Laman

Cari Materi

Rabu, 20 Januari 2016

Fertilisasi



2.1. Tahap Pembuan
2.1.1. Peletakan Sperma
Sperma memperoleh kemampuan berenang selama fase pematangan 4-12 ghari di epididimis. Saat berhubungan kelamin , sekitar 300 juta sperma dikeluarkan dalam sekitar 3 ml cairan seminalis, yang diletakan di vagina. Ejakulasi berulang biasanya menyebabkan penurunan konsentrasi sperma, tetapi jumlah sperma motil cenderung meningkat pda pria yang infertil, yang mengisyaratkan bahwa gangguan transportasi melalui saluran genetalia pria memengaruhi motilitas (Matilsky et al, 1993). Sperma mengalami koagulasi di vagina, yang tampaknya mempermudah retensi mereka yang menjaga sperma dari lingkungan normal yang asam dan kurang menguntungkan (pH 4-5). pH vagina meningkat oleh penyangga dari cairan seminalis sehingga sprema dapat bergerak dan mengaksas serviks.
Koagulum melarut dalam waktu sekitar 20-60 menit. Antar hari ke-9 dan ke-16 daur haid, salama periode subur beberapa hari sebelum dan termasuk ovulasi, komposisi mukus serviks yang encer mempermudah lewatnya sprema. Mukus serviks berinteraksi dengan sperma. Mukus serviks memberikan perlindunagn dan makanan kepada sperma. Mukus serviks ini juga berfungsi sebagai reservoar dan mungkin menyaring sperma yang secar  morfologis abnormal. Sebagian besar sperma (99%) tidak dapat memasuki uterus. Beberapa retus sperma mencapai tuba uterina dalam beberapa jam setelah koitus, glombang pertama transpormasi ini mungkin disebabkan oleh gerakan otot ritmis oleh saluran reproduksi wanita. Namun aktivitas otot saluran genetalia wanita tampaknya tidak esensial untuk pembuahan, sebagian sperma akan tersimpan di kripti serviks, kemudian bergerak relatif lambat membentuk gelombang kedua melalui mukus serviks dan mencapai tuba uterina beberapa hari setelah ejakulasi.
2.1.2. Kapasitas
            Sperma yang diejakulasikan tidak langsung membuahi oosit. In vitro, mungkin terdapat penundaan bebrapa jam sebelum sperma yang belum siap ini dapat mebuahi oosit. Namun, in vitro (dan pada sperma yang diambil dari uterus) efek enzim wanita dan konsentrasi garam yang tinggi disekresi uterus atas pengaruh estrogen akan mempercepat penyiapan sperma. Perubahan kimia dan fungsi yang dialami oleh sperma di uterus dan tuba uterina ini dikenal sebagai kapasitasi. Perubahan tersebut mencakup hilangnya lapisan glikoprotein dan membran plasma sperma dan reorganisasi molekul permukaan sperma (DeLamairande, Laderc, & Gagnon, 1997). Perubahan biokimiawi mencakup peningkatan pH itrasel dan konsentrasi kalsium. Modifikasi ini merubah saluran ion di membaran sehingga terjadi fluks teransmembran ion, yang emicu hiperaktivitas sperma. Metabolisme sperma berubah dari oksidatif menjadi glikoli. Gerakan ekor sperma hiperaktif berubah menjadi gerakan mirip pecut sehingga sperma terdorong kuat kedepan, bergerak dari ismus tuba uterina ke ampula (Mbizvo, 1995). Gerakan kepala ke lateral yang menguat menimbulkan gerakan membor, yang membantu akses ke oosit. Ekor juga berperan dalam pergerakan sprema di dalam oosit (Van Blerkom et al, 1995)
2.1.3. Akses ke Oosit
Sawar pertama yang mencegah akses sperma ke oosit adalah lapisan luar sel kumulus, korona radiata, yang terbenam di dalam matriks antar sel yang terdiri atas karbohidat, dan asam hialuronat. Hialuronidase, yang dikeluarkan dari akrosom sperma membantu penetrasi korona radiata. Pembebasan gradual sperma dari reservoar di mukus serviks serta pengaktifan sperma didekat oosit memiliki arti bahwa bebas waktu pwmbuahan diperpanjang.


2.1.4. Penigkatan ke Zona Pelucida
penetrasi1
Oosit dikelilingi leh zona pelucida, yang ketebalannya sekitar 14-15 µm. Zona ini adalah matriks ekstrasel yang terdiri aras glikoprotein bersulfat yang dihasilkan oleh oosit yang sedang tumbuh. Zona ini permeabel bagi sebagian virus, imunoglobulin, dan enzim. Sebelum ovulasi, tonjolan sitoplasma dari sel korona radiata menembus zona pelusida sehingga dapat terjadi komunikasi dan penyaluran makanan ke oosit melalui taut celah. Saat tonjolan ini ditarik sebagai respon respon terhadap lonjakan LH, dapat terbentuk celah di zona pelucida yang memudahkan akses bagi penetrasi sperma sehingga fertilisasi menjadi lebih mudah (Fmiliari et al, 1992). Zona pelusida berfungsi sebagai sawar yang memungkinkan sperma spesies yang sama menembus sampai oosit.
Zona pelusida bersifat antigenk : antibodi antizona pelusida mungkin merupakan penyebab pada sebagian kasus infertilitas. Komposisi zona pelusida berubah seiring dengan reaksi korteks seterlah pembuahan sehingga dapat dicegah terjadinya polispermia, teta[i memungkinkan sekresi tuba uterina mencapai oosit pada tahap awal pembelahan sel. Zona pleusida juga berperan dalam blastokosta dari impantasi prematur di tuba uterina sebelum mencapai uterus. Terdapat kemungkinan bahwa suatu zona pelusida yang terlalu tebal menyebabkan masalah dalam penetasan blastokista dan implantasi selanjutnya.
Sperma merekat ke reseptor di pemukaan zona pelusida membuat jalan menembus membran plasma oosit melalui proses pencernaan. Molekul komplementer di zona pelusida dan membran plasma spema berinteraksi yang memungkinkan interaksi kedua gamet. Reseptor sperma di zona pelusida adalah glokoprotein yang dikenal sebagai ZP3 (Tulsani, Yoshida-Komiya, & Araki, 1997). Struktur reseptor ini bervariasi anntar spesies, yang mungkin membantu mencegah pembuahan oosit oleh sperma dari spesies yang berbeda. Walaupun terdapat pengenalan telur sperma spesifik-spesies, sperma beberapa spesies mamalia dapat berinteraksi dengan reseptor ZP3 spesies lain walaupun tidak diikuti oleh pembuahan.
Interaksi dengan zona pelusida tampaknya berlangsung dalam dua tahap (Wasserman, 1987). Pertama sperma yang telah mengalami kapasitasi melekat secara longgar dan reversibel ke permukaan zona pelusida. Kemudian, sperma berikatan secara lebih kuat dan ireversibel ke zona pelusida. Banyak sperma yang berikatan dengan zona pelusida, tetapi biasanya hanya satu yang menembus dan akan menyatau dengan membran plasma oosit.   
2.1.5. Reaksi Akrosom
            Setelah mengikat zona pelusida, sperma mengalami reaksi akrosom. Hal ini dipicu oleh peningkata konsentasi kalsium intasel setelah peningkatanke reseptor ZP3. Namun, hal ini juga dapat dipicu oleh cairan folikel dan progesteron (Brucker & Lipford, 1995). Membran akrosom bagian luar menyatu dengan membaran plasma yang menutu pi sperma. Terjadi pelepasan vesikel kecil yang mengandung enzim akrosom yang kemudian membebaskan isinya. Membran akrosom bagian dalam kemudian menjadi pembungkus kepala sperma. Akrosin, suatu enzim yang tetap terikat ke mambran akrosom bagian dalam, membuat terowongan melalui proses pencernaan menembus zona pelusida, dan enzim akrosom dibebaskan dari vesikel. Gerakan maju mendadak sperma mendorongnya kedepan menembus zona pelusida dan rauang perivitelina sehingga kepala sperma berkontak dengan membran vitelina (permukaan) oosit. Penetrasi melalui zona pelusida memerlukan sperma yang hiperaktif dan lisis zona pelusida.
2.1.6 Fusi Gamet
penetrasi2
Reaksi akrosom memicu perubahan pada membran sperma yang memungkinkan terjadinya fusi. Molekul perekat yang terdapat dimembaran sperma dan oosit penting dalam fusi sperma-telur (Blobel et al, 1992). Kepala sperma tertarik ke dalam mikrovili oosit dipermukaan selubung oosit. Membran plasma sperma kemudian menyatu ke dalam membran oosit. Fusi membran sperma dan membaran vitelina oosit berlangsung sekitar 10-20 menit. Pembuahan pada manusia, ekor sperma tetap motil dan menyatu kedalam oosit (Payne et al, 1997). Diperkirakan setiap mitokondria ayah yang masuk kedalam oosit akan keluar secara selektif (Kaneda et al, 1995). Zigot dan mudigah yang terbentuk hanya memiliki mitikondria ibu (Gyllensteen et al, 1991). Oosit tampaknya kehilangan DNA mitokondia seiring dengan peningkatan usia ibu, suatu faktor yang mungkin penting dalam kesuburan. Selain komponen inti sel pria, sperma yang melakukan pembuahan juga ikut serta dalam pembentukan sentriol dan pusat organisasi mikrotubulus, tempat gelendong mitosis pertama akan terbentuk (Van Berkom et al, 1995).
2.1.7 Reaksi Korteks
Setelah fusi berlangsung, masuknya sperma lain kedalam oosit (polispermia), yang berpotensi menghasilkan zigot nondiploid, dicegah. Zigot nondiploid biasanya tidak dapat hidup, tetapi sebagian berkembang menjadi tumor, misalnya mola hidatidiformis atau koriokarsinoma. Inseden zigot nondiploid meningkat seiring dengan asupan alkohol, pemakaian obat, anestesia, dan pembuatan “oosit” tua (tua dalam arti jam setelah ovulasi). Saat sperma menyatu dengan oosit, terjadi peningkatan hantaran kalium, yang menyebabkan depolarisasi membran.
Potensial membran yang berubah itu sendiri mungkin penting dalam menghambat fusi sperma lebih lanjut, tetapi juga menyebabkan pembebasan kalsium dari simpanan intersel, yang meningkatkan fusi granula korteks dengan membran oosit (Hoodbhoy & Talbot, 1994). Peningkatan kalsium dimulai dari tempat fusi dan bergerak sebabagai gelombang melalui oosit dan secara sekuensial mengaktifkan sekitar 4000 garnula kotreks. Pemicu untuk peningkatan kalsium yang diinduksi oleh kalsium ini adalah fajtor sitosolik larut dari sprema yang menbuahi oosit. Osilasi kalsium yang terjadi dapat berlangsung sampai beberapa jam (Palermo et al, 1997), dan mungkin berperan dalam pengaltifan mudigah. Isi granula korteks (berbagai enzim, protease dan peroksidase serta poloseakridase) disebabkan kedalam ruang periviterina dan berdifusi menembus zona pelusida untuk mencerna reseptor sperma ZP3. Zona pelusida kehilangan kemampuannya mengikat sperma dan memicu reaksi akrosom. Perubahan tekstur zona pelusida disebut sebagai “pengerasan zona”. Reaksi ini dikenal sebagai reaksi zona. Komposisi membaran plasma oosit juga berubah.
2.2. Kromosom Seks
2.2.1. Jenis Kelamin Zigot
            Pada pembelahan meiosis, sel mengalami pengurangan komplemen genetikanya dari 46 menjadi 23 kromosom. Setiap sperma normal akan memiliki 22 autosom dan kromosom X atau Y. Apabila oosit dibuahi oleh sperma yang memiliki kromosom X (ginospermae), zigotnya akan wanita dan apabila memiliki kromosom Y (androspermae) keturunannya akan pria. Sperma yang mengandung kromosom Y dan X berenang dengan kecepatan yang berbeda. Apabila periode antara haid dan hubungan kelamin pertama memanjang, peletakan sperma kecil kemungkinannya terjadi jauh sebelum ovulasi sehingga sperma yang baru di ejakulasikan akan mencapai pembuahan. Dihipotesiskan bahwa androsperma, yang sedikit lebih kecil daripada ginosperma dan memiliki kepala lebih bulat, dapat berenang lebih cepat.
2.2.2. Kelainan Kromoson
            Kelainan kromosom kerap diungkap dokter sebagai penyebab keguguran, bayi meninggal sesaat setelah dilahirkan, maupun bayi yang dilahirkan sindrom down. Kelainan kromosom umumnya terjadi saat pembuahan, yaitu saat sperma ayah bertemu sel telur ibu dan sebelum ovum dan sperma ini matang, terjadi pembelahan 2 kali yang mengurangi jumlah kromosom dari 46 menjadi 23. Normalnya ovum punya 22 pasang kromosom autosom dan 1 pasang kromosom X. Sedangkan separuh sperma punya 22 kromosom autosom dan 1 kromosom Y atau X.
Kromosom normal orang tua bisa diturunkan sebagai kromoson normal pada anaknya, namun bisa pula diturunkan abnormal jika pada proses penurunannya ada kelainan atau gangguan. Ada 5 tipe penyebab kelainan kromosom, yaitu :
1.      nondisjunction: ada gangguan dalam pelepasan sepasang kromosom, entah terjadi pada sebagian atau seluruhnya
2.      translokasi: terjadi penukaran 2 kromosom yang berasal dari pasangan berbeda
3.      mosaik: terjadi salah mutasi pada mitosis/pembelahan di tingkat zigot
4.      reduplikasi atau hilangnya sebagian kromosom
5.      trisomi yaitu bagian kromosom yang hilang atau ditambahkan
ü  Trisomi 21: Pada kelainan ini, kromosom nomor 21 ada 3 buah, bukan 2 buah seperti seharusnya. Itulah mengapa, kelainan ini sering dikatakan trisomi 21. Dampaknya, bayi yang dilahirkan mengalami mongoloid atau sindrom down.
genas13
ü  Trisomi 18: Kromosom nomor 18 ada 3 buah. Bayi yang dilahirkan mengalami sindrom edward, biasanya akan meninggal sesaat setelah lahir.
ü  Trisomi 17: Kromosom 17 ada 3 buah. Bayi yang dilahirkan akan meninggal setelah lahir.
ü  Trisomi 13: Kromosom 13 ada 3 buah. Bayi yang dilahirkan mengalami sindrom patau, juga meninggal sesaat setelah lahir.
ü  Cat eye syndrome: Pada kasus ini, kromosom 22 hilang sebagian. Bayi yang dilahirkan akan mempunyai kelainan pada bentuk muka dan jantungnya. Sementara kelainan kromosom seks lebih sedikit dibanding kelainan autosom, yaitu:
·         Sindrom turner: Biasanya terjadi pada wanita, yaitu jumlah kromosomnya ada 45 buah dengan kromosom seksnya cuma 1 X, bukan XX seperti umumnya. Otomatis, anak perempuan yang mengalami sindrom ini tak bisa mentruasi dan tanda-tanda kelamin sekunder lainya tidak nampak, dan bertubuh pendek.
sindrom turner
·         Sindrom poli-X atau superfemale:  Juga Terjadi pada wanita. Jumlah kromosomnya 47 XXX. Biasanya anak dengan sindrom ini jadi kurang IQ-nya atau retardasi mental ringan.
·         Sindrom kleinefelter: Biasanya terjadi pada lelaki, yaitu jumlah kromosomnya 47 XXY. Padahal, kromosom lelaki harusnya XY. Jadi, dalam kelainan ini, meski kromosomnya lelaki tapi fisiknya perempuan. Soalnya, ia tak punya uterus atau rahim, hingga ia tak akan bisa mengalami menstruasi apalagi punya anak. Hal ini disebabkan pertumbuhan hormon yang tak bisa ke testis, hingga larinya ke payudara. Jadi, testis biasanya ada tapi kecil.
klinefelter_gyne_4c

Tidak ada komentar:

Posting Komentar