatu indikasi uji coba dengan GnRH.
Pasien anovulatorik dengan hipogonadisme hipogonadotropik dari penyebab
hipotalamus biasanya berespon terhadap GnRH dan analog-analognya jika kerja
hipofisis secara fungsional adalh intk, GnRH menginduksi pelepasan endogen LH
dan FSH. Kedua gonadotropin tersebut menstimulasi pertumbuhan perkembangan
folikuler dan pada akhirnya ovulasi. Maturasi folikel yang multiple telah
dicapai dengan GnRH pada wanita dengan siklus normal, yang menyebabkan metode
stimulasi ovarium ini kemungkinan berguna untuk pasien pasien-pasien yang memerlukan
vertilisasi in vitro. Efektifitas dan keamanan GnRH telah dibuktikan dalam
beberapa penelitian.
GnRH
diberikan secara subkutan melalui pompa infus yng diprogram untuk melepaskan
bolos 20-40 mikrogram hormon dengan interval 120 menit. Terapi dimulai pada
hari ke-3 siklus spontan atau siklus diinduksi. Respon ovarium terhadap GnRH
dipantau oleh pengukuran kadar estradiol serum setiap hari dan pemeriksaan USG
ovarium untuk mengikuti perkembangan folikel. Pemantauan dimulai pada hari
ke-8.
Pemantauan
induksi ovulasi dengan GnRH pada dasarnya sama seperti hMG. Kadar estradiol
serum diharapkan meningkat secara progesif menjadi 500 pg per mililiter atau
lebih pada saat folikel tumbuh. USG harus menemukan perkembangan folikel yang
progresif, dan folikel yang dominan harus mencapai diameter 15mm atau lebih,
pada saat mana diberikan 10.000 IU hCG. Jika respon yang memuaskan tidak
terjadi dalam 30 hari, maka siklus dihentikan.
D.
Bromocriptine
Hiperprolaktinemia menyebabkan harus
dicari secara menyeluruh senelum memulai terapi. Berbaagai obat, terutama obat
psikotropik dan anti hipertensif, meningkatkan kadar prolaktin dengan
mengganggu fungsi dopamin. Hiperprolaktinemia terjadi pada 5 % wanita yang
menderita hipertiroidisme primer. Kehmanilan dan lesi pada payudara dan dinding
dada harus disingkirkan. Sebanyak 90 % wanita dengan hiperprolaktinemia
persisten yang tidak disebabkan oleh obat tiroid atau penyakit lain, atau
kehamilan memiliki tanfda-tanda radiografik yaitu adanya mikroadenoma
hipofisis, yang harus diperiksa secara lengkap sebelum memulai terapi.
Bromocriptine
mesylate (Periodel) adalah suatu agonis reseptor dopamin. Karena dopamin
mengambat sekresi prolaktin, bromocriptine menjadi obat terpilih untuk
mengobati hiperprolaktinemia, termasuk yang disebabkan oleh adenoma pensekresi
prolaktin dari kelenjar hipofisis anterior. Dosis lazim bromocriptine adalah
2,5 mg dua kali sehari, tetapi toleransi terhadap obat harus diuji dengan memulai
terapi dengan dosis setengah tablet( 1,25 mg) dua kali sehari selama seminggu
pertama untuk mengurangi efek samping mual dan sinkop yang tidak mengeenakkan.
Kadang-kadang efek samping sangat parah sehingga bromocriptine tidak dapat
dilanjutkan. Biasanya efek samping adalah ringan dan dosis dapat ditingkatkan
secara bertahap untuk mencapai normoprolaktinemia.
Pengukuran
prolaktin serum harus diulangi kira-kira 4 minggu setelah memulai
bromocriptine. Jika konsentrasi prolaktin tetap tinggi, dosis bromocriptine
harus ditingkatkan 2.5 mg sampai mencapai kadar prolaktin yang normal. Jika
kadar prolaktin adalah normal, dosis tersebut dilanjutkan dan pasien
diintruksikan untuk menggunakan metode kontrasepsi barier sampai fungsi
menstruasi kembali. Setelah kembalinya menstruasi, temperatur tubuh basal harus
dicatat. Jika anovulasi terus terjadi walaupun kadar prolaktin telah kembali
normal, clomiphene dapat ditambahkan untuk menginduksi siklus ovulatorik. Jika
ovulasi telah tercapai, apakah dengan bromocriptine saja atau dengan
bromocriptine-clomiphene, keadekuatan fase luteal harus dinilai seperti yang
dijelaskan dalam alogaritma lain. Jika konsepsi terjadi, bromocriptine harus
dihentikan.
2.7. Fase Luteal yang Tidak Adekuat
Suatu
fase luteal yang tidak adekuat terjadi pada sampai 3 sampai 5 persen wanita
infertile dan pada 35 persen pasien yang abortus trimester pertama yang
rekuren. Identifuikasi fase luteal yang tidak adekuat mengharuskan bahwa
perkembangan histologis, ditunjukan oleh biopsy endometrium luteal akhir, lebih
dari 2 hari diluar fase pada 2 siklus yang berlainan. Hiperprolaktinemia dan
hipotiroidisme dapat menyebabkan ketidakadekuatan fase luteal dan harus
disingkirkan sebelum terapi lebih lanjut. Fase luteal yang tidak adekuat yang
disertai dengan hiper prolaktinemia harus diterapi dengan bromocriptine dan
biopsy endometrium diulangi setelah kadar prolaktin telah kembali menjadi
normal.
Fungsi korpus luteum kemungkinan
mencerminkan kualitas folikel yang mendahuluinya. Pertumbuhan folikel pada gilirannya
tergantung pada stimulasi FSH. Siklus dengan fungsi luteal yang tidak ade kuat
adalah disertai dengan kadar FSH fase folikuler dini yang lebih rendah serta
bermakna dibandingkan dengan fungsi luteal yang normal. Clomiphene dcitrat
merangsang sekresi gonadotropin dan folikulogenesis dan dengan demikian menjadi
terapi pilihan pertama yang logis.
Konsentrasi progesterone midluteal
pada siklus ovulasi yang normal adalah ng per milliliter atau lebih. Pemantauan
siklus clomiphene dengan pengukuran temperature tubuh basal dan tidak
mengulangi biopsy endometrium sampai respon terhadap clomiphene tampak adekuat
menurut criteria temperature tubuh basal dan progesterone. Jika telah ditemukan
respon yang tidak adekuat, kedekuatan fase luteal setelah terapi harus
dibuktikan oleh biopsy endomerium luteal akhir ulang. Jika biopsy endometrium
adalah normal, terapi dilanjutkan selama 6 siklus. Jika kehamilan masih tidak
terjadi walaupun fase luteal adekuat, faktor fertilitas lain harus diperiksa
kembali.
Jika temuan biopsy endometrium tetap
abnormal, atau kadar temuan progesterone midluteal tetap dibawah 12 ng per milliliter walaupun
diberikan clomiphene, maka tambahkan progesterone eksogen dalam bentuk
supositoria vagina 25 mg. dua sampai tiga kali perhari, dimulai pada hari kedua
peningkatan temperature tubuh basal, dilanjutkan sampai menstruasi. Alternatif
lain adalah menggunakan progesterone
vaginal saja, tanpa clomiphene. Sekali lagi penting untuk menilai keadekuatan
tetrapi dengan biopsy endometrium luteal akhir ulang. Terapi dilanjutkan jika
ditemukan endomertrium sekretorik akhir yang sesuai dengan fase normal.
Jika keduanya tidak berhasil dalam
memulihkan ketidakadekuatan fase luteal, uji coba (hMG-hCG) dilakukan. Tetapi
respon ovulatorikterhadap hMG tidak menjamin fungsi luteal yang normal dan
kedekuatan fase luteal harus diuji kembali dengan biopsy endometrium. Malahan
kadar E2 yang tinggi ditemukan pada pemberian hMG, walaupun
mencerminkan folikulogenesis yang adekuat, mungin sebenarnya bersipat
luteolitik, dan hal tersebut telah menyatakan bahwa kombinasi terapi
clomiphene-hMG-hCG mungkin lebih efektif, efek antiestrogenik dari clomiphene
menghilangkan efek hiperestrogenisme pada korpus luteum.
Keberhasilan terapi tersebut adalah
bervariasi menurut criteria pemilihan
pasien. Insidensi kehamilan sebesar 85% telah dilaporkan pada pasangan dengan
ketidak adekuatan fase luteal murni yang mematuhi terapi yang dijelaskan.
2.8. Sindrom Hiperstimulasi
Sindroma
hiper stimulasi ovarium adalah penyulit dari terapi induksi ovulasi yang dapat
berbahaya. Diagnosis dibuat dan keparahan sindroma ditentukan dari gabungan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, USG dan pemeriksaan laboratorium. Sindroma
ini jarang terjadi kecuali diberikan hCG untuk memicu ovulasi. Sebagian kasus
terjadi pada kadar estradiol serum pra-hCG lebih besar dari 2.000 pg
permililiter, tatapi kadar estrogen yang lebih rendah tidak meniadakan
timbulnya sindroma ini. Gejala um umnya terjadi 3 sampai 10 hari setelah
pemberian hCG. Nyeri abdomen, distensi, dan mual selalu ditemukan pada semua
kasus, kecuali kasus yang paling ringan.
Hiperstimulasi ovarium
diklasifikasikan sebahgai ringan, sedang, atau parah berdasarkan ukuran
ovarium, yang ditentukan dari pemeriksaan pelvis dan USG. Tetapi,
penatalaksanaan pasien didasarkan pada derajat pembesaran ovarium dan ada atau
tidakadanya masalah penyerta, seperti, asites, efusi pleura, hipotensi
postural, muntah, sesak nafas, hemokonsentrasi, hiperkalemia, dan fungsi ginjal
yang abnormal. Keputusan yang sulit adalah apakah harus merawat pasien yang
menderita sindroma hiperstimulasi di rumah sakit. Walaupun sebagian pasien
dengan hiperstimulasi ringan dapat ditangani di rumah, semua pasien dengan
ovarium yang lebih besar dari 12 cm harus dirawat dirumah sakit. Pasien-pasien
yang mengalami hiperstimulasi sedang juga mungkin memerlukan perawatan di rumah
sakit jika terdapat gangguan-gangguan penyerta.
Hiperstimulasi ringan didefinisikan
sebagai pembesaran ovarium kurang dari 7 cm. tanpa adanya asites, gejala
paru-paru atau gastrointestinal, atau gangguan lain pasien tersebut adalah
calon penatalaksanaan rawat jalan. Hiperstimulasi sedang, dengan pembesaran
ovarium 7 sampai 12cm, seringkali disertai dengan gangguan lain yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, tanpa adanya asites,efusi pleura, hipovolemia,
muntah, sesak nafas, hemokonsentrasi,, atau gangguan elektrolit atau gangguan
ginjal, pasien-pasien tersebut juga dapat ditangani dirumah secara hati-hati.
Pasien dengan hiperstimulasi parah biasanya memiliki masalah penyerta serta
serta pembesaran ovarium yang nyata, dan semua wanita tersebut, tanpa memandang
gejalanya, harus dirawat dirumah sakit.
Terapi
Sindrom Hiperstimulasi
Keputusan
pertama yang harus dibuat dalam penatalaksanaan hiperstimulasi ovarium adalah
apakah diperlukan perawatan dirumah sakit. Semua pasien dengan hiperstimulasi
parah harus dirawat dirumah sakit tanpa memandang ada tidaknya penyertayang
lain. Sebagian besar pasien dengan hiperstimulasi ringan dan dengan pasien
hiperstimulasi sedang dapat ditangani di rumah. Tetapi pada kedua kelompok
tersebut timbulnya masalah penyerta memerlukan perawatan dirumah sakit.
Akhir alami dari hiperstimulasi ovarium adalah resolusi
spontan. Dengan demikian, penatalaksanaan pasien dengan sindroma hiperstimulasi
ovarium berpusat pada tindakan suportif. Semua titah baring dan pengukuran
berat badan tiap hari. Pengukuran serial hCG diginakan untuk mendeteksi
kehamilan dan meramalkan keparahan sindroma. Selain itu, pasien yang dirawat
dirumah sakit harus dipantau secara cermat. Resolusi klinis biasanya terjadi
dalam 7 sampai 14 hari pada wanita yang tidak hamiltetapi mungkin memerlukan
waktu 30 hari jika terjadi kehamilan dan hCG endogen menimbulkan stimulasi
ovarium tambahan.
Dengan berkembangnya gejala, oligouria sering terjadi
walaupun dapat ditoleransi jika kadar BUN dan kreatin adalah stabil dan kadar
natrium urin adalah rendah. Terdapat kontroversi tentang penatalaksanaan oligo
uria persisten. Ekspander volume, seperti dekstran, albumin atau salin normal,
mengalir ke volume ruang ke-3 tetapi menunda memberikannya pada pasien dengan
hipovolemia dapat menyebabkan kerusakan ginjal sekunder akibat dari
hipoperfusi. Pembatasan garam dan cairan harus merupakan pendekatan
penatalaksanaan awal, denga upaya ekspansi volume diperuntukan bagi pasien
dengan fungsi ginjal yang telah terganggu sebelumnya atau dengan hipotensi
yang nyata. Konsultasi yang tepat harus
dilakukan dalam situasi tersebut.
Gangguan elektrolit mencerminkan respon ginjal terhadap
penurunan volume intravaskular. Hiperkalemia kemungkinan yang paling serius dan
harus diterapi dengan excange resins jika terjadi perubahan
elektrokardiografi. Tetapi, kandungan natrium pada excange resins dapat
menstimulasi pembentukan asites. Jika terjadi peningkatan kadar BUN dan kreatin
harus dikonsultasikan( konsultasi medis).
Hemokonsentrasi disertai dengan kadar estrogen sirkulasi
yang sangat tinggi dapat menyebabkan keadaan hiperkogulabilitas, dan dapat
terjadi trombosis. Pemakaian heparin profilaktik tidak dianjurkan, walaupun
memiliki daya tarik teoritis. Penurunan tingkat hematokrit menandai resolusi
sindroma jika disertai dengan diuresis tetapi bisa juga mencerminkan perdarahan
intraperitonial sekunder akibat ruptur atau torsi ovarium. Jika terjadi
pemburukan klinis, laparotomi dengan pembedahan konservatif untuk memulihkan
hemostasis mungkin diperlukan.
Pada kasus sindroma hiperstimulasi ovarium parah, asites
dan efusi pleura mungkin mengganggu fungsi pernafasan. Pasien dengan
hiperstimulasi yang mengalami sesak nafas harus diperiksa dengan pemeriksaan
sinar x dada untuk mencari adanya cairan pleura. Efusi pleura biasanya
menghilang dengan pembatasan cairan dan garan, walaupun torakosentesis dapat
menghasilkan peredaan sementara. Para sentesis rutin harus dihindari jika
terdapat ovarium kistik yang besar karena resiko ruptur dan perdarahan adalah
bermakna. Pencegahan hiperstimulasi ovarium mengharuskan pemakaian USG dan
pengukuran estradiol serum secara bijaksana selama induksi ovulasi. Terapi
dengan hCG harus ditunda jika kadar estradiol serum mencapai 2000 pg
permililiter. Hiperstimulasi ovarium yang parah terjadi pada kadar estradiol
dibawah 2000 pg permililiter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar