Perkembangan
Pendidikan dan pelayanan Bidan di Indonesia dan di Luar negri
Perkembangan pendidikan bidan
berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan.Keduanya berjalan seiring
untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang
dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa
penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr.
W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan
ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta didik yang disebabkan karena
adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluaran rumah.
Pada tahunan 1902 pendidikan bidan
dibuka kembali bagi wanita pribumi di rumah sakit militer di batavia dan pada
tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita indo dibuka di Makasar. Luluasan dari
pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya
dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara
cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25
Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan
tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon
yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan
pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914 telah diterima
juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang luluas dapat
meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Untuk perawat pria dapat
meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.
Pada tahun 1935-1938 pemerintah Kolonial
Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP bagian B) dan hampir
bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain Jakarta di
RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. DI tahun
yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan
berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo
dan pendidikan Kebidanan selama tiga tahun tersebut Bidan Kelas Satu
(Vreodrouweerste Klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan
Kelas Dua (Vreodrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji
pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah
mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang
berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda.
Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar
karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah
bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal minimal minimal minimal
minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga
untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan
yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini
dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E
adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian
besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan
Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu.
Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk
memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam
pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan
terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB ditutup (discountinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat
dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini
berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang
menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur
menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan
sekolah perawat dan sekolah bidan. Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan
bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua
tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan
Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di seluruh
provinsi.
Pada tahun 1974 mengingat jenis
tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen
Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana.
Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan
adanya tenaga multi purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah
menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan
kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan
pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti
tidak berhasil.
Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.
Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.
Tahun 1981 untuk meningkatkan
kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak
termasuk kebidanan, dibuka pendidikan Diploma I Kesehatan Ibu dan Anak.
Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua
institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program
pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK. Lama
pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang
mengirim. Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang
memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan.
Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan
satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah
menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS
Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap
(Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian
dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi. Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi
sebagai-baiknya tidak hanya kemampuan klinik, sebagai bidan tapi juga kemampuan
untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa
dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A)
diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar.
Diharapkan pada tahun 1996 sebagian
besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini
kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang
diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang
terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu
tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik
kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai
seorang bidan juga kurang. Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan
Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan
lama pendidikan satu tahun.
Tujuan program ini adalah untuk
mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan A. Berdasarkan
hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak
menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu
singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua
angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup. Pada tahun 1993 juga dibuka
pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP.
Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh, Bengkulu, Lampung dan
Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan
Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan
dalam waktu enam semster. Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun
1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh
(Distance learning) di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Kebijakan ini dilaksanakan untuk
memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan
penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994
Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan
tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKI. DJJ Bidan
dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah. Pendidikan ini
dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di
Propinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 Propinsi, pada tahap II
(1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III (1997-1998)
dilaksanakan di 26 propinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III telah diikuti
oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV
(1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah tiap propinsinya
adalah 60 orang, kecuali Propinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah
masing-masing hanya 40 orang dan Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta
belum diketahui berapa jumlah yang lulus karena laporan belum masuk. Selain
pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan
kegawat daruratan maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan materi
pembelajaran berbentuk 10 modul. Sedang
pelaksanaannya adalah Rumah sakit provinsi/kabupaten. Penyelenggara ini dinilai
tidak efektif ditinjau dari proses. Pada tahun 1996, IBI bekerja sama dengan
Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwive (ANCM) dan rumah
sakit swasta mengadakan Training of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang
untuk LSS, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PPIBI. Tim pelatih LSS
ini mengadakan TOT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek
swasta. Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih
bidan praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru/dosen dari D3 Kebidanan.
1995-1998, IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care melakukan pelatihan dan
peer review bagi bidan rumah sakit, bidan Puskesmas dan bidan di desa di
Propinsi Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2000 telah ada tim
pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal
Neonatal health (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa
propinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan
tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan. Selain melalui pendidikan
formal dan pelatihan, utnuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan
seminar dan Lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan
organisasi (Organization Development = OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak
dau kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEP.
B. Sejarah Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan Bidan
di Luar Negeri
1. Perkembangan Pelayanan Kebidanan
di Luar Negeri
a. Sebelum abad 20 (1700-1900)
William Smellie dari Scotlandia
(1677-1673) mengembangkan forceps dengan kurva pelvik seperti kurva shepalik.
Dia memperkenalkan cara pengukuran konjungata diagonalis dalam pelvi metri.
Menggambarkan metodnya tentang persalinan lahirnya kepala pada presentasi
bokong dan penganangan resusitasi bayi aspiksi dengan pemompaan paru-paru
melalui sebuah metal kateler. Ignoz Phillip semmelweis, seorang dokter dari
Hungaria (1818 – 1865) pengenalan Semmelweiss tentang cuci tangan yang bersih
mengacu pada pengendalian sepsis puerperium. James Young simpson dair
Edenburgh, scotlandia (1811-1870) memperkenalkan dan menggunakan arastesi umum,
tahun 1807, Ergot sejenis cendawan yang tumbuh pada sejenis gandung hitam,
diketahui efektif dalam mengatasi pendarahan postpartum. Hal ini merupakan
permulaan pengguguran. Tahun 1824 Jamess Blundell dari Inggris yang menjadi
orang pertama yang berhasil menangani perdarahan postpartum dengan menggunakan
transfusi darah. Jean lubumean dari Perancis (orang kepercayaan Rene Laenec,
penemu Stetoskop pada tahun 1819) pertama kali mendengar bunyi jantung janin
dengan stetoskop pada tahun 1819) pertama kali mendengar bunyi jantung janin
dengan stetoskop pada tahun 1920. Jhon Charles Weaven dari Inggris (1811 –
1859) adalah. Pada tahun 1843, pertama yang yang melakukan test urine pada
wanita hamil untuk pemeriksaan dan menghubungkan kehadirannya dengan eklamsia.
Adolf Pinard dari Prancis
(1844-1934) pada tahun 1878, mengumumkan kerjanya pada palpasi abdominal Carl
Crede dari Jerman (1819 – 1892) menggambarkan metodanya stimulasi urine yang
lembut dan lentur untuk mengeluarkan placenta Juduig Badl, dokter obstetri dari
Jerman (1842-1992), pada tahun 1875, menggambarkan lingkaran retraksi yang
pasti muncul pada pertemuan segment atas rahim dan segmen bawah rahim dalam
persalinan macet/sulit. Daunce dari Bordeauz. Pada tahun 1857, memperkenalkan
pengguran inkubator dalam perawatan bayi prematur.
b. Abad 20
Postnatal care sejak munculnya
hospitalisasi untuk persalinan telah berubah dari perpanjangan masa rawatan
sampai 10 hari, ke trend “Modern” ambulasi diri. Yang pada kenyataannya, suatu
pengembalian pada “cara yang lebih alami”. Selama beberapa tahun, pemisahan ibu
dan bayi merupakan praktek yang dapat diterima di banyak rumah sakit, dan alat
menyusui bayi buatan menjadi dapat diterima, dan bahkan oleh norma!
Bagaimanapun, alami sekali lagi “membuktikan dirinya “rooing-in” dipraktekan
dan menyusui dipromosikan menyusui disemua rumah sakit yang sudah mendapat
penerangan. Perkembangan teknologi yang cepat telah monitoring anthepartum dan
intrapartum yang tepat menjadi mungkin dengan pengguraan ultrasonografi dan
cardiotocografi, dan telah merubah prognosis bagi bayi prematur secara dramatis
ketika dirawat di neonatal intersive acara urits, hal ini juga memungkinkan
perkembangan yang menakjubkan.
2. Pelayanan dan Pendidikan di
Beberapa Negara
Pelayanan Bidan di Afrika Selatan.
Perusakan Hindia Belanda timur yang
membentuk tempat makanan dan minuman di semenanjung. Mempunyai
prakiran-prakiraan yang menyakir praktek para bidan yang dapat diterpkan di
semenannjung tersebut. Tapi mereka tidak menunjuk bidan pemerintah atau bidany
ang sudah diangkat sumpah selama beberapa tahun peraturan-peraturan tersebut
menetapkan bahwa para bidan harus diuji dan dan diberi lisensi/izin, dan mereka
harus memanggil pertolongan medis bila ada indikasi. Saat penempatan dipeluas,
wanita di desa khususnya harus ditolong oleh wanita yang lebih tua belum
dilathi dari masyarakat. Bidan pemerintah memperoleh penghargaan yang tinggi
salah satu dari mereka. Alkta Kaisters, ditunjuk pada tahun 1687 sebagai kepala
keperawatan di rumah sakit persahaan, dan menjadi bidan pertama yang
melaksanakan tugas-tugas perawatan umum sebagaimana tugas-tugas kebidanan.
Pelayanan kebidanan pertama diberikan sekaligus oleh pagawi pemerintah dan
bidan swasta dilebih banyak wilayah berkembang, sementara masyarakat pedesaan
dilayani oleh wanita penuh baya yang belum terlatih dengan pengalaman kebidanan
“outansi” yang seringkali melaksanakan perawatan umum dan bahkan pelayanan
untuk hewan peliharaan juga dalam beberapa hal/keadaan. Situasi itu masih
berlaku.
Terlihat dimana terdapat sedikit
perkembangan dalam pelayanan dan pelatihan kebidanan sampai awal abad ke 19
dibawah pemerintahan Batavia yang mengambil alih semenanjung dari perusahan
Hindia-Belanda timur yang bubar, seorang dokter bedah bernama Dr Leishing
mereka mendasikan dimana telah didirikan sebuah sekolah kebidanan ini untuk
mengganikan sistem magang perusahaan dan terjadi sebelum pendudukan British
kedua di semenanjung tersebut. Komite Medis tertinggi meninjau kembali lisensi
dokter, bidan dan apoteker dan menemukan bahwa enam bidan yang sudah mempunyai
lisensi tidak memenuhi kriteria mereka. Ide pendirian sekolah kebidanan baru
terlaksana pada tahun 1808, saat seirang dokter bedah dari pemerintah batavia
terdahulu.
Dr Johann Hunrich frederich carel
leopold wehr, mengajukan permohonan oada guberbur semenanjung untuk mendirikan
sekolah seperti itu. Dr Wehr sangat tertarik pada kebidanan, dan dia
mengungkapkan perhatian yang besar pada kurangnya bidan yang berkualitas bagi
Cape town dan daerah-daerahnya, dan standart asuhan kebidanan yang jelek yang
di berikan oleh orang-orang yang tidak mempunyai lisensi/izin. Dia ditunjuk
sebagai Accoucher kolonial dengan wewenang untuk melatih sejumlah besar bidan
untuk melayani masyarakat. Dia akan membantu para bidan yang bekerja diantara
orang miskin, tanpa bayarannya, tapi dia meminta gaji yang sesuai untuk mengimbangi
pelayanannya di sana. Gubernur Earl of caledon menyetujuai pendirian sekolah
tersebut pada tanggal 1 November 1810, dan Dr Wehr ditunjuk sebagai instruktur
kolonial kebidanan. Dengan demikian, lahirlah sekolah profesional pertama dari
jurusannya di Afrika selatan, dan pelatihan para bidan di mulai pada tahun
1811. Tujuh kandidat yang menyelesaikan pelatihan tersbeut dan terkualifikasi
pada tahun 1813 merupakan profesional pertama yang terlatih dan terkualifikasi
di Afrika Selatan.
Kode etik yang diikrarkan dipegang rteguh saat
mereka melakukan “Sumpah Jabatan” yang mencakup banyak elemen yang terwujud
dalam kode etik/sikap saat ini. Kode ini meliputi persyaratan untuk ; prilaku
pribadi/perorangan, hubungan dengan bidan yang lain, dengan dokter dan utusan
agama, rahasia profesi, dan meminta bantuan medis jika diperlukan. Dua awal
penting dalam sejarah kebidanan di Afrika Selatan terjkadi selama periode ini.
Kiira-kira pada tahun 1809. Seorang utusan medis dari Misionary Society London,
Dr. Van der kemp, menulis sebuah buku saku tentang kebidanan bagi pembantunya.
Tampaknya ini merupakan buku kebidanan pertama yang ditulis di Afrika Selatan.
Pada tahun 1816, operasi seksio caesarea pertama dilakukan pada isteri Mr.
Thomas Munnik oleh Dr. James Barry. Anak tersebut diberi nama James Barry
Munnik. Permulaan dan Pelatihan Modern Saudari Henrietha Stockdale. Tahap
penting berikutnya dalam perkembangan pelatihan kebidanan digembor-gemborkan
oleh kedatangan saudari Henrichtta stockdate di Afrika selatan, yang pada tahun
1867 dikirim oleh komunitasnya ke rumah sakit Carnarvon di Kimberly. Disini Dr
James Prince, seorang dokter kanada, memutuskan untuk menyusun pelayanan
kebidanan daerah dengan bantuan bidan Ella Ruth terdaftar sebagai perawat umum
pada tahun 1919 dan sebagai seorang bidan pada tahun 1920, sehingga menjadi
wanita kulit berwarna pertama yang memiliki kualifikasi ganda. Pelatihan
kebidanan bagi orang kulit hitam dimulai sesudahnya, dan pada tahun 1927.
Dirumah sakit Mc card zulu di Duban, Beatrice
Msimang menjadi wanita kulit hitam pertama yang menjadi perawat dan bidan yang
terdaftar. Perkembangan-perkembangan pada tahun 20. Usia yang diizinkan masuk.
Sebulum ada peraturan-peraturan dewan Medis Afrika Selatan, tidak ada penentuan
batas usia. Beberapa sekolah menetapkan bahwa para siswa harus berusia 24-50
tahun, sekolah yang lain menetapkan 21-45 tahun. Semua sekolah mewajibkan orang
yang sudah dewasa. Kebidanan bulan merupakan profesi yang diinginkan bagi
gadis-gadis yang belum menikah. Kemudian, siswa perawat dan siswa bidan tidak
diizinkan untuk menikah dan siapapun yang memnutuskan untuk menikah harus
berhenti dari pelatihan. Pada tahun 1960-an, peraturan-peraturan tersebut
diperlonggar, dan wanita yang sudah menikah diizinkan untuk melanjutkan pelatiha
tahun 1923, sertifikat standar enam telah dapat diterima, kemudian muncul
standart tujuh pada tahun 1929, kemudian standart delapan pada tahun 1949 dan
pada tahun 1960, standart sepuluh merupakan standart pendidikan minimal yang
diwajibkan.
Pendidikan bidan di Afrika Selatan
Pada tahun 1923, sertifikat standar
enam telah dapat diterima, kemudian muncul standart tujuh pada tahun 1929,
kemudian standart delapan pada tahun 1949 dan pada tahun 1960, standart sepuluh
merupakan standart pendidikan minimal yang diwajibkan. Silabus dan lamanya
pelatihan. Pelatihan kebidanan ditetapkan oleh empat Dewan Medis (Neogara
bagain Cape, natal, transual dan orange free) setelah dimulai di Cape pada
tahun 1892, dan siswa harus menolong minimal 12 persalinan dan merawat 12
wanita pada masa puerperium. Pelatihan dilakukan dilapangan dan diruang
perawatan rumah sakit kalau tersedia/ada. Sebagian besar pusat pelatihan merasa
bahwa masa pelatihan terlalu pendek, dan pada tahun 1917, Asosiasi Perawat
terlatih Afrika Selatan juga mengungkapkan ketidakpuasannya dengan kurangnya
fasilitas. Sekolah pelatihan terlalu sedikit, dan kurangnya bed yang tersedia
bagi pasien kebidanan.
Asosiasi ini merekomendasikan :
ketentuan rumah sakit kebidanan yang disubsidi oleh pemerintah yang lebih
banyak untuk digunakan sebagai sekolah pelatihan; dimana pelatihan harus
diperpenjang sampai minimal selama 6 bulan; dan dimana ketentuan tersebut harus
meliputi pelatihan teorituis dan praktek di lapangan dan di ruang perawatan.
Pada tahun 1919, sekolah perawatan kebidanan didirikan di bekas rumah Pal
Kruger, dimana masa pelatihan 12 bulan jika siswanya belum menjadi perawat yang
terdaftar.
Dewan perawatan Afrika Selatan
mengambil kembali pelatihan kebidanan pada tahun 1945, dan pada tahun 1949,
masa pengajaran lebih lanjut meningkat menjadi 18 bulan bagi perawat yang belum
terdaftar, dan 9 bulan bagi perawat uang sudah terdaftar. Pada tahun 1960, masa
tersebut menjadi 24 bulan dan 12 bulan berturut-turut. Diwajibkan menolong
persalinan sebanyak 30 persalinan dan 30 asuhan postnatal. Perawat yang belum
terdaftar mengikuti ujian awal umum dengan siswa keperawatan umum. Sekarang
ini, dan kadang-kadang secara kontroversi, pengajaran kebidanan termasuk dalam
pengajaran selama 4 tahun, yang menuntun pada registrasi bagi seorang perawat
(umum, psikiatrik dan komunitas) dan sebagai seorang bidan. Pada tahun 1977,
laki-laki diizinkan mengikuti pengajaran kebidanan untuk pertama kalinya di
Afrika Selatan. Bidan yang sudah terdaftar juga bisa melanjutkan ke Diploma dalam
kebidanan dan /atau ke ilmu perawatan neonatal intensive, Pelatihan ADM
diadakan di Rumah Sakit Mowbray pada tahun 1976, dan peraturan-p-eraturan bagi
pelatihan diumumkan oleh Dewan perawatan Afrika Selatan pada bulan Agustus
1979. Kebidanan sebagai jurusan Kuliah di tingkat Universitas dapat diperoleh
pada tingkat Doktor.
Pelayanan Bidan di Amerika
Di Amerika, para bidan berperan
seperti dokter, berpengalaman tanpa pendidikan yang spesifik,
standart-standart, atau peraturan-peraturan sampai pada awal abad ke 20.
Kebidanan, sementara itu dianggap menjadi tidak diakui dalam sebagian besar
yuridiksi (hukum-hukum) dengan istiklah “nenek tua” kebidanan akhirnya padam,
profesi bidan hampir mati. Sekitar tahun 1700, para ahli sejarah memprediksikan
bahwa angka kematian ibu di AS sebanyak 95%. Salah satu alasan kenapa dokter
banyak terlibat dalam persalinan adalah untuk menghilangkan praktek sihir yang
mash ada pada saat itu.
Dokter memegang kendali dan banyak
memberikan obat-obatan tetapi tidak mengindahkan aspek spiritual. Sehingga
wnaita yang menjalani persalinan selalu dihinggapi perasaan takut terhadap
kematian. Walaupun statistik terperinci tidak menunjukkan bahwa pasien-pasien
bidan mungkin tidak sebanyak dari pada pasien dokter untuk kematian demam nifas
atau infeksi puerperalis, sebagian besar penting karena kesakitan maternal dan
kematian saat itu. Tahun 1765 pendidikan formal untuk bidan mulai dibuka pada
akhir abad ke 18 banyak kalangan medis yang berpendapat bahwa secara emosi dan
intelektual wanita tidak dapat belajar dan menerapkan metode obstetric.
Pendapat ini digunakan untuk menjatuhkan profesi bidan, sehingga bidan tidak
mempunyai pendukung, uang tidak terorganisir dan tidak dianggap profesional.
Pada pertengahan abad antara tahun
1770 dan 1820, para wanita golongan atas di kota-kota di Amerika, mulai meminta
bantuan “para bidan pria” atau para dokter. Sejak awal 1990 setengah persalinan
di AS ditangani oleh dokter, bidan hanya menangani persalinan wanita yang tidak
mampu membayar dokter. Dengan berubahnya kondisi kehidupan di kora,
persepsi-persepsi bartu para wanita dan kemajuan dalam ilmu kedokteran,
kelahiran menjadi semakin meningkat dipandang sebagai satu masalah medis
sehingga di kelola oleh dokter. Tahun 1915 dokter Joseph de lee mengatakan
bahwa kelahiran bayi adalah proses patologis dan bidan tidak mempunyai peran di
dalamnya, dan diberlakukannya protap pertolongan persalinan di AS yaitu :
memberikan sedatif pada awal inpartu, membiarkan serviks berdilatasi memberikan
ether pada kala dua, melakukan episiotomi, melahirkan bayi dengan forcep
elstraksi plasenta, memberikan uteronika serta menjahit episiotomi. Akibat
protap tersebut kematian ibu mencapai angka 600-700 kematian per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 1900-1930, dan sebanyak 30-50% wanita melahirkan di
rumah sakit.
Dokter Grantly Dicke meluncurkan
buku tentang persalinan alamiah. Hal ini membuat para spesialis obstetric
berusaha meningkatkan peran tenaga diluar medis, termasuk bidan.
Pada waktu yang sama karena
pelatihan para medis yang terbatas bagi para pria, para wanita kehilangan
posisinya sebagai pembantu pada persalinan, dan suatu peristiwa yang
dilaksanakan secara tradisional oleh suatu komunitas wanita menjadi sebuah
pengalaman utama oleh seorang wanita dan dokternya. Tahun 1955 American College
of Nurse – Midwives (ACNM) dibuka. Pada tahun 1971 seorang bidan di Tennesse
mulai menolong persalinan secara mandiri di institusi kesehatan.
Pada tahun 1979 badan pengawasan
obat Amerika mengatakan bahwa ibu bersalin yang menerima anasthesi dalam dosisi
tinggi telah melahirkan anak-anak melahirkan anak-anak yang mengalami
kemunduran perkembangan psikomotor. Pernyataan ini membuat masyarakat tertarik
pada proses persalinan alamiah, persalinan di rumah dan memacu peran bidan. Pada
era 1980-an ACNM membuat pedoman alternatif lain dalam homebirth. Pada tahun
yang sama dibuat legalisasi tentang opraktek profesional bidan, sehingga
membuat bidan menjadi sebuah profesi dengan lahan praktek yang spesifik dan
membutuhkan organisasi yang mengatur profesi tersebut.
Pada tahun 1982 MANA (Midwive
Alliance Of North America) di bentuk untuk meningkatkan komunikiasi antar bidan
serta membuat peraturan sebagai dasar kompetensi untuk melindungi bidan. DI
beberapa negara seperti Arizona, bidan mempunyai tugas khusus yuaitu melahirkan
bayi untuk perawatan selanjutnya seperti merawat bayi, memberi injeksi bukan
lagi tugas bidan, dia hanya melakukan jika diperlukan namun jarang terjadi.
Bidan menangani 1,1% persalinan di tahun 1980 : 5,5% di tahun 1994. Angka
sectio caesaria menurun dari 25% (1988) menjadi 21% (1995). Penggunaan forcep
menurun dari 5,5% (1989) menjadi 3,8% (1994). Dunia kebidanan berkembang saat
ini sesuai peningkatan permintaan untuk itu profesi kebidanan tidak mempunyai
latihan formal, sehingga ada beberapa tingkatan kemampuan, walaupun begitu
mereka berusaha agar menjadi lebih dipercaya, banyak membaca dan pendekatan
tradisional dan mengurangi teknik invasif untuk pertolongan seperti penyembuhan
tradisional.
Hambatan-hambatan yang dirasakan oleh bidan Amerika
Serikat saat ini antara lain:
• Walaupun
ada banyak undang-undang baru, direct entry midwives masih dianggap iolegal
dibeberapa negara bagian.
• Lisensi praktek berbeda tiap negara bagian, tidak
ada standart nasional sehingga tidak ada definisi yang jelas tentang bidan
sebagai seseorang yang telah terdidik dan memiliki standart kompetensi yang
sama.
Sedikit sekali data yang akurat
tentang direct entry midwives dan jumlah data persalinan yang mereka tangani.
• Kritik tajam dari profesi medis
kepada diret entry midwives ditambah dengan isolasi dari system pelayanan
kesehatan pokok telah mempersulit sebagian besar dari mereka untuk memperoleh
dukungan medis yang adekuat bila terjadi keadaan gawat darurat. Pendidikan
kebidanan biasanya berbentuk praktek lapangan, sampai saat ini mereka bisa
menangani persalinan dengan pengalaman sebagai bidan. Bidan adalah seseorang
yang telah menyelesaikan pendidikan selam 4 tahun dan praktek lapangan selama 2
tahun, yang mana biaya yang sangat mahal. Kebidanan memiliki sebuah organisasi
untuk membentuk standart, menyediakan sertifikat dan membuat ijin praktek. Saat
ini AS merupakan negara yang menyediakan perawatan maternitas termahal di
dunia, tetapi sekaligus merupakan negara industri yang paling buruk dalam hasil
perawatan natal di negara-negara industri lainnya.
Pelayanan Bidan di Australia
Pelayanan Bidan di Australia
Florence Nightingale adalah pelopor
kebidanan dan keperawatan yang dimulai dengan tradisi dan latihan-latihan pada
abad 19. Tahun 1824 kebidanan masih belum di kenal sebagai bagian dari
pendidikan medis di Inggris dan Australia dimulai pada tahun 1862. Lulusan itu
dibekali dengan pengethuan teori dan praktek. Pendidikan Diploma Kebidanan
dimulai tahun 1893, dan sejak tahun 1899 hanya bidan sekaligus perawat yang
terlatih yang boleh bekerja di rumah sakit. Sebagian besar wanita yang
melahirkan tidak dirawat dengan selayaknya oleh masyarakat. Ketidakseimbangan
seksual dan moral di Australia telah membuat prostitusi berkembang dengan
cepat. Hal ini menyebabkan banyak wanita hamil di luar nikah dan jarang mereka
dapat memperoleh pelayanan dari bidan atau dokter karena pengaruh social mereka
atau pada komunitas tyang terbatas, meskipun demikian di Australi bidan tidak
bekerja sebagai perawat, mereka bekerja sebagaimana layaknya seorang bidan.
Pendapat bahwa seseorang bidan haru reflek menjadi seorang perawat dan program
pendidikan serta prakteknya banyak di buka di beberapa tempat dan umumnya
dibuka atau disediakan oleh Non Bidan.
Pendidikan bidan di Australia
Kebidanan di Australia telah
mengalami perkembangan yang mengalami pesat sejak 10 tahun terakhir. Dasar
pendidikan telah berubah dari traditional hospital base programme menjadi
tertiary course of studies menyesuaikan kebutuhan pel;ayanan dari masyarakat. Tidak
semua institusi pendidikan kebidanan di Australi telah melaksanakan perubahan
ini, beberapa masih menggunakan proram pendidikan yang berorientasi pada rumah
sakit. Kurikulum pendidikan disusun oleh staf akademik berdasarkan pada
keahlian dan pengalaman mereka di lapangan kebidanan. Kekurangan yang dapat
dilihat dari pendidikan kebidanan di Australia hampir sama dengan pelaksanaan
pendidikan bidan di Indonesia. Belum ada persamaan persepsi mengenai
pengimplementasian kurikulum pada masing-masing institusi, sehingga lulusan
bidan mempunyai kompetensi klinik yang berbeda tergantung pada institusi
pendidikannya.
Hal ini ditambah dengan kurangnya
kebijaksanaan formal dan tidak adanya standar nasional menurut National Review
of Nurse Education 1994, tidak ada direct entry. Pada tahun 1913 sebanyak 30%
persalinan ditolong oleh bidan. Meskipun ada peningkatan jumlah dokter yang
menangani persalinan antara tahun 1900 sampai 1940, tidak ada penurunan yang
berarti pada angka kematian ibu dan bidanlah yang selalu disalahkan akan hal
itu. Kenyataannya wanita jelas menengah ke atas yang ditangani oleh dokter
dalam persalinannya mempunyai resiko infeksi yang lebih besar daripada wanita
miskin yang ditangani oleh Bidan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar