2.1.
Amenorea
karena laktasi
A.
Pengertian
laktasi
Laktasi atau menyusui mempunyai dua
pengertian, yaitu produksi ASI (prolaktin) dan pengeluaran ASI (oksitosin).
B.
Etiologi
Laktasi
Selama kehamilan hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI
belum keluar karena pengaruh hormon estrogen yang masih tinggi. Kadar estrogen
dan progesteron akan menurun pada saat hari kedua atau ketiga pasca persalinan,
sehingga terjadi sekresi ASI. Pada proses
laktasi
terdapat dua reflek yang berperan, yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran
yang timbul akibat perangsangan puting susu dikarenakan isapan bayi.
1.
Refleks prolatin
Akhir kehamilan hormon
prolaktin memegang peranan untuk membuat kolostrum, tetapi jumlah kolostrum
terbatas dikarenakan aktivitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron
yang masih tinggi. Pasca persalinan, yaitu saat lepasnya plasenta dan
berkurangnya fungsi korpus luteum maka estrogen dan progesteron juga berkurang.
Hisapan bayi akan merangsang puting susu dan kalang payudara, karena
ujung-ujung saraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik.
Rangsangan ini
dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis hipotalamus dan akan
menekan pengeluaran faktor penghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya
merangsang pengeluaran faktor pemacu sekresi prolaktin.
Faktor pemacu sekresi
prolaktin akan merangsang hipofise anterior sehingga keluar prolaktin. Hormon
ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu.
Kadar prolaktin pada
ibu menyusui akan menjadi normal 3 bulan setelah melahirkan sampai penyapihan
anak dan pada saat tersebut tidak akan ada peningkatan prolaktin walau ada
isapan bayi, namun pengeluaran air susu tetap berlangsung.
Pada ibu nifas yang
tidak menyusui, kadar prolaktin akan menjadi normal pada minggu ke 2 – 3.
Sedangkan pada ibu menyusui prolaktin akan meningkat dalam keadaan seperti:
stress atau pengaruh psikis, anastesi, operasi dan rangsangan puting susu.
2.
Refleks aliran
Bersamaan dengan
pembentukan prolaktin oleh hipofise anterior, rangsangan yang berasal dari
isapan bayi dilanjutkan ke hipofise posterior (neurohipofise) yang kemudian
dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini menuju uterus sehingga
menimbulkan kontraksi. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah
terbuat, keluar dari alveoli dan masuk ke sistem duktus dan selanjutnya
mengalir melalui duktus lactiferus masuk ke mulut bayi.
C.
Patofisiologi
amenore karena laktasi
Pada wanita postpartum
yang tidak memberikan ASInya, Luteinizing Hormon (LH) dan Follicle
Stimulating Hormon (FSH) akan menurun sensitivitasnya terhadap Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH) setidaknya 3 sampai 4 minggu setelah
persalinan dibandingkan wanita dengan siklus ovarium yang normal. Sementara pada wanita yang memberikan
ASInya ovulasi tidak terjadi akibat pengaruh hormon Prolaktin; pada wanita
tersebut meskipun kadar Prolaktin telah kembali normal seringkali amenorea
tetap terjadi, diduga hal ini disebabkan olah berkurangnya produksi GnRH oleh
hipotalamus.
Penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya ovulasi
menurun hingga 1-5% pada pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
postpartum, dan apabila pemberian ASI dilanjutkan hingga bayinya berusia 2
tahun maka efek kontrasepsi yang didapatnya hampir setara dengan penggunaan
sistem kalender ataupun sanggama terputus. Tetapi mengandalkan proses laktasi
saja sebagai metode kontrasepsi tentunya tidak tepat karena pada 6% wanita yang
menyusui bayinya dan tidak menggunakan kontrasepsi dapat terjadi kehamilan.
1.
ASI Eksklusif
World Health
Organization (WHO) merekomendasikan bahwa semua bayi harus mendapat Air Susu
Ibu (ASI) secara eksklusif sejak lahir, sesegera mungkin (setengah hingga 1 jam
sejak lahir) sampai setidaknya usia 4 bulan dan bila mungkin hingga usia 6
bulan. Yang dimaksudkan dengan ASI eksklusif adalah pemberian ASI melulu tanpa
disertai makanan atau minuman tambahan yang lain. ASI harus diberikan sebanyak
dan sesering yang diinginkan oleh bayi, siang maupun malam, setidaknya 8 kali.
Howie pada tahun 1981 menemukan bahwa ovulasi tidak akan terjadi
apabila laktasi yang ketat dipertahankan. Terdapat berbagai penelitian dan
konsensus internasional tentang hubungan antara laktasi dan penurunan ovulasi
tersebut. Di tahun 1988 di Bellagio, Italia, para ahli dari seluruh dunia
mempelajari bukti-bukti ilmiah yang berkaitan dengan efek laktasi terhadap
infertilitas. Mereka menyimpulkan bahwa para wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi tetapi memberi ASI eksklusif atau hampir eksklusif dan mengalami
amenorea, maka kemungkinan terjadinya kehamilan kurang dari 2% dalam 6 bulan
pertama postpartum (Concensus Statement 1988, Kennedy et al 1989). Berlanjut
dari konsensus tersebut, dilakukan berbagai penelitian untuk membuktikannya. Di
tahun 1988 di Chili dilakukan penelitian terhadap 422 wanita postpartum; pada
221 wanita (56%) yang mengandalkan LAM (Lactational Amenorrhoea Method) sebagai
satu-satunya metode kontrasepsi selama 6 bulan rasio kumulatif terjadinya
kehamilan adalah 0,45%; 1 kehamilan terjadi pada bulan ke 6 dan 3 kehamilan
lainnya terjadi pada wanita yang telah berhenti menggunakan metode LAM (Perez
et al 1992). Penelitian-penelitian lainnya di Mesir (Hefnawi et al 1977),
Bangladesh (Weis 1993), Ecuador (Wade et al, 1994), Rwanda (Cooney et al 1996)
mendukung efektivitas LAM tetapi tidakmengukurnya.
Penelitian yang paling cermat tentang LAM sebagai metode
kontrasepsi telah dilakukan dalam tiga uji klinik. Yang pertama yang dilakukan
oleh Perez seperti yang telah disebutkan di atas, yang kedua yang dilakukan
oleh Kazi dkk, 1995, di Pakistan dan yang ketiga dilakukan oleh Ramos di
Philipina 1996. Mereka melaporkan bahwa rasio kehamilan tiap 100 wanita dalam
jangka waktu 6 bulan penggunaan metode tersebut secara tepat adalah 0,58 di
Pakistan dan 0,97 di Philipina. Penelitian ini memberi bukti yang meyakinkan
bahwa LAM adalah sungguh metode kontrasepsi yang efektif,asalkan ketiga
kriteria tersebut di bawah ini terpenuhi :
a.
Ibu memberikan ASI eksklusif atau hampir
eksklusif pada bayinya. Pemberian harus mengikuti kemauan bayi (ondemand) baik
siang mapun malam, dengan jarak tidak lebih dari 6 jam antara pemberian ASI
berikutnya.
Pemberian ASI yang tidak eksklusif ditandai
dengan peningkatan terjadinya ovulasi sebelum timbulnya menstruasi dan
berkurangnya lama amenorea.
b.
Apabila setelah lebih dari 8 minggu postpartum
timbul menstruasi, maka kemungkinan ibu dapat mengalami kehamilan akan
meningkat. Untuk mendapatkan perlindungan kontraseptif maka dianjurkan untuk
menggunakan metode keluarga berencana alternatif lainnya (sambil meneruskan
pemberian ASI untuk keperluan bayinya). Tetapi tidak selalu bahwa perdarahan
pervaginam dalam waktu 8 minggu postpartum pada wanita yang memberikan ASI
eksklusif berarti kembalinya kesuburan (Visness dkk 1997)
c.
Apabila bayi telah berusia 6 bulan lebih,
kemungkinan terjadinya kehamilan maningkat, bahkan bila ibu tetap memberi ASI.
Oleh karena itu ibu dianjurkan untuk memakai metode lain yang lebih efektif.
Penelitian juga
dilakukan terhadap wanita Australia yang menyusui dalam jangka waktu lama,
aktivitas ovarium ditentukan dengan mengukur progesteron dalam saliva, dan
ekskresi estrogen dan pregnandiol (Lewis et al 1991, Short et al 1991). Mereka
menyimpulkan bahwa LAM memberi perlindungan kontraseptif yang aman dalam jangka
waktu 6 bulan postpartum, bahkan pada wanita dengan gizi baik di negara
ber-kembang. Diaz dkk (1992) di Chili meneliti peran anovulasi dan defek fase
luteal terhadap infertilitas akibat laktasi. Di-simpulkan bahwa, meskipun
terjadi ovulasi, kondisi endokrin yang abnormal pada fase luteal pertama
memberikan per-lindungan yang efektif pada wanita selama amenorea laktasi dalam
jangka waktu 6 bulan postpartum. Setelah fase luteal membaik maka wanita itu mempunyai
risiko hamil.
2.
Antagonisme laktasi terhadap ovulasi
Selama masa laktasi,
kadar prolaktin akan tetap tinggisebagai respon terhadap rangsang isapan bayi
yang berlangsung terus menerus. Kadar prolaktin yang tinggi tersebut akan
berefek pada otak dan ovarium. Di otak, prolaktin yang sampai di hipothalamus
akan menimbulkan hambatan sekresi GnRH. Sedangkan kadar estrogen, yang semula
sangat tinggi selama persalinan karena sekresi dari plasenta, akan mengalami
penurunan setelah terlepasnya plasenta; penurunan ini ternyata tidak mampu
merangsang hipothalamus untuk memacu sekresi GnRH, halini mengisyaratkan adanya
penurunan sensitivitas hipothalamus terhadap mekanisme umpan balik positif oleh
estrogen selama laktasi (sebaliknya justru meningkatkan umpan balik negatif);
sementara di hipofisis anterior akan terjadi penurunan sensi-tivitas terhadap
rangsang oleh hipothalamus. Akibatnya, kadar FSH dan LH akan rendah, seperti
pada awal masa folikuler dari siklus menstruasi.
Pada seorang wanita yang
memberikan ASI eksklusif, selama 6-8 minggu masa laktasi akan terjadi penurunan
respon LH terhadap GnRH, sementara respon FSH tetap normal, meskipun demikian
pada ovarium tidak terjadi fase folikuler dan tidak terjadi sintesis estrogen.
Sintesis estrogen akan dimulai secara bertahap sejak bulan ke 4 postpartum pada
wanita yang memberikan ASInya, tetapi keadaan ini bervariasi antara ibu
menyusui yang satu dengan yang lainnya. Pemberian GnRH atau hormon gonadotropin
eksogen dalam jumlah besar ternyata mampu merangsang perkembangan folikel
ovarium dan pembentukan hormon estrogen. Hal ini meng-isyaratkan bahwa pada
ovarium terjadi penurunan sensitivitas terhadap hormon gonadotropin, mungkin
karena reseptor gonadotropin pada ovarium ditempati oleh prolaktin, atau karena
hambatan fungsi sel-sel theka oleh prolaktin. Hal ini menerangkan efek kadar
prolaktin yang tinggi terhadap ovarium..
Jadi dapat disimpulkan
bahwa prolaktin merupakan penyebab utama anovulasi pada laktasi atau amenorea
pada laktasi, atas dasar efek penghambatan di tingkat otak maupun ovarium
sebagai berikut:
a.
Penurunan sensitivitas hipothalamus terhadap
umpan balik positif dari estrogen.
b.
Hambatan sekresi GnRH oleh hipothalamus.
c.
Penurunan sekresi gonadotropin.
d.
Penurunan sensitivitas ovarium terhadap
gonadotropin
Selain hal-hal yang
telah disebutkan di atas terdapat alternatif penghambatan ovulasi yang lain
oleh prolaktin yaituhambatan sintesis progesteron oleh sel-sel granulosa dan
perubahan rasio testosteron: dihidrotestosteron oleh prolaktinsehingga
berakibat penurunan zat-zat teraromatisasi yang berarti peningkatan kadar zat
antiestrogen local.
Kadar prolaktin yang
tinggi menyebabkan umpan balik positif jalur pendek terhadap sekresi dopamin
oleh hipothalamus. Kadar dopamin yang tinggi akan menurunkan sekresi GnRH.
Antara efek di otak dan di ovarium, tampaknya efek hambatan ovulasi oleh
prolaktin selama laktasi paling dominan adalah penyebab di otak
Lactational Amenorrhea (LAM) memberi efek
pencegahan yang baik terhadap kemungkinan terjadinya kehamilan selama 6 bulan
pertama postpartum, bahkan pada wanita dari negara-negara sedang berkembang
dengan status gizi yang baik. Menurut Diaz (1992), meskipun terjadi ovulasi,
status hormonal pada fase luteal yang pertama setelah ke-hamilan dan persalinan
belum kembali normal sehingga tetap merupakan pencegahan yang efektif terhadap
kemungkinan terjadinya kehamilan.
Sementara menurut Chatterton (Sciarra, 1997)
LAM tidak memberikan perlindungan total terhadap kemungkinan terjadinya
kehamilan, sehingga pada wanita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi
selain LAM dapat terjadi kehamilan meskipun tanpa didahului timbulnya
menstruasi sejak persalinan (3-15%).
Probabilitas kumulatif
terjadinya kehamilan digambarkan dalam bentuk grafik oleh Short dkk, dengan
kemungkinan terjadinya kehamilan dalam 1 tahun sejak postpartum pada wanita
yang memberi ASI tapi tidak menggunakan kontrasepsi lain adalah kecil pada 6
bulan pertama, tetapi kemungkinan itu akan meningkat dengan cepat dan menjadi
sama dengan wanita yang tidak memberi ASI dan tidak menggunakan kontrasepsi
pada waktu sekitar 18 bulan postpartum. Hal ini berbanding terbalik dengan
persentase wanita dengan LAM, yang dengan bertambahnya bulan-bulan postpartum
akan makin jarang jumlah wanita yang tetap berada dalam kondisi Lactational
Amenorhhea (LAM).
Kemungkinan terjadinya
kehamilan tetap kecil (7%) dalam tahun pertama postpartum apabila setelah
timbul menstruasi yang pertama, wanita tersebut menggunakan metode kontrasepsi
yang efektif
3.
Sindrom Chiari-frommel
Tejadi setelah kehamilan
dan merupakan amenore laktasi yang berkepanjangan. Diduga keadaan ini
disebabkan oleh inhibisi dari hormon PIF (Prolktin Inhibiting Faktor) dari
hipofisis.
Sindrom
amenorea galaktorea: ditemukan amenorea, dan pada mamma dapat dikeluarkan air
susu. Dasarnya ialah gangguan endokrin berupa gangguan produksi releasing
factor dengan akibat menurunnya kafar FSH dan LH dan gangguan produksi
Prolacting Inhibiting Factor dengan akibat peningkatan pengeluaran prolaktin.
Dapat ditemukan setelah kehamilan, disini masa laktasi menjadi jauh lebih
panjang dari biasanya (sindrom Chiari Frommel). Dapat juga ditemukan pada tumor
hipofisis yang memproduksi prolaktin (sindrom Forbes-Albright).
sangat bermanfaat, amat sangat bermanfaat lagi bila daftar pustaka dicantumkan pula.
BalasHapusterima kasih banyak
hadi