Pengertian
Eklamsi adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat
hamil tua, persalinan atau masa nifas ditandai dengan timbulnya kejang atau
koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre eklamsi
(hipertensi, edems, proteinuri) (Wirjoatmodjo, 1994: 49). Eklamsi merupakan
kasus akut, pada penderita dengan gambaran klinik pre eklamsi yang disertai
dengan kejang dan koma yang timbul pada ante, intra dan post partum (Angsar MD,
1995: 41) .(3)
Istilah eklampsia berasal dari bahasa
Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut dipakai karena
seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului
oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya
timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda preeklampsia. Pada
wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejangan yang diikuti oleh
koma. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia graavidarum,
eklampsia parturientum, dan eklampsia puerperale. Perlu dikemukakan bahwa pada
eklampsia gravidarum sering kali persalinan mulai tidak lama kemudian.(1)
Eklamsi
lebih sering terjadi pada primigravida dari pada multi para.(2)
Menurut saat
terjadinya eklamsi kita mengenal istilah :
1)
Eklamsi antepartum : ialah eklamsi
yang terjadi sebelum persalinan ( ini yang paling sering terjadi) (2)
2)
Eklamsi intra partum : ialah eklamsi
sewaktu persalinan(2)
3)
Eklamsi postpartum : eklamsi setelah
persalinan(2)
Kebanyakan terjadi ante partum, jika terjadi
postppartum maka timbul dalam 24 jam setelah partus. Dalam kehamilan eklamsi
terjadi dalam triwulan terakhir dan makin besar kemungkinan mendekati saat
cukup bulan.
Eklamsi
lebih sering terjadi pada :
i.
hidra amnion. (2)
ii.
Kehamilan kembar. (2)
iii.
Mola hidatidosa ( pada mola
hidatidosa eklamsi dapat terjadi sebelum bulan ke-6. (2)
2.2 Gejala
Eklamsi selalu didahului oleh gejala-gejala
preeklamsi. Gejala-gejala preeklamsi yang berat seperti(2) :
Sakit kepala yang keras
Penglihatan kabur
Nyeri diulu hati
Kegelisahan dan hyperfleksi sering
mendahului kejang
Serangan
dibagi dalam 3 tingkatan :
i.Tingkat invasi (tingkat permulaan)
Mata terpaku, kepala dipalingkan ke satu fihak,
kejang-kejang halus terlihat pada muka. Berlangsung beberapa detik. (2)
ii.Tingkat kontraksi (tingkat kejang
kronis )
Seluruh badan menjadi kaku, kadang-kadang terjadi
episthotonus, lamanya 15 sampai 20 detik. (2)
iii.Tingkat konvulsi
Terjadi kejang yang timbul hilang, radang membuka dan
menutup begitu juga mata; otot-otot muka dan otot badan berkontraksi dan
berelaksasi berulang. Kejang ini bisa menjadi sangat kuat dan bisa menyebabkan
pasien terlempar dari tempat tidurnya atau lidahnya tergigit. Ludah yang
berbuih bercapur darah keluar dari mulutnya, mata merah, muka biru. Berlangsung
sekitar 1 menit. (2)
iv.Tingkat coma
Setelah kejang kronis pasien akan coma. Lamanya
beberapa menit sampai berjam-jam. Dan jika pasien telah sadar kembali maka ia
tidak ingat sama sekali apa yang terjadi(amnesi retrograd). Setelah beberapa
waktu, terjadi serangan baru dan kejadian yang dilukiskan di atas berulang lagi
kadang-kadang 10-20 kali. (2)
Sebab kematian eklamsi ialah : oedema paru-paru,
apoplexi dan acidosis. Atau pasien mati setelah beberapa hari karena pneumoni
aspirasi, kerusakan hati atau gangguan faal ginjal. Kadang-kadang terjadi
eklamsi tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah coma. Eklamsi semacam ini
disebut “ eclampsi sine eclampsi” dan terjadi kerusakan hati yang berat. (2)
Karena kejang merupakan gejala yang khas dari eklamsi
maka “eclampsi sine eclampsi” sering dimasukkan preeklamsi yang berat. Pada eklamsi
tensi biasanya tinggi sekitar 180/110. Nadi kuat dan berisi tapi jika keadaan
sudah buruk menjadi kecil dan cepat. Demam yang tinggi memperburuk prognosa.
Demam ini rupa-rupanya cerebral. Pernafasan biasanya cepat dan tersembunyi,
pada eklamsi yang berat ada cyanosis. Protein uri hampir selalu ada malahan
kadang-kadang sangat banyak, juga oedema biasanya ada. (2)
Pada eklamsi antepartum biasanya persalinan mulai
setelah beberapa waktu. Tapi kadang-kadang pasien berangsur baik tidak kejang
lagi dan sadar sedangkan kehamilan terus berlangsung. Eklamsi yang tidak segera
disusul dengan persalinan disebut eklamsi intercurrent. Dianggap bahwa pasien
yang sedemikian bukan sembuh tapi jatuh ke yang lebih ringan ialah dari eklamsi
ke dalam keadaan preeklamsi. Jadi kemungkinan eklamsi tetap mengancam pasien
semacam ini sebelum persalinan terjadi. (2)
Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik,
kira-kira dalam 12-24 jam. Juga kalau anak mati di dalam kandungan sering kita
lihat bahwa beratnya penyakit berkurang. Proteinuria hilang dalam 4-5 hari
sedangkan tensi normal kembali dalam 2 minggu. Adakalanya pasien yang telah
menderita eklamsi psychotis, biasanya pada hari ke 2 atau ke 3 postpartum dan
berlangsung 2-3 minggu. Prognosa umumnya baik. Penyulit lainnya ialah hemiplegi
dan gangguan penglihatan (buta) karena oedema retina. (2)
1.3 Patofisiologi
Pada wanita yang mati karena eklamsi terdapat kelainan
pada hati, ginjal, otak, paru-paru dan jantung. Pada umumnya dapat ditemukan
necrose, haemorrhagia, oedema, hypercaemia atau ischaemia, dan thrombosis. Pada
plesenta terdapat infark-infark karena degenerasi syncytium. Perubahan lain
yang yang terdapat ialah retensi air dan natrium, haemo konsentrasi dan
kadang-kadang acidosis.(2)
1.4 Etiologi
Sebab eklamsi belum diketahui benar. Salah satu teori
yang dikemukakan ialah bahwa eklamsi disebabkan ischaemia rahim dan plasenta
(ischaemia uteroplasenta). Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih
banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir
kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes,
peredaran darah dalam dinding uterus kurang, maka keluarlah zat-zat dari
plasenta atau decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hypertensi.(2)
2.5 Diagnosa
Eklamsia adalah terjadinya kejang pada
seorang wanita dengan preeklamsi yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain.
Kejang bersifat grand mal dan mungkin timbul sebelum, selama, atau setelah
persalinan. Namun kejang yang timbul lebih dari 48 jam postpartum, terutama
pada nulipara, dapat dijumpai sampai 10 hari postpartum (Brown dkk.,
1987;Lubarsky dkk ., 1994).(4)
Eklamsia secara umum dapat dicegah dan
penyakit ini sudah jarang dijumpai di Amerika Serikat karena sebagian besar
wanita sekarang sudah mendapat asuhan prenatal yang memadai. Penyulit utamanya
adalah solusio plasenta, deficit neurologis, pneumonia aspirasi, edema paru,
henti kardiopulmonal / cardiopulmonary
arrest, gagal ginjal akut, dan kematian ibu. (4)
2.6 Penatalaksanaan
Preeklamsi yang dipersulit oleh kejang
tonik-klonik generalisata disebut eklamsi. Koma fatal tanpa kejang juga pernah
disebut eklamsi, namun, sebaiknya diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang
dan menggolongkan kematian pada kasus nonkejang sebagai kasus yang disebabkan
oleh preeklamsia berat. Apabila telah timbul eklamsi, resiko baik bagi ibu
maupun janinnya meningkat. (4)
Hampir tanpa kecuali, kejang eklamsia
didahului oleh preeklamsi. Eklamsi disebut antepartum, intrapartum, dan
postpartum bergantung pada apakah kejang sebelum, selama, atau sesudah
persalinan. Eklamsia paling sering terjadi pada trimester terakhir dan menjadi
semakin sering mendekati aterm. Pada 254 wanita penderita eklamsia yang dirawat
di the University of Mississippi Medical
Center, sekitar 3% mengalami kejang pertama kali 48 jam setelah melahirkan
(Miles dkk., 1990). Pada wanita dengan awitan kejang yang lebih dari 48 jam
postpartum, perlu dipertimbangkan diagnosis lain. (4)
Serangan kejang biasanya dimulai di
sekitar mulut dalam bentuk kedutan-kedutan (twitching)
wajah. Setelah beberapa detik, seluruh tubuh menjadi kaku dalam suatu
kontraksi otot generalisata. Fase ini dapat menetap selama 15 sampai 20 detik.
Mendadak rahang mulai membuka dan menutup secara kuat, dan segera diikuti oleh
kelopak mata. Otot-otot wajah yang lain dan kemudian semua otot melakukan
kontraksi dan relaksasi bergantian secara cepat. Gerakan otot sedemikian
kuatnya sehingga wanita yang bersangkutan dapat terlempar dari tempat tidur dan
apabila tidak dilindungi, lidahnya tergigit oleh gerakan rahang yang hebat.
Fase ini, saat terjadi kontraksi dan relaksasi otot-otot secara bergantian,
dapat berlangsung sekitar 1 menit.(4)
Secara bertahap, gerakan otot menjadi lebih
lemahdan jarang, dan akhirnya wanita yang bersangkutan tidak bergerak.
Sepanjang serangan, diafragma terfiksasi dan pernafasan tertahan. Selama
beberapa detik wanita yang bersangkutan seolah-olah sekarat akibat henti napas,
tetapi kemudian ia menarik napas dalam, panjang, dan berbunyi lalu kembali
bernapas. Ia kemudian mengalami koma. Ia tidak akan mengingat serangan kejang
tersebut atau, pada umumnya, kejadian sesaat sebelum dan sesudahnya. Seiring
dengan waktu, ingatan ini akan pulih. (4)
Kejang pertama biasanya menjadi
pendahulu kejang-kejang berikutnya yang jumlahnya dapat bervariasi dari satu
atau dua pada kasus ringan sampai bahkan 100 atau lebih pada kasus berat yang
tidak diobati. Pada kasus yang jarng, kejang terjadi berurutan sedemikian
cepatnya sehingga wanita yang bersangkutan tampak mengalami kejang yang
berkepanjangan dan hamper kontinu. (4)
Durasi koma setelah kejang bervariasi.
Apabila kejangnya jarang, wanita yang bersangkutan biasanya pulih sebagian
kesadarannya setelah setiap serangan. Sewaktu sadar, dapat timbul keadaan
setengah sadar dengan usaha perlawanan. Pada kasus yang sangat berat, koma
menetap dari satu kejang ke kejang lainnya dan pasien dapat meninggal sebelum
ia sadar. Meski jarang, satu kali kejang dapat diikiutioleh koma yang
berkepanjangan walaupun, umumnya, kematian tidak terjadi sampai setelah kejang
berulang-ulang. (4)
Laju pernapasan setelah kejang eklamsia
biasanya meningkat dan dapat mencapai 50 kali per menit, mungkin sebagian
respons terhadap hiperkarbia akibat asidemia laktat serta akibat hipoksia
dengan derajat bervariasi. Sianosis dapat dijumpai pada kasus yang parah. Demam
39ÂșC atau lebih adalah tanda yang buruk karena merupakan akibat perdarahan
susunan saraf pusat. (4)
Proteinuria hampir selalu ada dan sering
parah. Pengeluaran urine kemungkinan besar berkurang secara bermakna dan
kadang-kadang terjadi anuria. Hemoglobinuria sering dijumpai, tetapi
hemoglobinemia jarang. (4)
Pada eklamsia antepartum, tanda-tanda
persalinan dapat dimulai segera setelah kejang dan berkembang cepat,
kadang-kadang sebelum petugas yang menolong menyadari bahwa wanita yang tidak
sadar atau stupor ini mengalami his. Apabila kejang terjadi saat persalinan,
frekuensi dan intensitas his dapat meningkat, dan durasi persalinan dapat
memendek. Karena ibu mengalami hipoksemia dan asidemia laktat akibat kejang,
tidak jarang janin mengalami bradikardiasetelah serangan kejang. Keadaan ini
biasanya pulih dalam 3 sampai 5 menit, apabila menetap lebih dari 10 menit,
kausa lain perlu dipertimbangkan, misalnya solusio plasenta atau bayi akan
segera lahir. (4)
Edema paru dapat terjadi setelah kejang
eklamsia. Paling tidak terdapat 2 mekanisme penyebab :
1. Pneumonitis
aspirasi dapat terjadi setelah inhalasi isi lambung apabila kejang disertai
oleh muntah. (4)
2. Gagal
jantung, yang dapat disebabkan oleh kombinasi hipertensi berat dan pemberian
cairan intravena yang berlebihan. (4)
Pada sebagian wanita dengan eklamsia,
kematian mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat
perdarahan otak massif. Perdarahan subletal dapat menyebabkan hemiplegia.
Perdarahan otak lebih besar kemungkinannya pada wanita yang lebih tua dengan
hipertensi kronik. Walaupun jarang, perdarahan tersebut mungkin disebabkan oleh
rupture aneurisma beri (berry aneurysm)
atau malformasi anteriovena (Witlin dkk., 1997). (4)
Pada sekitar 10 persen wanita, sedikit banyak
terjadi kebutaan setelah serangan kejang. Kebutaan juga dapat timbul spontan
pada preeklamsia. Paling tidak terdapat 2 kausa :
1. Ablasio
retina dengan derajat bervariasi. (4)
2. Iskemia,
infark atau edema lobus oksipitalis. (4)
Baik akibat patologi otak atau retina,
prognosis untuk pulihnya penglihatan baik dan biasanya tuntas dalam seminggu
(Cunningham dkk.,1995). Sekitar 5% wanita akan mengalami gangguan kesadaran
yang cukup bermakna, termasuk koma menetap, setelah kejang. Hal ini disebabkan
oleh edema otak yang luas, sedangkan herniasi unkus transtentorium dapat
menyebabkan kematian (Cunningham dan Twickler, 2000). (4)
Walaupun jarang, eklamsia dapat diikuti
oleh psikosis, dan wanita yang bersangkutan dapat mengamuk. Keadaan ini
biasanya berlangsung selama beberapa hari sampai 2 minggu, tetapi prognosis
untuk pulih baik asalkan sebelumnya tidak ada penyakit mental. (4)
2.7 Diagnosis Banding
Umumnya eklamsia lebih besar
kemungkinannya terlalu sering di diagnosis (overdiagnosis)
daripada kurang terdiagnosis (underdiagnosis)
karena epilepsy, ensefalitis, meningitis, tumor serebri, sistiserkosis dan
rupture aneurisma serebri pada kehamilan tahap lanjut dan masa nifas dapat
menyerupai eklamsia. Namun, sampai kausa-kausa lain ini disingkirkan, semua
wanita hamil dengan kejang dianggap menderita eklamsia. (4)
Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan dari (1)
epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau pada
hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejangan karena obat anestesia;
apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejangan;
(3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis,
ensefalitis, dan lain-lain.(1)
2.8 Prognosis
Prognosis untuk eklamsia selalu serius,
penyakit ini adalah salah satu penyakit paling berbahaya yang dapat mengenai
wanita hamil dan janinnya. Untungnya, angka kematian ibu akibat eklamsia telah
menurun selama 3 dekade terakhir dari 5 sampai 10% menjadi kurang dari 3% kasus
(Eclampsia Trial Collaborative Group,
1995; Mattar dan Sibai, 2000; Pritchard dkk., 1984). Pengalaman-pengalaman
jelas menggarisbawahi bahwa eklamsia serta preeklamsia berat harus dianggap
sebagai ancaman yang nyata terhadap nyawa ibu. (4)
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada
kehamilan yang meminta korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai
pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5% sedangkan
kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%. Sebaliknya, kematian ibu
dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan anak di
negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan
antenatal dan nata; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat
pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak,
dekompensasio kordis dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan masuknya isi
lambung ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan. (4)
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin
dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia
dan eklampsia tidak menyebabkan hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis
tersebut ditemukan bahwa pada penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan
pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian atau lebih tinggi daripada
mereka yang hamil tanpa eklampsia.(1)
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin.
Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia
dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada preeklampsia
berat dan eklampsia.(1)
1.
Solutio Plasenta .Komplikasi ini
biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering
terjadi pada per-eklampsia.
2.
Hipofibrinogenemia. Pada
preeklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23% bipofibrinogenemia, maka dari
itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3.
Hemolisis. Penderita
dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis
yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan
kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati
yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkanikterus
tersebut.
4.
Perdarahan otak. Komplikasi
ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia.
5.
Kelainan mata. Kehilangan
penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini merupakan tanda gawat
akan terjadinya apopleksia serebri.
6.
Edema paru-paru. Zuspan (1978)
menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus eklampsia, hal ini disebabkan
karena payah jantung.
7.
Nekrosis hati. Nekrosis
periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan akibat vasopasmus
arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata juga
ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8.
Sindroma HELLP. Yaitu baemolysis,
elevated liver enzymes, dan low platelet.
9.
Kelainan ginjal. Kelainan
ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial
tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul
ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi
lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh
akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular
coogulation).
11. Prematuritas,
dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.1
2.10 Terapi
Profilaks
Ialah dengan pencegahan, diagnose
dini dan terapi yang cepat dan intensif dari preeklampsi. Maka pengaturan diit
dan berat badan selanjutnya, pengukuran tensi, pemeriksaan urine dan tambah
berat badan merupakan pekerjaan yang sangat penting disusulkan dengan
pengobatan dan kalau perlu pengakhiran kehamilan. Semua tindakan tersebut di
atas bermaksud untuk mencegah timbulnya eklampsi. (2)
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau
frekuensinya dikurangi. (2)
Usaha-usaha
untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :
1.
Meningkatkan
jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil
memeriksakan diri sejak hamil muda.
2.
Mencari pada
tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segara apabila
ditemukan.
3.
Mengakhiri
kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila setelah
dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat dihilangkan.(1)
Pada tahun 1995, Pritchard memulai suatu
regimen terapi terstandarisasi di Parkland
Hospital, dan regimen ini digunakan hingga tahun 1999 untuk menangani lebih
dari 400 wanita dengan eklamsia. Hasil pengobatan 245 kasus eklamsia yang
dianalisis dengan cermat ini dilaporkan oleh Pritchard dkk (1984). Sebagian
besar regimen eklamsia yang digunakan di Amerika Serikat menerapkan filosofi
yang sama, prinsip-prinsipnya mencakup (4) :
- Pengendalian
kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium
sulfat ini dilanjutkan dengan infuse kontinu atau dosis bolus
intramuscular dan diikuti oleh suntikan intramuscular berkala.
- Pemberian
obat antihipertensi oral atau intravena intermiten untuk menurunkan
tekanan darah apabila tekanan diastolic dianggap terlalu tinggi dan
berbahaya. Sebagian dokter mengobati pada saat tekanan diastolic mencapai
100 mmHg, sebagian lagi pada 110 mmHg.
- Menghindari
diuretic dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila
pengeluaran cairan berlebihan. Zat-zat hiperosmotik dihindari.
- Pelahiran.
- Magnesium Sulfat
untuk Mengendalikan Kejang
Pada kasus eklamsia, magnesium
sulfat yang diberikan secara parenteral adalah obat antikejang yang efektif
tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun janinnya.
Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infuse kontinu atau
intramuscular dengan injeksi intermiten. Jadwal dosis untuk eklamsia sama
seperti untuk preeklamsia. Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat
kemungkinan besar terjadi kejang, wanita dengan preeklamsia-eklamsia biasanya
diberi magnesium sulfat selama persalinan dan selama 24jam postpartum. Magnesium sulfat tidak diberikan untuk
mengobati hipertensi. (4)
Berdasarkan sejumlah studi yang
dikutip berikut ini, serta pengamatan klinis yang luas, magnesium sulfat
kemungkinan besar memiliki efek antikejang spesifik pada korteks serebri.
Biasanya, ibu berhenti kejang setelah pemberian awal magnesium sulfat, dan
dalam satu sampai dua jam akan sadar dan pulih orientasinya tentang tempat dan
waktu. (4)
Apabila magnesium sulfat diberikan
untuk menghentikan dan mencegah rekurensi kejang eklamsia, sekitar 10 sampai
15% wanita akan kembali mengalami kejang. Tambahan magnesium sulfat sebanyak 2g
dalam larutan 20% diberikan secara perlahan-lahan intravena. Pada wanita
bertubuh kecil, dosis tambahan 2g dapat digunakan satu kali, sedangkan yang
bertubuh besar dua kali bila diperlukan. Natrium amobarbital diberikan secara
intravena perlahan-lahan dengan dosis sampai 250mg untuk wanita yang mengalami
agitasi berlebihan pascakejang. Thiopental juga dapat digunakan. Terapi rumatan
magnesium sulfat untuk eklamsia dilanjutkan selama 24 jam pascapelahiran. Untuk
eklamsia yang timbul postpartum, magnesium sulfat diberikan selama 24 jam
setelah wanita kejang. (4)
Karena eklampsi disebabkan oleh
kehamilan maka teoritis pengobatan yang terbaik dari eklampsi ialah secepat
mungkin mengakhiri kehamilan misalnya dengan Sectio. Tapi dalam praktek
terbukti bahwa hasilnya kurang memuaskan, terutama karena dilakukan operasi
pada pasien yang kesadarannya sudah buruk. Dengan sikap yang konserpatip
hasil-hasil jauh lebih memuaskan, dan pada umumnya sekarang eklampsi dirawat
secara konserpatip. (4)
Sebagai pertolongan pertama dapat
diberikan dengan segera suntikan 20 mg morphin misalnya sebelum mengangkut
pasien ke Rumah Sakit atau sambil menunggu persiapan-persiapan yang diperlukan.
Pasien ditempatkan dalam kamar tenang dan setengah gelap tapi yang masih cukup
terang untuk memungkinkan observasi. Persiapan yang cukup dilakukan untuk
menghindari pasien melukai diri sendiri atau jatuh dari tempat tidur, gigi
palsu harus ditanggalkan dan dicari benda misalnya karet atau kain yang digulung
untuk dimasukkan antara tulang rahang kalau terjadi kejang. Juga disediakan
alat penghisap lender. Perawat tak boleh meninggalkan pasien sekejap matapun.
Makan dan minum per os tidak boleh diberikan. Setelah pasien agak tenang
dilakukan pemeriksaan umum dan obstetric dan pasang dauer catheter. (2)
Tujuan
pengobatan eklampsi
Tujuan
pengobatan eklampsi ialah :
1. Sedasi
untuk mencegah kejang selanjutnya. Kejang sangat merugikan karena waktu kejang
terjadi hypoxia acidose respiratoris maupun metabolis dan tensi biasanya naik.
(2)
2. Menurunkan
tensi, denagn menghasilkan vasospasmus. Hypertensi adalah suatu usaha dari
badan untuk mengatasi vasospasmus gingga darah tetap cukup mengalir kepada
organ-organ penting. (2)
Karena itu penurunan
tensi harus berangsur-angsur dan tidak boleh terlalu banyak :
a) Tekanan
darah tidak boleh lebih turun dari 20% dalam I jam (maksimal dari 200/120
menjadi 160/95 dalam 1 jam).
b) Tekanan
darah tidak boleh kurang dari 140/90.
3. Menawarkan
haemokonsentrasi dan memperbaiki diurese dengan pemberian glucose 5%-10%.
Karena air keluar dari pembuluh darah dan menimbulkan oedema maka terjadi
hypovolaemi. Hypovolaemi ini menyebabkan oliguri sampai anuri malahan dapat
menimbulkan shock. Pemberian cairan harus hati-hati karena dapat menimbulkan
hyperhydrasi dan oedema paru-paru. Karena itu mictie dan tekanan vena central
menjadi pegangan(2)
:
a) Urine
tidak boleh kurang dari 300 cc/jam. (oliguri = urine < 16 cc/jam ; anuri =
urine < 4 cc/jam).
b) Tekanan
vena central tidak melebihi 6-8 cm air.
4. Mengusahakan
supaya O2 cukup dengan mempertahankan kebebasan jalan nafas. (2)
Bermacam-macam
obat atau kombinasi obat-obat dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut di
atas.
thankyou sudah membantu saya,,,
BalasHapusMakasih postnya
BalasHapus