Laman

Cari Materi

Senin, 10 Juni 2013

Amenorea karena laktasi

2.1.            Amenorea karena laktasi
A.    Pengertian laktasi
Laktasi atau menyusui mempunyai dua pengertian, yaitu produksi ASI (prolaktin) dan pengeluaran ASI (oksitosin).

B.     Etiologi Laktasi
Selama kehamilan hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI belum keluar karena pengaruh hormon estrogen yang masih tinggi. Kadar estrogen dan progesteron akan menurun pada saat hari kedua atau ketiga pasca persalinan, sehingga terjadi sekresi ASI. Pada proses laktasi terdapat dua reflek yang berperan, yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran yang timbul akibat perangsangan puting susu dikarenakan isapan bayi.
1.        Refleks prolatin
Akhir kehamilan hormon prolaktin memegang peranan untuk membuat kolostrum, tetapi jumlah kolostrum terbatas dikarenakan aktivitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang masih tinggi. Pasca persalinan, yaitu saat lepasnya plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum maka estrogen dan progesteron juga berkurang. Hisapan bayi akan merangsang puting susu dan kalang payudara, karena ujung-ujung saraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik.
Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis hipotalamus dan akan menekan pengeluaran faktor penghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran faktor pemacu sekresi prolaktin.
Faktor pemacu sekresi prolaktin akan merangsang hipofise anterior sehingga keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu.
Kadar prolaktin pada ibu menyusui akan menjadi normal 3 bulan setelah melahirkan sampai penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada peningkatan prolaktin walau ada isapan bayi, namun pengeluaran air susu tetap berlangsung.
Pada ibu nifas yang tidak menyusui, kadar prolaktin akan menjadi normal pada minggu ke 2 – 3. Sedangkan pada ibu menyusui prolaktin akan meningkat dalam keadaan seperti: stress atau pengaruh psikis, anastesi, operasi dan rangsangan puting susu.

2.        Refleks aliran
Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh hipofise anterior, rangsangan yang berasal dari isapan bayi dilanjutkan ke hipofise posterior (neurohipofise) yang kemudian dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini menuju uterus sehingga menimbulkan kontraksi. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat, keluar dari alveoli dan masuk ke sistem duktus dan selanjutnya mengalir melalui duktus lactiferus masuk ke mulut bayi.

C.    Patofisiologi amenore karena laktasi
Pada wanita postpartum yang tidak memberikan ASInya, Luteinizing Hormon (LH) dan Follicle Stimulating Hormon (FSH) akan menurun sensitivitasnya terhadap Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) setidaknya 3 sampai 4 minggu setelah persalinan dibandingkan wanita dengan siklus ovarium yang  normal. Sementara pada wanita yang memberikan ASInya ovulasi tidak terjadi akibat pengaruh hormon Prolaktin; pada wanita tersebut meskipun kadar Prolaktin telah kembali normal seringkali amenorea tetap terjadi, diduga hal ini disebabkan olah berkurangnya produksi GnRH oleh hipotalamus.
Penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya ovulasi menurun hingga 1-5% pada pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama postpartum, dan apabila pemberian ASI dilanjutkan hingga bayinya berusia 2 tahun maka efek kontrasepsi yang didapatnya hampir setara dengan penggunaan sistem kalender ataupun sanggama terputus. Tetapi mengandalkan proses laktasi saja sebagai metode kontrasepsi tentunya tidak tepat karena pada 6% wanita yang menyusui bayinya dan tidak menggunakan kontrasepsi dapat terjadi kehamilan.

1.        ASI Eksklusif
World Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa semua bayi harus mendapat Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif sejak lahir, sesegera mungkin (setengah hingga 1 jam sejak lahir) sampai setidaknya usia 4 bulan dan bila mungkin hingga usia 6 bulan. Yang dimaksudkan dengan ASI eksklusif adalah pemberian ASI melulu tanpa disertai makanan atau minuman tambahan yang lain. ASI harus diberikan sebanyak dan sesering yang diinginkan oleh bayi, siang maupun malam, setidaknya 8 kali.
Howie pada tahun 1981 menemukan bahwa ovulasi tidak akan terjadi apabila laktasi yang ketat dipertahankan. Terdapat berbagai penelitian dan konsensus internasional tentang hubungan antara laktasi dan penurunan ovulasi tersebut. Di tahun 1988 di Bellagio, Italia, para ahli dari seluruh dunia mempelajari bukti-bukti ilmiah yang berkaitan dengan efek laktasi terhadap infertilitas. Mereka menyimpulkan bahwa para wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi tetapi memberi ASI eksklusif atau hampir eksklusif dan mengalami amenorea, maka kemungkinan terjadinya kehamilan kurang dari 2% dalam 6 bulan pertama postpartum (Concensus Statement 1988, Kennedy et al 1989). Berlanjut dari konsensus tersebut, dilakukan berbagai penelitian untuk membuktikannya. Di tahun 1988 di Chili dilakukan penelitian terhadap 422 wanita postpartum; pada 221 wanita (56%) yang mengandalkan LAM (Lactational Amenorrhoea Method) sebagai satu-satunya metode kontrasepsi selama 6 bulan rasio kumulatif terjadinya kehamilan adalah 0,45%; 1 kehamilan terjadi pada bulan ke 6 dan 3 kehamilan lainnya terjadi pada wanita yang telah berhenti menggunakan metode LAM (Perez et al 1992). Penelitian-penelitian lainnya di Mesir (Hefnawi et al 1977), Bangladesh (Weis 1993), Ecuador (Wade et al, 1994), Rwanda (Cooney et al 1996) mendukung efektivitas LAM tetapi tidakmengukurnya.
Penelitian yang paling cermat tentang LAM sebagai metode kontrasepsi telah dilakukan dalam tiga uji klinik. Yang pertama yang dilakukan oleh Perez seperti yang telah disebutkan di atas, yang kedua yang dilakukan oleh Kazi dkk, 1995, di Pakistan dan yang ketiga dilakukan oleh Ramos di Philipina 1996. Mereka melaporkan bahwa rasio kehamilan tiap 100 wanita dalam jangka waktu 6 bulan penggunaan metode tersebut secara tepat adalah 0,58 di Pakistan dan 0,97 di Philipina. Penelitian ini memberi bukti yang meyakinkan bahwa LAM adalah sungguh metode kontrasepsi yang efektif,asalkan ketiga kriteria tersebut di bawah ini terpenuhi :
a.         Ibu memberikan ASI eksklusif atau hampir eksklusif pada bayinya. Pemberian harus mengikuti kemauan bayi (ondemand) baik siang mapun malam, dengan jarak tidak lebih dari 6 jam antara pemberian ASI berikutnya.
Pemberian ASI yang tidak eksklusif ditandai dengan peningkatan terjadinya ovulasi sebelum timbulnya menstruasi dan berkurangnya lama amenorea.
b.         Apabila setelah lebih dari 8 minggu postpartum timbul menstruasi, maka kemungkinan ibu dapat mengalami kehamilan akan meningkat. Untuk mendapatkan perlindungan kontraseptif maka dianjurkan untuk menggunakan metode keluarga berencana alternatif lainnya (sambil meneruskan pemberian ASI untuk keperluan bayinya). Tetapi tidak selalu bahwa perdarahan pervaginam dalam waktu 8 minggu postpartum pada wanita yang memberikan ASI eksklusif berarti kembalinya kesuburan (Visness dkk 1997)
c.         Apabila bayi telah berusia 6 bulan lebih, kemungkinan terjadinya kehamilan maningkat, bahkan bila ibu tetap memberi ASI. Oleh karena itu ibu dianjurkan untuk memakai metode lain yang lebih efektif.
Penelitian juga dilakukan terhadap wanita Australia yang menyusui dalam jangka waktu lama, aktivitas ovarium ditentukan dengan mengukur progesteron dalam saliva, dan ekskresi estrogen dan pregnandiol (Lewis et al 1991, Short et al 1991). Mereka menyimpulkan bahwa LAM memberi perlindungan kontraseptif yang aman dalam jangka waktu 6 bulan postpartum, bahkan pada wanita dengan gizi baik di negara ber-kembang. Diaz dkk (1992) di Chili meneliti peran anovulasi dan defek fase luteal terhadap infertilitas akibat laktasi. Di-simpulkan bahwa, meskipun terjadi ovulasi, kondisi endokrin yang abnormal pada fase luteal pertama memberikan per-lindungan yang efektif pada wanita selama amenorea laktasi dalam jangka waktu 6 bulan postpartum. Setelah fase luteal membaik maka wanita itu mempunyai risiko hamil.

2.        Antagonisme laktasi terhadap ovulasi
Selama masa laktasi, kadar prolaktin akan tetap tinggisebagai respon terhadap rangsang isapan bayi yang berlangsung terus menerus. Kadar prolaktin yang tinggi tersebut akan berefek pada otak dan ovarium. Di otak, prolaktin yang sampai di hipothalamus akan menimbulkan hambatan sekresi GnRH. Sedangkan kadar estrogen, yang semula sangat tinggi selama persalinan karena sekresi dari plasenta, akan mengalami penurunan setelah terlepasnya plasenta; penurunan ini ternyata tidak mampu merangsang hipothalamus untuk memacu sekresi GnRH, halini mengisyaratkan adanya penurunan sensitivitas hipothalamus terhadap mekanisme umpan balik positif oleh estrogen selama laktasi (sebaliknya justru meningkatkan umpan balik negatif); sementara di hipofisis anterior akan terjadi penurunan sensi-tivitas terhadap rangsang oleh hipothalamus. Akibatnya, kadar FSH dan LH akan rendah, seperti pada awal masa folikuler dari siklus menstruasi.
Pada seorang wanita yang memberikan ASI eksklusif, selama 6-8 minggu masa laktasi akan terjadi penurunan respon LH terhadap GnRH, sementara respon FSH tetap normal, meskipun demikian pada ovarium tidak terjadi fase folikuler dan tidak terjadi sintesis estrogen. Sintesis estrogen akan dimulai secara bertahap sejak bulan ke 4 postpartum pada wanita yang memberikan ASInya, tetapi keadaan ini bervariasi antara ibu menyusui yang satu dengan yang lainnya. Pemberian GnRH atau hormon gonadotropin eksogen dalam jumlah besar ternyata mampu merangsang perkembangan folikel ovarium dan pembentukan hormon estrogen. Hal ini meng-isyaratkan bahwa pada ovarium terjadi penurunan sensitivitas terhadap hormon gonadotropin, mungkin karena reseptor gonadotropin pada ovarium ditempati oleh prolaktin, atau karena hambatan fungsi sel-sel theka oleh prolaktin. Hal ini menerangkan efek kadar prolaktin yang tinggi terhadap ovarium..
Jadi dapat disimpulkan bahwa prolaktin merupakan penyebab utama anovulasi pada laktasi atau amenorea pada laktasi, atas dasar efek penghambatan di tingkat otak maupun ovarium sebagai berikut:
a.         Penurunan sensitivitas hipothalamus terhadap umpan balik positif dari estrogen.
b.        Hambatan sekresi GnRH oleh hipothalamus.
c.         Penurunan sekresi gonadotropin.
d.        Penurunan sensitivitas ovarium terhadap gonadotropin
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas terdapat alternatif penghambatan ovulasi yang lain oleh prolaktin yaituhambatan sintesis progesteron oleh sel-sel granulosa dan perubahan rasio testosteron: dihidrotestosteron oleh prolaktinsehingga berakibat penurunan zat-zat teraromatisasi yang berarti peningkatan kadar zat antiestrogen local.
Kadar prolaktin yang tinggi menyebabkan umpan balik positif jalur pendek terhadap sekresi dopamin oleh hipothalamus. Kadar dopamin yang tinggi akan menurunkan sekresi GnRH. Antara efek di otak dan di ovarium, tampaknya efek hambatan ovulasi oleh prolaktin selama laktasi paling dominan adalah penyebab di otak
Lactational Amenorrhea (LAM) memberi efek pencegahan yang baik terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan selama 6 bulan pertama postpartum, bahkan pada wanita dari negara-negara sedang berkembang dengan status gizi yang baik. Menurut Diaz (1992), meskipun terjadi ovulasi, status hormonal pada fase luteal yang pertama setelah ke-hamilan dan persalinan belum kembali normal sehingga tetap merupakan pencegahan yang efektif terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan.
 Sementara menurut Chatterton (Sciarra, 1997) LAM tidak memberikan perlindungan total terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan, sehingga pada wanita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi selain LAM dapat terjadi kehamilan meskipun tanpa didahului timbulnya menstruasi sejak persalinan (3-15%).
Probabilitas kumulatif terjadinya kehamilan digambarkan dalam bentuk grafik oleh Short dkk, dengan kemungkinan terjadinya kehamilan dalam 1 tahun sejak postpartum pada wanita yang memberi ASI tapi tidak menggunakan kontrasepsi lain adalah kecil pada 6 bulan pertama, tetapi kemungkinan itu akan meningkat dengan cepat dan menjadi sama dengan wanita yang tidak memberi ASI dan tidak menggunakan kontrasepsi pada waktu sekitar 18 bulan postpartum. Hal ini berbanding terbalik dengan persentase wanita dengan LAM, yang dengan bertambahnya bulan-bulan postpartum akan makin jarang jumlah wanita yang tetap berada dalam kondisi Lactational Amenorhhea (LAM).
Kemungkinan terjadinya kehamilan tetap kecil (7%) dalam tahun pertama postpartum apabila setelah timbul menstruasi yang pertama, wanita tersebut menggunakan metode kontrasepsi yang efektif

3.        Sindrom Chiari-frommel
Tejadi setelah kehamilan dan merupakan amenore laktasi yang berkepanjangan. Diduga keadaan ini disebabkan oleh inhibisi dari hormon PIF (Prolktin Inhibiting Faktor) dari hipofisis.

Sindrom amenorea galaktorea: ditemukan amenorea, dan pada mamma dapat dikeluarkan air susu. Dasarnya ialah gangguan endokrin berupa gangguan produksi releasing factor dengan akibat menurunnya kafar FSH dan LH dan gangguan produksi Prolacting Inhibiting Factor dengan akibat peningkatan pengeluaran prolaktin. Dapat ditemukan setelah kehamilan, disini masa laktasi menjadi jauh lebih panjang dari biasanya (sindrom Chiari Frommel). Dapat juga ditemukan pada tumor hipofisis yang memproduksi prolaktin (sindrom Forbes-Albright).

1 komentar:

  1. sangat bermanfaat, amat sangat bermanfaat lagi bila daftar pustaka dicantumkan pula.
    terima kasih banyak
    hadi

    BalasHapus