Laman

Cari Materi

Senin, 10 Juni 2013

EKLAMSIA

Pengertian
Eklamsi adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre eklamsi (hipertensi, edems, proteinuri) (Wirjoatmodjo, 1994: 49). Eklamsi merupakan kasus akut, pada penderita dengan gambaran klinik pre eklamsi yang disertai dengan kejang dan koma yang timbul pada ante, intra dan post partum (Angsar MD, 1995: 41) .(3)
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda preeklampsia. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejangan yang diikuti oleh koma. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia graavidarum, eklampsia parturientum, dan eklampsia puerperale. Perlu dikemukakan bahwa pada eklampsia gravidarum sering kali persalinan mulai tidak lama kemudian.(1)
Eklamsi lebih sering terjadi pada primigravida dari pada multi para.(2)
Menurut saat terjadinya eklamsi kita mengenal istilah :
1)       Eklamsi antepartum : ialah eklamsi yang terjadi sebelum persalinan ( ini yang paling sering terjadi) (2)
2)       Eklamsi intra partum : ialah eklamsi sewaktu persalinan(2)
3)       Eklamsi postpartum : eklamsi setelah persalinan(2)
Kebanyakan terjadi ante partum, jika terjadi postppartum maka timbul dalam 24 jam setelah partus. Dalam kehamilan eklamsi terjadi dalam triwulan terakhir dan makin besar kemungkinan mendekati saat cukup bulan.
Eklamsi lebih sering terjadi pada :
                  i.            hidra amnion. (2)
                 ii.            Kehamilan kembar. (2)
               iii.            Mola hidatidosa ( pada mola hidatidosa eklamsi dapat terjadi sebelum bulan ke-6. (2)
2.2  Gejala
Eklamsi selalu didahului oleh gejala-gejala preeklamsi. Gejala-gejala preeklamsi yang berat seperti(2) :
  Sakit kepala yang keras
  Penglihatan kabur
  Nyeri diulu hati
  Kegelisahan dan hyperfleksi sering mendahului kejang

Serangan dibagi dalam 3 tingkatan :
                    i.Tingkat invasi (tingkat permulaan)
Mata terpaku, kepala dipalingkan ke satu fihak, kejang-kejang halus terlihat pada muka. Berlangsung beberapa detik. (2)
                  ii.Tingkat kontraksi (tingkat kejang kronis )
Seluruh badan menjadi kaku, kadang-kadang terjadi episthotonus, lamanya 15 sampai 20 detik. (2)
                iii.Tingkat konvulsi
Terjadi kejang yang timbul hilang, radang membuka dan menutup begitu juga mata; otot-otot muka dan otot badan berkontraksi dan berelaksasi berulang. Kejang ini bisa menjadi sangat kuat dan bisa menyebabkan pasien terlempar dari tempat tidurnya atau lidahnya tergigit. Ludah yang berbuih bercapur darah keluar dari mulutnya, mata merah, muka biru. Berlangsung sekitar 1 menit. (2)
                iv.Tingkat coma
Setelah kejang kronis pasien akan coma. Lamanya beberapa menit sampai berjam-jam. Dan jika pasien telah sadar kembali maka ia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi(amnesi retrograd). Setelah beberapa waktu, terjadi serangan baru dan kejadian yang dilukiskan di atas berulang lagi kadang-kadang 10-20 kali. (2)
Sebab kematian eklamsi ialah : oedema paru-paru, apoplexi dan acidosis. Atau pasien mati setelah beberapa hari karena pneumoni aspirasi, kerusakan hati atau gangguan faal ginjal. Kadang-kadang terjadi eklamsi tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah coma. Eklamsi semacam ini disebut “ eclampsi sine eclampsi” dan terjadi kerusakan hati yang berat. (2)
Karena kejang merupakan gejala yang khas dari eklamsi maka “eclampsi sine eclampsi” sering dimasukkan preeklamsi yang berat. Pada eklamsi tensi biasanya tinggi sekitar 180/110. Nadi kuat dan berisi tapi jika keadaan sudah buruk menjadi kecil dan cepat. Demam yang tinggi memperburuk prognosa. Demam ini rupa-rupanya cerebral. Pernafasan biasanya cepat dan tersembunyi, pada eklamsi yang berat ada cyanosis. Protein uri hampir selalu ada malahan kadang-kadang sangat banyak, juga oedema biasanya ada. (2)
Pada eklamsi antepartum biasanya persalinan mulai setelah beberapa waktu. Tapi kadang-kadang pasien berangsur baik tidak kejang lagi dan sadar sedangkan kehamilan terus berlangsung. Eklamsi yang tidak segera disusul dengan persalinan disebut eklamsi intercurrent. Dianggap bahwa pasien yang sedemikian bukan sembuh tapi jatuh ke yang lebih ringan ialah dari eklamsi ke dalam keadaan preeklamsi. Jadi kemungkinan eklamsi tetap mengancam pasien semacam ini sebelum persalinan terjadi. (2)
Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24 jam. Juga kalau anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit berkurang. Proteinuria hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal kembali dalam 2 minggu. Adakalanya pasien yang telah menderita eklamsi psychotis, biasanya pada hari ke 2 atau ke 3 postpartum dan berlangsung 2-3 minggu. Prognosa umumnya baik. Penyulit lainnya ialah hemiplegi dan gangguan penglihatan (buta) karena oedema retina. (2)
1.3  Patofisiologi
Pada wanita yang mati karena eklamsi terdapat kelainan pada hati, ginjal, otak, paru-paru dan jantung. Pada umumnya dapat ditemukan necrose, haemorrhagia, oedema, hypercaemia atau ischaemia, dan thrombosis. Pada plesenta terdapat infark-infark karena degenerasi syncytium. Perubahan lain yang yang terdapat ialah retensi air dan natrium, haemo konsentrasi dan kadang-kadang acidosis.(2)
1.4  Etiologi
Sebab eklamsi belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklamsi disebabkan ischaemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplasenta). Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes, peredaran darah dalam dinding uterus kurang, maka keluarlah zat-zat dari plasenta atau decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hypertensi.(2)
2.5  Diagnosa
Eklamsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklamsi yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal dan mungkin timbul sebelum, selama, atau setelah persalinan. Namun kejang yang timbul lebih dari 48 jam postpartum, terutama pada nulipara, dapat dijumpai sampai 10 hari postpartum (Brown dkk., 1987;Lubarsky dkk ., 1994).(4)
Eklamsia secara umum dapat dicegah dan penyakit ini sudah jarang dijumpai di Amerika Serikat karena sebagian besar wanita sekarang sudah mendapat asuhan prenatal yang memadai. Penyulit utamanya adalah solusio plasenta, deficit neurologis, pneumonia aspirasi, edema paru, henti kardiopulmonal / cardiopulmonary arrest, gagal ginjal akut, dan kematian ibu. (4)
2.6  Penatalaksanaan
Preeklamsi yang dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata disebut eklamsi. Koma fatal tanpa kejang juga pernah disebut eklamsi, namun, sebaiknya diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang dan menggolongkan kematian pada kasus nonkejang sebagai kasus yang disebabkan oleh preeklamsia berat. Apabila telah timbul eklamsi, resiko baik bagi ibu maupun janinnya meningkat. (4)
Hampir tanpa kecuali, kejang eklamsia didahului oleh preeklamsi. Eklamsi disebut antepartum, intrapartum, dan postpartum bergantung pada apakah kejang sebelum, selama, atau sesudah persalinan. Eklamsia paling sering terjadi pada trimester terakhir dan menjadi semakin sering mendekati aterm. Pada 254 wanita penderita eklamsia yang dirawat di the University of Mississippi Medical Center, sekitar 3% mengalami kejang pertama kali 48 jam setelah melahirkan (Miles dkk., 1990). Pada wanita dengan awitan kejang yang lebih dari 48 jam postpartum, perlu dipertimbangkan diagnosis lain. (4)
Serangan kejang biasanya dimulai di sekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan (twitching) wajah. Setelah beberapa detik, seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu kontraksi otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik. Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan kontraksi dan relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian kuatnya sehingga wanita yang bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan apabila tidak dilindungi, lidahnya tergigit oleh gerakan rahang yang hebat. Fase ini, saat terjadi kontraksi dan relaksasi otot-otot secara bergantian, dapat berlangsung sekitar 1 menit.(4)
 Secara bertahap, gerakan otot menjadi lebih lemahdan jarang, dan akhirnya wanita yang bersangkutan tidak bergerak. Sepanjang serangan, diafragma terfiksasi dan pernafasan tertahan. Selama beberapa detik wanita yang bersangkutan seolah-olah sekarat akibat henti napas, tetapi kemudian ia menarik napas dalam, panjang, dan berbunyi lalu kembali bernapas. Ia kemudian mengalami koma. Ia tidak akan mengingat serangan kejang tersebut atau, pada umumnya, kejadian sesaat sebelum dan sesudahnya. Seiring dengan waktu, ingatan ini akan pulih. (4)
Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang berikutnya yang jumlahnya dapat bervariasi dari satu atau dua pada kasus ringan sampai bahkan 100 atau lebih pada kasus berat yang tidak diobati. Pada kasus yang jarng, kejang terjadi berurutan sedemikian cepatnya sehingga wanita yang bersangkutan tampak mengalami kejang yang berkepanjangan dan hamper kontinu. (4)
Durasi koma setelah kejang bervariasi. Apabila kejangnya jarang, wanita yang bersangkutan biasanya pulih sebagian kesadarannya setelah setiap serangan. Sewaktu sadar, dapat timbul keadaan setengah sadar dengan usaha perlawanan. Pada kasus yang sangat berat, koma menetap dari satu kejang ke kejang lainnya dan pasien dapat meninggal sebelum ia sadar. Meski jarang, satu kali kejang dapat diikiutioleh koma yang berkepanjangan walaupun, umumnya, kematian tidak terjadi sampai setelah kejang berulang-ulang. (4)
Laju pernapasan setelah kejang eklamsia biasanya meningkat dan dapat mencapai 50 kali per menit, mungkin sebagian respons terhadap hiperkarbia akibat asidemia laktat serta akibat hipoksia dengan derajat bervariasi. Sianosis dapat dijumpai pada kasus yang parah. Demam 39ÂșC atau lebih adalah tanda yang buruk karena merupakan akibat perdarahan susunan saraf pusat. (4)
Proteinuria hampir selalu ada dan sering parah. Pengeluaran urine kemungkinan besar berkurang secara bermakna dan kadang-kadang terjadi anuria. Hemoglobinuria sering dijumpai, tetapi hemoglobinemia jarang. (4)
Pada eklamsia antepartum, tanda-tanda persalinan dapat dimulai segera setelah kejang dan berkembang cepat, kadang-kadang sebelum petugas yang menolong menyadari bahwa wanita yang tidak sadar atau stupor ini mengalami his. Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his dapat meningkat, dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang, tidak jarang janin mengalami bradikardiasetelah serangan kejang. Keadaan ini biasanya pulih dalam 3 sampai 5 menit, apabila menetap lebih dari 10 menit, kausa lain perlu dipertimbangkan, misalnya solusio plasenta atau bayi akan segera lahir. (4)
Edema paru dapat terjadi setelah kejang eklamsia. Paling tidak terdapat 2 mekanisme penyebab :
1.      Pneumonitis aspirasi dapat terjadi setelah inhalasi isi lambung apabila kejang disertai oleh muntah. (4)
2.      Gagal jantung, yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan pemberian cairan intravena yang berlebihan. (4)
Pada sebagian wanita dengan eklamsia, kematian mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat perdarahan otak massif. Perdarahan subletal dapat menyebabkan hemiplegia. Perdarahan otak lebih besar kemungkinannya pada wanita yang lebih tua dengan hipertensi kronik. Walaupun jarang, perdarahan tersebut mungkin disebabkan oleh rupture aneurisma beri (berry aneurysm) atau malformasi anteriovena (Witlin dkk., 1997). (4)
Pada sekitar 10 persen wanita, sedikit banyak terjadi kebutaan setelah serangan kejang. Kebutaan juga dapat timbul spontan pada preeklamsia. Paling tidak terdapat 2 kausa :
1.    Ablasio retina dengan derajat bervariasi. (4)
2.    Iskemia, infark atau edema lobus oksipitalis. (4)
Baik akibat patologi otak atau retina, prognosis untuk pulihnya penglihatan baik dan biasanya tuntas dalam seminggu (Cunningham dkk.,1995). Sekitar 5% wanita akan mengalami gangguan kesadaran yang cukup bermakna, termasuk koma menetap, setelah kejang. Hal ini disebabkan oleh edema otak yang luas, sedangkan herniasi unkus transtentorium dapat menyebabkan kematian (Cunningham dan Twickler, 2000). (4)
Walaupun jarang, eklamsia dapat diikuti oleh psikosis, dan wanita yang bersangkutan dapat mengamuk. Keadaan ini biasanya berlangsung selama beberapa hari sampai 2 minggu, tetapi prognosis untuk pulih baik asalkan sebelumnya tidak ada penyakit mental. (4)
2.7  Diagnosis Banding
Umumnya eklamsia lebih besar kemungkinannya terlalu sering di diagnosis (overdiagnosis) daripada kurang terdiagnosis (underdiagnosis) karena epilepsy, ensefalitis, meningitis, tumor serebri, sistiserkosis dan rupture aneurisma serebri pada kehamilan tahap lanjut dan masa nifas dapat menyerupai eklamsia. Namun, sampai kausa-kausa lain ini disingkirkan, semua wanita hamil dengan kejang dianggap menderita eklamsia. (4)
Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejangan karena obat anestesia; apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejangan; (3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, dan lain-lain.(1)

2.8  Prognosis
Prognosis untuk eklamsia selalu serius, penyakit ini adalah salah satu penyakit paling berbahaya yang dapat mengenai wanita hamil dan janinnya. Untungnya, angka kematian ibu akibat eklamsia telah menurun selama 3 dekade terakhir dari 5 sampai 10% menjadi kurang dari 3% kasus (Eclampsia Trial Collaborative Group, 1995; Mattar dan Sibai, 2000; Pritchard dkk., 1984). Pengalaman-pengalaman jelas menggarisbawahi bahwa eklamsia serta preeklamsia berat harus dianggap sebagai ancaman yang nyata terhadap nyawa ibu. (4)
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan nata; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan. (4)
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak menyebabkan hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa pada penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian atau lebih tinggi daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.(1)
2.9       Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia.(1)
1.      Solutio Plasenta .Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada per-eklampsia.
2.      Hipofibrinogenemia. Pada preeklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23% bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3.      Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkanikterus tersebut.
4.      Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
5.      Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6.      Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7.      Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8.      Sindroma HELLP. Yaitu baemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9.      Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10.  Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).
11.  Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.1


2.10     Terapi
Profilaks
Ialah dengan pencegahan, diagnose dini dan terapi yang cepat dan intensif dari preeklampsi. Maka pengaturan diit dan berat badan selanjutnya, pengukuran tensi, pemeriksaan urine dan tambah berat badan merupakan pekerjaan yang sangat penting disusulkan dengan pengobatan dan kalau perlu pengakhiran kehamilan. Semua tindakan tersebut di atas bermaksud untuk mencegah timbulnya eklampsi. (2)
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi. (2)
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas  :
1.      Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
2.      Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segara apabila ditemukan.
3.      Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat dihilangkan.(1)

Pada tahun 1995, Pritchard memulai suatu regimen terapi terstandarisasi di Parkland Hospital, dan regimen ini digunakan hingga tahun 1999 untuk menangani lebih dari 400 wanita dengan eklamsia. Hasil pengobatan 245 kasus eklamsia yang dianalisis dengan cermat ini dilaporkan oleh Pritchard dkk (1984). Sebagian besar regimen eklamsia yang digunakan di Amerika Serikat menerapkan filosofi yang sama, prinsip-prinsipnya mencakup (4) :
  1. Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium sulfat ini dilanjutkan dengan infuse kontinu atau dosis bolus intramuscular dan diikuti oleh suntikan intramuscular berkala.
  2. Pemberian obat antihipertensi oral atau intravena intermiten untuk menurunkan tekanan darah apabila tekanan diastolic dianggap terlalu tinggi dan berbahaya. Sebagian dokter mengobati pada saat tekanan diastolic mencapai 100 mmHg, sebagian lagi pada 110 mmHg.
  3. Menghindari diuretic dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila pengeluaran cairan berlebihan. Zat-zat hiperosmotik dihindari.
  4. Pelahiran.
  1. Magnesium Sulfat untuk Mengendalikan Kejang
Pada kasus eklamsia, magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral adalah obat antikejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infuse kontinu atau intramuscular dengan injeksi intermiten. Jadwal dosis untuk eklamsia sama seperti untuk preeklamsia. Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat kemungkinan besar terjadi kejang, wanita dengan preeklamsia-eklamsia biasanya diberi magnesium sulfat selama persalinan dan selama 24jam postpartum. Magnesium sulfat tidak diberikan untuk mengobati hipertensi. (4)
Berdasarkan sejumlah studi yang dikutip berikut ini, serta pengamatan klinis yang luas, magnesium sulfat kemungkinan besar memiliki efek antikejang spesifik pada korteks serebri. Biasanya, ibu berhenti kejang setelah pemberian awal magnesium sulfat, dan dalam satu sampai dua jam akan sadar dan pulih orientasinya tentang tempat dan waktu. (4)
Apabila magnesium sulfat diberikan untuk menghentikan dan mencegah rekurensi kejang eklamsia, sekitar 10 sampai 15% wanita akan kembali mengalami kejang. Tambahan magnesium sulfat sebanyak 2g dalam larutan 20% diberikan secara perlahan-lahan intravena. Pada wanita bertubuh kecil, dosis tambahan 2g dapat digunakan satu kali, sedangkan yang bertubuh besar dua kali bila diperlukan. Natrium amobarbital diberikan secara intravena perlahan-lahan dengan dosis sampai 250mg untuk wanita yang mengalami agitasi berlebihan pascakejang. Thiopental juga dapat digunakan. Terapi rumatan magnesium sulfat untuk eklamsia dilanjutkan selama 24 jam pascapelahiran. Untuk eklamsia yang timbul postpartum, magnesium sulfat diberikan selama 24 jam setelah wanita kejang. (4)
Karena eklampsi disebabkan oleh kehamilan maka teoritis pengobatan yang terbaik dari eklampsi ialah secepat mungkin mengakhiri kehamilan misalnya dengan Sectio. Tapi dalam praktek terbukti bahwa hasilnya kurang memuaskan, terutama karena dilakukan operasi pada pasien yang kesadarannya sudah buruk. Dengan sikap yang konserpatip hasil-hasil jauh lebih memuaskan, dan pada umumnya sekarang eklampsi dirawat secara konserpatip. (4)
Sebagai pertolongan pertama dapat diberikan dengan segera suntikan 20 mg morphin misalnya sebelum mengangkut pasien ke Rumah Sakit atau sambil menunggu persiapan-persiapan yang diperlukan. Pasien ditempatkan dalam kamar tenang dan setengah gelap tapi yang masih cukup terang untuk memungkinkan observasi. Persiapan yang cukup dilakukan untuk menghindari pasien melukai diri sendiri atau jatuh dari tempat tidur, gigi palsu harus ditanggalkan dan dicari benda misalnya karet atau kain yang digulung untuk dimasukkan antara tulang rahang kalau terjadi kejang. Juga disediakan alat penghisap lender. Perawat tak boleh meninggalkan pasien sekejap matapun. Makan dan minum per os tidak boleh diberikan. Setelah pasien agak tenang dilakukan pemeriksaan umum dan obstetric dan pasang dauer catheter. (2)
Tujuan pengobatan eklampsi
Tujuan pengobatan eklampsi ialah :
1.      Sedasi untuk mencegah kejang selanjutnya. Kejang sangat merugikan karena waktu kejang terjadi hypoxia acidose respiratoris maupun metabolis dan tensi biasanya naik. (2)
2.      Menurunkan tensi, denagn menghasilkan vasospasmus. Hypertensi adalah suatu usaha dari badan untuk mengatasi vasospasmus gingga darah tetap cukup mengalir kepada organ-organ penting. (2)
Karena itu penurunan tensi harus berangsur-angsur dan tidak boleh terlalu banyak :
a)      Tekanan darah tidak boleh lebih turun dari 20% dalam I jam (maksimal dari 200/120 menjadi 160/95 dalam 1 jam).
b)      Tekanan darah tidak boleh kurang dari 140/90.
3.      Menawarkan haemokonsentrasi dan memperbaiki diurese dengan pemberian glucose 5%-10%. Karena air keluar dari pembuluh darah dan menimbulkan oedema maka terjadi hypovolaemi. Hypovolaemi ini menyebabkan oliguri sampai anuri malahan dapat menimbulkan shock. Pemberian cairan harus hati-hati karena dapat menimbulkan hyperhydrasi dan oedema paru-paru. Karena itu mictie dan tekanan vena central menjadi pegangan(2) :
a)      Urine tidak boleh kurang dari 300 cc/jam. (oliguri = urine < 16 cc/jam ; anuri = urine < 4 cc/jam).
b)      Tekanan vena central tidak melebihi 6-8 cm air.
4.      Mengusahakan supaya O2 cukup dengan mempertahankan kebebasan jalan nafas. (2)
Bermacam-macam obat atau kombinasi obat-obat dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut di atas.

2 komentar: