Laman

Cari Materi

Rabu, 29 Agustus 2018

Asfiksia


2.1              Asfiksia
2.2.1    Definisi
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda.
Ikatan Dokter Anak Indonesia asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.
WHO asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. ACOG dan AAP Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:
(a) Nilai Apgar menit kelima 0-3
(b) Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)
(c) Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
(d)Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal)
Asfiksia dimanifestasikan dengan disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopatihipoksik-iskemik, dan asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia dan iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.



2.1.2        Klasifikasi Asfiksia
Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam beberapa fase / tahapan.
1. Janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan
2. Masa henti napas (fase henti napas primer).
3. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul pernapasan megap-megap yang kedua selama 4 – 5 menit (fase gasping kedua) diikuti masa henti napas kedua (henti napas sekunder).
Semua neonatus dalam keadaan apapun mempunyai kesukaran untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan yang dingin. Neonatus yang mengalami asfiksia khususnya, mempunyai sistem pengaturan suhu yang lebih tidak stabil dan hipotermia ini dapat memperberat / memperlambat pemulihan keadaan asidosis yang terjadi.
Keadaan bayi pada menit ke-1 dan ke-5 sesudah lahir dinilai dengan skor Apgar (apparance, pulse, grimace, activity, respiration). Nilai pada menit pertama untuk menentukan seberapa jauh diperlukan tindakan resusitasi. Nilai ini berkaitan dengan keadaan asidosis dan kelangsungan hidup. Nilai pada menit kelima untuk menilai prognosis neurologis.
Afiksia berat (nilai Apgar 0-3) diatasi dengan memperbaiki ventilasi paru dengan memberi oksigen tekanan langsung dan berulang. Ada pembatasan dalam penilaian Apgar ini.
1.      Resusitasi segera dimulai jika diperlukan dan tidak menunggu sampai ada penilaian pada menit pertama.
2.      Keputusan perlu tidaknya resusitasi maupun penilaian respons resusitasi cukup dengan menggunakan evaluasi frekuensi jantung, aktivitas respirasi, dan tonus neuromuskular, bukan dengan nilai Apgar total. Hal ini untuk menghemat waktu.
Perencanaan berdasarkan perhitungan nilai Apgar.
1.      Nilai Apgar menit pertama 7 – 10, biasanya bayi hanya memerlukan tindakan pertolongan berupa pengisapan lendir / cairan dari orofaring. Tindakan ini harus dilakukan secara hati – hati, karena pengisapan yang terlalu kuat / traumatik dapat menyebabkan stimulasi vagal dan bradikardia sampai henti jantung.
3.      Nilai Apgar menit pertama 3 atau kurang menunjukkan bayi mengalami depresi pernapasan yang berat dan orofaring harus cepat diisap. Ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% sebanyak 40-50 kali per menit harus segera dilakukan.
Kecukupan ventilasi dinilai dengan memerhatikan gerakan dinding dada dan auskultasi bunyi napas. Jika frekuensi jantung tidak meningkat sesudah 5-10 kali napas, kompresi jantung harus dimulai. Frekuensi 100-120 kali per menit dengan 1 kali ventilasi setiap 5 kali kompresi (5:1).
Penyulit yang mungkin terjadi selama resusitasi meliputi hipotermia, pneumotoraks, trombosis vena, atau kejang. Hipotermia dapat memperberat keadaan asidosis metabolik, sianosis, gawat napas, depresi susunan saraf pusat, dan hipoglikemia. Pneumotoraks diatasi dengan pemberian ventilasi tekanan positif dengan inflasi yang terlalu cepat dan tekanan yang terlalu besar dapat menyebabkan komplikasi ini.

2.2.3    Etiologi dan Faktor Risiko
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan melahirkan atau pada periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutirisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.
Lee, dkk, melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum, intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan dalam 7 hari sebelum kelahiran memiliki hubungan yang bermakna terhadap peningkatan risiko kematian akibat asfiksia neonatorum. Gejala - gejala tersebut adalah:, seperti demam selama kehamilan (RR: 3.30; 95% CI: 2.15–5.07); perdarahan pervaginam (RR: 2.00; 95% CI: 1.23–3.27); pembengkakan tangan,wajah atau kaki (RR: 1.78; 95% CI: 1.33–2.37); kejang (RR: 4.74; 95% CI: 1.80–12.46); kehamilan ganda juga berhubungan  kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum.(RR: 5.73; 95% CI: 3.38–9.72). Bayi yang lahir wanita primipara memiliki risiko lebih tinggi pada mortalitas asfiksia neonatorum dengan risiko relatif 1.74 (95%CI:1.33-2.28) sedangkan riwayat kematian bayi sebelumnya tidak bermakna dalam memperkirakan kematian akibat asfiksia neonatorum (RR: 0.99; 95%CI: 0.70–1.40). Partus lama (RR:1.31, 95%CI 1.00-1.73) dan ketuban pecah dini (RR:1.83; 95%CI 1.22-1.76) juga meningkatkan risiko asfiksia neonatorum secara bermakna. Pada penelitiannya, Lee tidak mendapatkan bahwa pewarnaan mekoneum pada air ketuban memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya asfiksia neonatorum. Prematuritas memiliki resiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37 minggudan meningkat 14.33 kali lipat pada usia kehamilan < 34 minggu. Untuk itu perlu diberikan kortikosteroid yang dapat meningkatkan maturasi paru fetus 7 hari sebelum kelahiran. Pada suatu studi kohort dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid antenatal adalah faktor protektif terhadap sindroma distress respirasi (OR: 0.278; 95%CI: 0.177-0.437).
Hasil studi kasus-kontrol yang dilakukan secara retrospektif oleh Oswyn G, dkk.menyatakan bahwa riwayat lahir-mati berhubungan kuat dengan terjadinya asfiksianeonatorum. Bayi preterm dan posterm ditemukan lebih banyak pada kelompok kasusdaripada kontrol. Usia terlalu muda (< 20 tahun) dan terlalu tua (> 40 tahun), anemia( Hb< 8 g/dL, perdarahan antepartum dan demam selama kehamilan berhubungan kuatdengan asfiksia neonatorum. Tanda-tanda gawat janin seperti denyut jantung janin yangabnormal dan pewarnaan mekoneum, serta partus lama juga memiliki hubungan yangkuat dengan timbulnya asfiksia neonatorum.

Tabel 1. Faktor risiko asfiksia neonatorum
Faktor risiko antepartum
Faktor risikointrapartum
Faktor risiko janin
Primipara
Penyakit pada ibu:
-Demam saat kehamilan
-Hipertensi dalamkehamilan
-Anemia-Diabetes mellitus
-Penyakit hati dan ginjal
-Penyakit kolagen dan pembuluh darah
Perdarahan antepartum
Riwayat kematian neonatu s sebelumnya
Penggunaan sedasi, anelgesi atau anestesi
Malpresentasi
Partus lama
Persalinan yang sulit dan traumatik
Mekoneum dalam ketuban
Ketuban pecah dini
Induksi Oksitosin
Prolaps tali pusat

Prematuritas
BBLR
Pertumbuhan janin terhambat
Kelainan kongenital


2.2.4    Patofisiologi
a. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoliakan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinan oksigen mengalir kedalam pembuluh darah disekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikasis akan menutup sehingga menurunkan tahanan padasirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, dimana akan dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udaramenyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Padasaat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalamakan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan parumerupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masukadekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.

                       a.     Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi
Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir.Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan nafas dan atau paru-paru seperti sulit untuk menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardiaakibat hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensisistemik). Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara diparu-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapakasus, arteriol di paru-paru kadangkala gagal unruk berelaksasi walaupun paru-parusudah terisi dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn, disingkat menjadi PPHN ).
                      b.     Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial diparu sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetapkontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen.Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organseperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus, akan terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis sepertitonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-otot jantung atau sel-sel otak; tekanan darahrendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plaseta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis (warnakebiruan) karena kekurangan oksigen di dalam darah.
Gejala-gejala ini juga dapat terjadi pada keadaan lain, seperti infeksi atau hipoglikemia, atau karena ibu menggunakan obat-obatan seperti narkotika atau anestesiumum sebelum persalinan.

2.2.5    Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis terarah untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia.
2. Pemeriksaan fisik
a.       Bayi tidak bernafas atau menangis
b.      Denyut jantung kurang dari 100x/menit
c.       Tonus otot menurun
d.      Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisamekonium pada tubuh bayi
e.       BBLR
3. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat:
·         PaO2 < 50 mm H2O
·         PaCO2 > 55 mm H2
·         pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa:
·         Darah perifer lengkap
·         Analisis gas darah sesudah lahir 
·         Gula darah sewaktu
·         Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
·         Ureum kreatinin
·         Laktat
·         Ronsen dada
·         Ronsen abdomen tiga posisi
·         Pemeriksaan USG Kepala
·         Pemeriksaan EEG
·         CT scan kepala

2.2.6    Penanganan
Penatalaksanaan segera asfiksia adalah resusitasi bayi. Semua bayi dengan depresi pernapasan harus mendapat resusitasi yang adekuat. Bila bayi kemudian terdiagnosa sebagai asfiksia neonatorum sesuai dengan definisi AAP/ACOG, makadiperlukan tindakan medis lanjutan yang komprehensif sesuai dengan kondisinya.

a.      Tenaga Resusitasi
Saat bayi diperkirakan mengalami depresi pernapasan, hendaknya ada tim resusitasi yang minimal terdiri dari 2 orang, yaitu salah seorang sebagai pimpinan timyang memiliki kemampuan resusitasi yang lengkap termasuk sanggup melakukan intubasi endotrakeal, kompresi dada, ventilasi tekanan positif dan memberikan obat-obatan serta seorang yang lain menjadi pembantu resusitasi yang dapat membantu keefektifan proses resusitasi. Bila memungkinkan tim resusitasi dapat terdiri dari dua, tiga atau empat orang dengan berbagai tingkat kemampuan dalam resusitasi. Tim resusitasi mampu membagi pekerjaan seperti melakukan ventilasi, memberikan kompresi dada, memberikan obat-obatan, dan mencatat.

b.      Informed Consent
Setiap tindakan medis terhadap pasien memerlukan persetujuan dari pasien. Apabila diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya sebelumnya dimintakan informed consent. Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi pernapasan adalah tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin informed consent dapat ditunda setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan lanjutan, dokter perlu melakukan informed consent 

c.       Alat Resusitasi
Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia didalam kamar bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi memerlukanresusitasi maka peralatan harus siap digunakan. Peralatan yang diperlukan padaresusitasi neonatus adalah sebagai berikut :
1.      Perlengkapan penghisap
·         Balon penghisap (bulb syringe)
·         Penghisap mekanik dan tabung
·         Kateter penghisap
·         Pipa lambung

2.      Peralatan balon dan sungkup
·         Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai100%, dengan volume balon resusitasi ± 250 ml
·         Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan (dianjurkan yangmemiliki bantalan pada pinggirnya)
·         Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/m) dantabung.
3.      Peralatan intubasi
·         Laringoskop
·         Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yangcocok dengan pipa endotrakeal yang ada
4.      Obat-obatan
·         Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) – 3 ml atau ampul 10 ml
·         Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambahvolume—100 atau 250 ml.
·         Natrium bikarbonat 4,2% (5mEq/10 ml)—ampul 10 ml.
·         Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml , atau 1,0 mg/ml (ada dua konsentrasi)
·         Dextrose 10%, 250 ml
·         Kateter umbilikal
5.      Lain-lain
·         Alat pemancar panas ( radiant warmer ) atau sumber panas lainnya
·         Monitor jantung dengan probeserta elektrodanya (bila tersedia di kamar bersalin).
·         Oropharyngeal airways
·         Selang orogastrik
6.      Untuk bayi sangat prematur 
·         Sumber udara tekan (CPAP, neopuff)
·         Blender oksigen
·         oksimeter 
·         Kantung plastik makanan (ukuran 1 galon) atau pembungkus plastik yangdapat ditutup
·         Alas pemanas
·         Inkubator transport untuk mempertahankan suhu bayi bila dipindahkan keruang perawatan

d.      Resusitasi neonatus
Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi neonatal.
1.      Pemeriksaan
Pada pemeriksaan awal ditentukan apakah bayi mengalami 4 hal yang mungkin membuatnya mengalami depresi pernapasan sehingga memerlukan resusitasi, seperti apakah bayi lahir kurang bulan, apakah ada mekonium dalam cairan ketuban, apakah bayi tidak menangis atau tidak bernapas dan apakah tonus otot buruk. Bila bayi tidak mengalami satupun dari 4 hal diatas, maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin.
2.      Langkah Awal
Bila bayi lahir ditemukan salah satu dari 4 hal diatas maka dilakukan langkah awal yang terdiri dari :
a)      Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurangbulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan alas penghangat.

b)      Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan terlentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghiduagar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
c)      Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi yang parah. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untukmencegah aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelumlahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapapusat menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekonium dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayimengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurangdari 100x/menit), bayi diletakkan di bawah pemancar panas tetapi jangan dikeringkan dahulu karena pengeringan akan merangsang usaha nafas. Segera  dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop dan pipa/selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, farings dan trakea sampai glotis.
Menghisap mekoneum dari trakea dengan menggunakan laringoskop dan pipa/selang endotrakeal. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.

d)     Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar.
Meletakkan pada posisi yang benar,menghisap sekret, dan mengeringkan akanmemberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, pengeringan dan penghisapan sekret, bayi belumbernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atauekstremitas bayi.Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsanganapapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu ataudua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil. Kesemua langkah awal diatas dilakukan dalam waktu 30 detik.
3.      Penilaian
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut :
a.       Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dandalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasanyang megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif danmemerlukan intervensi lanjutan
b.      Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10sehingga akan dapat diketahui frekuensi jantung permenit.
c.       Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosissentral yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah daribiru menjadi kemerahan adalah petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen. Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.
4.      Pemberian oksigen
Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkupoksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen.
Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapatsianosis sentral lagi, dimana bayi tetap merah atau saturasi oksigennya tetap baikwalaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.
5.      Pemberian ventilasi tekanan positif 
Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutanbila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP harusdipastikan tidak ada kelainan congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayidengan hernia diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Pada bayi cukup bulan dianjurkan untuk menggunakan oksigen 100%.Namun beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan oksigendengan konsetrasi 21% (room air oxygen) menurunkan risiko mortalitas dankejadian hipoksik iskemik ensefalopati (HIE) dibanding dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena dapatmerusak jaringan. Bila bayi diperkirakan akan mendapat VTP dalam waktu yang cukup lama,intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan selang orogastrik untukmenghindari distensi abdomen.
Ada 3 jenis alat yang dapat digunakan untuk melakukan ventilasi pada bayi baru lahir, masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda, yaitu: 
·                  Balon mengembang sendiri (self inflating bag), setelah dilepaskan dariremasan akan terisi spontan dengan gas (oksigen atau udara ataucampuran keduanya) ke dalam balon.
·         Balon tidak mengembang sendiri (flow inflating bag),disebut juga balonanestesi, terisi hanya bila gas yang berasal dari gas bertekanan mengalir ke dalam balon.
·         T-piece resuscitator , bekerja hanya bila dialiri gas yang berasal darisumber bertekanan ke dalamnya. Gas mengalir langsung, baik kelingkungan sekitar maupun ke bayi, dengan cara menutup atau membuka lubang pada pipa T dengan jari atau ibu jari.
6.      Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelahdilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung kearah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasidarah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberioksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif, satuorang menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi.Orang kedua juga bisamelakukan pemantauan frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekananpositif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara bergantian.
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akanmenghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar.
Prinsip dasar pada kompresi dada adalah :
·                  Posisi bayitopangan yang keras pada bagian belakang bayi dengan leher sedikit tengadah
·                  kompresi lokasi ibu jari atau dua jari: pada bayi baru lahir tekanan diberikan pada 1/3bawah tulang dadayang terletak antara  processus xiphoideus dan garis khayal yang menghubungkan kedua puting susu

kedalaman
Diberikan tekanan yang cukup untuk menekan tulang dadasedalam kurang lebih 1/3 diameter anteroposterior dada, kemudiantekanan dilepaskan untuk memberi kesempatan jantung terisi. Satukompresi terdiri dari satu tekanan ke bawah dan satu pelepasan. Lamanyatekanan ke bawah harus lebih singkat daripada lamanya pelepasan untukmemberi curah jantung yang maksimal. Ibu jari atau ujung-ujung jari(tergantung metode yang digunakan) harus tetap bersentuhan dengandada selama penekanan dan pelepasan.
Frekuensi
Kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan aturansatu ventilasi diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30 ventilasidan 90 kompresi permenit. Satu siklus yang berlangsung selama 2 detik, terdiridari satu ventilasi dan tiga kompresi.
Penghentian kompresi
-                    setelah 30 detik, untuk menilai kembali frekuensi jantung.
-                    jika frekuensi jantung telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan, namun ventilasi diteruskan dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika frekuensi jantung tetap kurang dari 60 x/menit, maka pemasangan kateter umbilikalisuntuk memasukkan obat dan pemberian epinefrin harus dilakukan.
-                    jika frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit dan bayi dapat bernapas spontan, ventilasi tekanan positif dapat dihentikan, tetapi bayi masih mendapat oksigenalir bebas yang kemudian secara bertahap dihentikan. Setelah observasi beberapa lama di kamar bersalin bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan.

7.              Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada beberapa keadaan berikut saat resusitasi:
a.               Jika terdapat mekoneum dan bayi mengalami depresi pernapasan, maka intubasi dilakukan sebagai langkah pertama sebelum melakukan tindakan resusitasi yang lain, untuk membersihkan mekoneum dari jalan napas
b.              Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup menghasilkan perbaikan kondisi, pengembangan dada, atau jika ventilasi tekanan positif berlangsung lebih dari beberapa menit, dapat dilakukan intubasi untuk membantu memudahkan ventilasi.
c.               Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara kompresi dada dan ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi ventilasi tekanan positif.
d.             Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi jantung maka cara yangumum adalah memberikan epinefrin langsung ke trakea melalui pipa endotrakeal sambil menunggu akses intravena.
e.               Jika dicurigai ada hernia diafragmatika, mutlak dilakukan pemasangan ETT. Carapemasangan ETT perlu dikuasai diantaranya melalui pelatihan khusus.
8.              Pemberian obat-obatan
Obat-obatan jarang diberikan pada resusitasi bayi baru lahir. Bradikardi pada bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh ketidaksempurnaan pengembangan dada atau hipoksemia, dimana kedua hal tersebut harus dikoreksi dengan pemberian ventilasi yang adekuat. Namun bila bradikardi tetap terjadi setelah VTP dan kompresi dada yang adekuat, obat-obatan seperti epinefrin, atauvolume ekspander dapat diberikan. Obat yang diberikan pada fase akutresusitasi adalah epinefrin. Obat-obat lain digunakan pada pasca resusitasi atau pada keadaan khusus lainnya.

2.2.7       Pencegahan Asfiksia neonatorum
Pencegahan secara Umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik, komplikasi saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dengan hanya satu intervensi, karena penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Karenanya dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yangsaling terkait. Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasiyang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota timpersalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkankesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat.15Pada bayidengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru janin.13

Antisipasi dini perlunya dilakukan resusitasi pada bayi yang dicurigai mengalami depresi pernapasan untuk mencegah morbiditas dan mortilitas lebih lanjut
Pada setiap kelahiran, tenaga medis harus siap untuk melakukan resusitasi pada bayi baru lahir karena kebutuhan akan resusitasi dapat timbul secara tiba-tiba. Karena alasan inilah, setiap kelahiran harus dihadiri oleh paling tidak seorang tenaga terlatihdalam resusitasi neonatus, sebagai penanggung jawab pada perawatan bayi baru lahir. Tenaga tambahan akan diperlukan pada kasus-kasus yang memerlukan resusitasi yang lebih kompleks.
Dengan pertimbangan yang baik terhadap faktor risiko, lebih dari separuh bayi baru lahir yang memerlukan resusitasi dapat diidentifikasi sebelum lahir, tenaga medis dapat mengantisipasi dengan memanggil tenaga terlatih tambahan, dan menyiapkan peralatan resusitasi yang diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar