Tahap Pembuan
2.1.1. Peletakan Sperma
Sperma memperoleh kemampuan
berenang selama fase pematangan 4-12 ghari di epididimis. Saat berhubungan
kelamin , sekitar 300 juta sperma dikeluarkan dalam sekitar 3 ml cairan
seminalis, yang diletakan di vagina. Ejakulasi berulang biasanya menyebabkan
penurunan konsentrasi sperma, tetapi jumlah sperma motil cenderung meningkat
pda pria yang infertil, yang mengisyaratkan bahwa gangguan transportasi melalui
saluran genetalia pria memengaruhi motilitas (Matilsky et al, 1993). Sperma
mengalami koagulasi di vagina, yang tampaknya mempermudah retensi mereka yang
menjaga sperma dari lingkungan normal yang asam dan kurang menguntungkan (pH
4-5). pH vagina meningkat oleh penyangga dari cairan seminalis sehingga sprema
dapat bergerak dan mengaksas serviks.
Koagulum melarut dalam waktu
sekitar 20-60 menit. Antar hari ke-9 dan ke-16 daur haid, salama periode subur
beberapa hari sebelum dan termasuk ovulasi, komposisi mukus serviks yang encer
mempermudah lewatnya sprema. Mukus serviks berinteraksi dengan sperma. Mukus
serviks memberikan perlindunagn dan makanan kepada sperma. Mukus serviks ini
juga berfungsi sebagai reservoar dan mungkin menyaring sperma yang secar morfologis abnormal. Sebagian besar sperma
(99%) tidak dapat memasuki uterus. Beberapa retus sperma mencapai tuba uterina
dalam beberapa jam setelah koitus, glombang pertama transpormasi ini mungkin
disebabkan oleh gerakan otot ritmis oleh saluran reproduksi wanita. Namun
aktivitas otot saluran genetalia wanita tampaknya tidak esensial untuk pembuahan,
sebagian sperma akan tersimpan di kripti serviks, kemudian bergerak relatif
lambat membentuk gelombang kedua melalui mukus serviks dan mencapai tuba
uterina beberapa hari setelah ejakulasi.
2.1.2. Kapasitas
Sperma yang diejakulasikan tidak
langsung membuahi oosit. In vitro, mungkin terdapat penundaan bebrapa jam
sebelum sperma yang belum siap ini dapat mebuahi oosit. Namun, in vitro (dan
pada sperma yang diambil dari uterus) efek enzim wanita dan konsentrasi garam
yang tinggi disekresi uterus atas pengaruh estrogen akan mempercepat penyiapan
sperma. Perubahan kimia dan fungsi yang dialami oleh sperma di uterus dan tuba
uterina ini dikenal sebagai kapasitasi. Perubahan tersebut mencakup hilangnya
lapisan glikoprotein dan membran plasma sperma dan reorganisasi molekul
permukaan sperma (DeLamairande, Laderc, & Gagnon, 1997). Perubahan
biokimiawi mencakup peningkatan pH itrasel dan konsentrasi kalsium. Modifikasi
ini merubah saluran ion di membaran sehingga terjadi fluks teransmembran ion,
yang emicu hiperaktivitas sperma. Metabolisme sperma berubah dari oksidatif
menjadi glikoli. Gerakan ekor sperma hiperaktif berubah menjadi gerakan mirip
pecut sehingga sperma terdorong kuat kedepan, bergerak dari ismus tuba uterina
ke ampula (Mbizvo, 1995). Gerakan kepala ke lateral yang menguat menimbulkan
gerakan membor, yang membantu akses ke oosit. Ekor juga berperan dalam
pergerakan sprema di dalam oosit (Van Blerkom et al, 1995)
2.1.3. Akses ke Oosit
Sawar pertama yang mencegah akses
sperma ke oosit adalah lapisan luar sel kumulus, korona radiata, yang terbenam
di dalam matriks antar sel yang terdiri atas karbohidat, dan asam hialuronat.
Hialuronidase, yang dikeluarkan dari akrosom sperma membantu penetrasi korona
radiata. Pembebasan gradual sperma dari reservoar di mukus serviks serta
pengaktifan sperma didekat oosit memiliki arti bahwa bebas waktu pwmbuahan
diperpanjang.
2.1.4. Penigkatan ke Zona Pelucida
Oosit dikelilingi leh zona
pelucida, yang ketebalannya sekitar 14-15 µm. Zona ini adalah matriks ekstrasel
yang terdiri aras glikoprotein bersulfat yang dihasilkan oleh oosit yang sedang
tumbuh. Zona ini permeabel bagi sebagian virus, imunoglobulin, dan enzim.
Sebelum ovulasi, tonjolan sitoplasma dari sel korona radiata menembus zona
pelusida sehingga dapat terjadi komunikasi dan penyaluran makanan ke oosit
melalui taut celah. Saat tonjolan ini ditarik sebagai respon respon terhadap
lonjakan LH, dapat terbentuk celah di zona pelucida yang memudahkan akses bagi
penetrasi sperma sehingga fertilisasi menjadi lebih mudah (Fmiliari et al,
1992). Zona pelusida berfungsi sebagai sawar yang memungkinkan sperma spesies
yang sama menembus sampai oosit.
Zona pelusida bersifat antigenk :
antibodi antizona pelusida mungkin merupakan penyebab pada sebagian kasus
infertilitas. Komposisi zona pelusida berubah seiring dengan reaksi korteks
seterlah pembuahan sehingga dapat dicegah terjadinya polispermia, teta[i
memungkinkan sekresi tuba uterina mencapai oosit pada tahap awal pembelahan
sel. Zona pleusida juga berperan dalam blastokosta dari impantasi prematur di
tuba uterina sebelum mencapai uterus. Terdapat kemungkinan bahwa suatu zona
pelusida yang terlalu tebal menyebabkan masalah dalam penetasan blastokista dan
implantasi selanjutnya.
Sperma merekat ke reseptor di
pemukaan zona pelusida membuat jalan menembus membran plasma oosit melalui
proses pencernaan. Molekul komplementer di zona pelusida dan membran plasma
spema berinteraksi yang memungkinkan interaksi kedua gamet. Reseptor sperma di
zona pelusida adalah glokoprotein yang dikenal sebagai ZP3 (Tulsani,
Yoshida-Komiya, & Araki, 1997). Struktur reseptor ini bervariasi anntar
spesies, yang mungkin membantu mencegah pembuahan oosit oleh sperma dari
spesies yang berbeda. Walaupun terdapat pengenalan telur sperma spesifik-spesies,
sperma beberapa spesies mamalia dapat berinteraksi dengan reseptor ZP3 spesies
lain walaupun tidak diikuti oleh pembuahan.
Interaksi dengan zona pelusida
tampaknya berlangsung dalam dua tahap (Wasserman, 1987). Pertama sperma yang
telah mengalami kapasitasi melekat secara longgar dan reversibel ke permukaan
zona pelusida. Kemudian, sperma berikatan secara lebih kuat dan ireversibel ke
zona pelusida. Banyak sperma yang berikatan dengan zona pelusida, tetapi
biasanya hanya satu yang menembus dan akan menyatau dengan membran plasma
oosit.
2.1.5. Reaksi Akrosom
Setelah mengikat zona pelusida,
sperma mengalami reaksi akrosom. Hal ini dipicu oleh peningkata konsentasi
kalsium intasel setelah peningkatanke reseptor ZP3. Namun, hal ini juga dapat
dipicu oleh cairan folikel dan progesteron (Brucker & Lipford, 1995).
Membran akrosom bagian luar menyatu dengan membaran plasma yang menutu pi
sperma. Terjadi pelepasan vesikel kecil yang mengandung enzim akrosom yang
kemudian membebaskan isinya. Membran akrosom bagian dalam kemudian menjadi
pembungkus kepala sperma. Akrosin, suatu enzim yang tetap terikat ke mambran
akrosom bagian dalam, membuat terowongan melalui proses pencernaan menembus
zona pelusida, dan enzim akrosom dibebaskan dari vesikel. Gerakan maju mendadak
sperma mendorongnya kedepan menembus zona pelusida dan rauang perivitelina
sehingga kepala sperma berkontak dengan membran vitelina (permukaan) oosit.
Penetrasi melalui zona pelusida memerlukan sperma yang hiperaktif dan lisis
zona pelusida.
2.1.6 Fusi Gamet
Reaksi akrosom memicu perubahan
pada membran sperma yang memungkinkan terjadinya fusi. Molekul perekat yang
terdapat dimembaran sperma dan oosit penting dalam fusi sperma-telur (Blobel et
al, 1992). Kepala sperma tertarik ke dalam mikrovili oosit dipermukaan selubung
oosit. Membran plasma sperma kemudian menyatu ke dalam membran oosit. Fusi
membran sperma dan membaran vitelina oosit berlangsung sekitar 10-20 menit.
Pembuahan pada manusia, ekor sperma tetap motil dan menyatu kedalam oosit
(Payne et al, 1997). Diperkirakan setiap mitokondria ayah yang masuk kedalam
oosit akan keluar secara selektif (Kaneda et al, 1995). Zigot dan mudigah yang
terbentuk hanya memiliki mitikondria ibu (Gyllensteen et al, 1991). Oosit
tampaknya kehilangan DNA mitokondia seiring dengan peningkatan usia ibu, suatu
faktor yang mungkin penting dalam kesuburan. Selain komponen inti sel pria,
sperma yang melakukan pembuahan juga ikut serta dalam pembentukan sentriol dan
pusat organisasi mikrotubulus, tempat gelendong mitosis pertama akan terbentuk
(Van Berkom et al, 1995).
2.1.7 Reaksi Korteks
Setelah fusi berlangsung, masuknya
sperma lain kedalam oosit (polispermia), yang berpotensi menghasilkan zigot
nondiploid, dicegah. Zigot nondiploid biasanya tidak dapat hidup, tetapi sebagian
berkembang menjadi tumor, misalnya mola hidatidiformis atau koriokarsinoma.
Inseden zigot nondiploid meningkat seiring dengan asupan alkohol, pemakaian
obat, anestesia, dan pembuatan “oosit” tua (tua dalam arti jam setelah
ovulasi). Saat sperma menyatu dengan oosit, terjadi peningkatan hantaran
kalium, yang menyebabkan depolarisasi membran.
Potensial membran yang berubah itu
sendiri mungkin penting dalam menghambat fusi sperma lebih lanjut, tetapi juga
menyebabkan pembebasan kalsium dari simpanan intersel, yang meningkatkan fusi
granula korteks dengan membran oosit (Hoodbhoy & Talbot, 1994). Peningkatan
kalsium dimulai dari tempat fusi dan bergerak sebabagai gelombang melalui oosit
dan secara sekuensial mengaktifkan sekitar 4000 garnula kotreks. Pemicu untuk
peningkatan kalsium yang diinduksi oleh kalsium ini adalah fajtor sitosolik
larut dari sprema yang menbuahi oosit. Osilasi kalsium yang terjadi dapat
berlangsung sampai beberapa jam (Palermo et al, 1997), dan mungkin berperan
dalam pengaltifan mudigah. Isi granula korteks (berbagai enzim, protease dan
peroksidase serta poloseakridase) disebabkan kedalam ruang periviterina dan
berdifusi menembus zona pelusida untuk mencerna reseptor sperma ZP3. Zona
pelusida kehilangan kemampuannya mengikat sperma dan memicu reaksi akrosom.
Perubahan tekstur zona pelusida disebut sebagai “pengerasan zona”. Reaksi ini
dikenal sebagai reaksi zona. Komposisi membaran plasma oosit juga berubah.
2.2. Kromosom Seks
2.2.1.
Jenis Kelamin Zigot
Pada pembelahan meiosis, sel
mengalami pengurangan komplemen genetikanya dari 46 menjadi 23 kromosom. Setiap
sperma normal akan memiliki 22 autosom dan kromosom X atau Y. Apabila oosit
dibuahi oleh sperma yang memiliki kromosom X (ginospermae), zigotnya akan
wanita dan apabila memiliki kromosom Y (androspermae) keturunannya akan pria.
Sperma yang mengandung kromosom Y dan X berenang dengan kecepatan yang berbeda.
Apabila periode antara haid dan hubungan kelamin pertama memanjang, peletakan
sperma kecil kemungkinannya terjadi jauh sebelum ovulasi sehingga sperma yang
baru di ejakulasikan akan mencapai pembuahan. Dihipotesiskan bahwa androsperma,
yang sedikit lebih kecil daripada ginosperma dan memiliki kepala lebih bulat,
dapat berenang lebih cepat.
2.2.2.
Kelainan Kromoson
Kelainan kromosom kerap diungkap dokter sebagai
penyebab keguguran, bayi meninggal sesaat setelah dilahirkan, maupun bayi yang
dilahirkan sindrom down. Kelainan kromosom umumnya terjadi saat pembuahan,
yaitu saat sperma ayah bertemu sel telur ibu dan sebelum ovum dan sperma ini
matang, terjadi pembelahan 2 kali yang mengurangi jumlah kromosom dari 46
menjadi 23. Normalnya ovum punya 22 pasang kromosom autosom dan 1 pasang
kromosom X. Sedangkan separuh sperma punya 22 kromosom autosom dan 1 kromosom Y
atau X.
Kromosom normal orang tua bisa diturunkan sebagai
kromoson normal pada anaknya, namun bisa pula diturunkan abnormal jika pada
proses penurunannya ada kelainan atau gangguan. Ada 5 tipe penyebab kelainan
kromosom, yaitu :
1. nondisjunction: ada gangguan dalam pelepasan sepasang
kromosom, entah terjadi pada sebagian atau seluruhnya
2. translokasi: terjadi penukaran 2 kromosom yang berasal
dari pasangan berbeda
3. mosaik: terjadi salah mutasi pada mitosis/pembelahan
di tingkat zigot
4. reduplikasi atau hilangnya sebagian kromosom
5. trisomi yaitu bagian kromosom yang hilang atau
ditambahkan
ü Trisomi 21: Pada kelainan ini, kromosom nomor 21 ada 3
buah, bukan 2 buah seperti seharusnya. Itulah mengapa, kelainan ini sering
dikatakan trisomi 21. Dampaknya, bayi yang dilahirkan mengalami mongoloid atau
sindrom down.
ü Trisomi 18: Kromosom nomor 18 ada 3 buah. Bayi yang
dilahirkan mengalami sindrom edward, biasanya akan meninggal sesaat setelah
lahir.
ü Trisomi 17: Kromosom 17 ada 3 buah. Bayi yang
dilahirkan akan meninggal setelah lahir.
ü
Trisomi 13: Kromosom 13 ada 3 buah. Bayi yang dilahirkan mengalami sindrom
patau, juga meninggal sesaat setelah lahir.
ü Cat eye syndrome: Pada kasus ini, kromosom 22 hilang
sebagian. Bayi yang dilahirkan akan mempunyai kelainan pada bentuk muka dan
jantungnya. Sementara kelainan kromosom seks lebih sedikit dibanding kelainan
autosom, yaitu:
·
Sindrom turner: Biasanya terjadi pada wanita, yaitu jumlah kromosomnya ada
45 buah dengan kromosom seksnya cuma 1 X, bukan XX seperti umumnya. Otomatis,
anak perempuan yang mengalami sindrom ini tak bisa mentruasi dan tanda-tanda
kelamin sekunder lainya tidak nampak, dan bertubuh pendek.
·
Sindrom poli-X atau superfemale: Juga Terjadi pada wanita. Jumlah
kromosomnya 47 XXX. Biasanya anak dengan sindrom ini jadi kurang IQ-nya atau
retardasi mental ringan.
·
Sindrom kleinefelter: Biasanya terjadi pada lelaki, yaitu jumlah
kromosomnya 47 XXY. Padahal, kromosom lelaki harusnya XY. Jadi, dalam kelainan
ini, meski kromosomnya lelaki tapi fisiknya perempuan. Soalnya, ia tak punya
uterus atau rahim, hingga ia tak akan bisa mengalami menstruasi apalagi punya
anak. Hal ini disebabkan pertumbuhan hormon yang tak bisa ke testis, hingga
larinya ke payudara. Jadi, testis biasanya ada tapi kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar