2.1 Pengertian
Induksi persalinan adalah usaha agar
persalinan mulai berlangsung sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan
jalan merangsang timbulnya his (Israr, 2009). Oksitosin sintetik
adalah salah satu obat yang paling sering digunakan di Amerika Serikat.
Oksitosin adalah hormon polipeptida yang pertama kali disintesis, dan hadiah
nobel bidang kimia pada tahun 1955 dianugrahkan untuk ini (Du Vigneaud dkk.,
1953). Hampir semua wanita mendapat oksitosin setelah melahirkan dan banyak
yang juga mendapatkannya untuk induksi atau augmentasi persalinan. Menurut National Center for Health Statistics,
pada tahun 1995 lebih dari 1,3 juta wanita Amerika diberi oksitosin untuk
merangsang persalinan (Ventura dkk., 1997).
Pada
banyak kasus, hanya terdapat perbedaan semantis antara induksi dan augmentasi
persalinan. Induksi persalinan mengisyaratkan stimulus kontraksi sebelum awitan
spontan persalinan, dengan atau tanpa pecahnya ketuban. Augmentasi merujuk
kepada stimulus kontraksi spontan yang dianggap kurang memadai karena tidak
terjadinya kemajuan pembukaan serviks dan penurunan janin. Beberapa dokter
menganggap augmentasi mencakup stimulusi kontraksi setelah pecah ketuban
spontan tanpa persalinan. Sementara sebagian dokter menggunakan regimen infus
oksitosin yang berbeda-beda untuk masing-masing hal diatas, kami menggunakan
teknik yang sama yang akan dijelaskan berikut ini.
2.2 Indikasi
dan kontra indikasi
Terdapat banyak indikasi obstetris,
medis, dan janin untuk induksi persalinan. Indikasi-indikasi ini dijelaskan
diseluruh isi buku ini. Pemakaian oksitosin melalui infus intravena untuk
memacu persalinan yang tidak adekuat disfungsi uterus hanya layak diberikan
setelah dilakukan penilaian untuk menyingkirkan kemungkinan disproporsi sefalovelfik.
Pada induksi atau aumentasi oksitosin, frekuensi denyut jantung janin dan pola
kontraksi harus diamati dengan cermat. American
College of Obstetricians and Gynecologists (1999) merekomendasikan bahwa
pemantauan frekuensi denyut jantung janin dan kontraksi uterus serupa dengan
yang dilakukan terhadap semua kehamilan risiko tinggi lainnya. Hal ini
dilakukan dengan palpasi frekuensi dan relaksasi kontraksi atau menggunakan
peralatan elektronik untuk merekam aktivitas uterus. Tekanan kontraksi uterus tidak
dapat dinilai secara akurat dengan palpasi (Arrabal dan Nagey, 1996).
Indikasi
induksi antara lain: hamil post term (lebih dari 42 minggu), ketuban pecah
dini, janin mati dalam kandungan, preeklamsi berat yang tidak membaik. Kontra
indikasi induksi dibagi dua yaitu; absolute: disproporsi kepala panggul,
plasenta previa totalis / letak rendah di belakang, gawat janin, uterus cacat
(pasca seksio caesarea yang tidak diketahui jenisnya) dan relativ:
grandemultigravida, kelainan letak presentasi, overdistensi uterus, presentasi
bokong murni, pasca seksio caesarea kurang dari 2 tahun (Chuningham, 2005).
Indikasi untuk melakukan induksi dalam persalinan
ialah
·
Penyakit ginjal
·
Diabetes mellitus
·
R.H antagonism
·
Cacat bawaan yang berat
seperti anencephalus atau hidrosepalus
·
Keadaan gawat janin
seperti pada ganguan janin yang berat
·
Hydramnion yang berat
·
Kematian anak
intrauterine
·
Kehamilan serotin
·
Ketuban pecah dalam
kehamilan
·
Perdarahan antepartum
Induksi
persalinan akan berhasil bila memperhatikan beberapa persyaratan sebagai
berikut:
a)
Kehamilan aterm
b)
Ukuran panggul normal
c)
Tak ada CPD
d) Janin dalam presentasi kepala
e)
Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah
mulai membuka) (Israr, 2009)
2.3 Cara-cara
Berbagai metode untuk merangsang
kontraksi uterus dengan oksitosin telah diterapkan. Wanita yang bersangkutan
harus mendapat pengawasan langsung oleh perawat selagi mendapat infus
oksitosin. Tujuan tindakan ini adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang
memadai untuk menimbulkan pembukaan serviks dan penurunan janin sekaligus
menghindari stimulus berlebihan terhadap uterus dan atau timbulnya status janin
yang tidak meyakinkan. Kontraksi harus dievaluasi secara terus menerus dan
oksitosin dihentikan apabila kontraksi tetap lebih dari lima kali dalam peiode
10 menit atau tujuh kali dalam periode 15 menit, apabila kontraksi berlangsung
lebih lama dari 60-90 detik, atau apabila pola frekuensi denyut jantung janin
menjadi mengkhawatirkan. Pada hiperstimulasi, penghentian segera oksitosin
hampir selalu menurunkan frekuensi kontraksi dengan cepat. Apabila pemberiannya
dihentikan, konsentrasi oksitosin dalam plasma dengan cepat turun karena rerata
waktu-paruhnya adalah sekitar 5 menit.
Seitchik
dkk. (1984) mempelajari farmakokinetika. Oksitosin yang diinfuskan intravena
dan mendapatkan bahwa respon uterus terjadi dalam 3 sampai 5 menit setelah
infus dimulai dan bahwa kadar mantap dalam plasma tercapai dalam 40 menit.
Respons bergantung pada aktivitas uterus yang sudah ada, sensitivitas uterus,
dan status serviks yang berkaitan dengan lama kehamilan dan perbedaan biologis
perorangan. Caldeyro-Barcia dan Poseiro (1960) melaporkan bahwa respons uterus
terhadap oksitosin meningkat dari minggu ke-20 sampai ke-30, tetapi tidak
berubah dari minggu ke-34 sampai aterm, ketika sensitivitasnya meningkat dengan
pesat. Satin dkk., (1992) mempelkajari faktor-faktor yang mempengaruhi dosis
oksitosin yang dibutuhkan untuk mengstimulasi persalinan secara adekuat pada
1773 kehamilan. Predikator penting untuk dosis oksitosin adalah pembukaan
serviks, paritas dan usia gestasi.
Oksitosin
sintetik biasanya diencerkan dalam 1000 ml larutan garam fisiologis yang
diberikan melalui pompa infus. Pemberian melalui rute lain tidak dianjurkan
untuk stimulasi persalinan. Untuk menghindari penberian bolus, infus harus
dimasukan ke dalam selang intravena utama dekat dengan tempat pungsi vena.
Infusat oksitosin yang lazim terdiri dari 10 hingga 20 unit ekivalen dengan
10.000-20.000 mU yang dicampurkan ke dalam 1000 ml larutan Ringer laktat,
sehingga dihasilkan konsentrasi oksitosin masing-masing 10-20 mU/ml.
Di
parkland hospital sejak tahun
1996-1999, lebih dari 15.000 wanita mendapat oksitosin untuk induksi atau
augmentasi persalinan mereka. Pengawasan langsung dilakukan oleh perawat
terlatih dan dilakukan pemantauan elektronik terhadap frekuensi denyut jantung
janin dan aktivitas uterus secara kontinu. Umumnya oksitosin dihindari dari
kasus-kasus kelainan presentasi janin dan overdistensi uterus yang mencolok,
misalnya karena hidramnion patologis, janin yang terlalu besar atau janin
multipel. Wanita dengan paritas tinggi (6 atau lebih) umumnya tidak diberi
oksitosin karena mereka mudah mengalami ruptur uteri.
Di parkland hospital, oksitosin biasanya tidak diberikan kepada wanita
yang memiliki jaringan parut pada uterus dan janin hidup. Sebaliknya, di University of Alabama atau University of Texas di Houston, riwayat
seksio sesarea sebelumnya bukan merupakan kontraindikasi untuk induksi atau
augmentasi. Kondisi janin harus meyakinkan, berdasarkan frekuensi denyut
jantung dan tidak adanya mekonium kental dalam cairan amnion. Janin yang
meninggal bukan merupakan kontraindikasi untuk pemakaian oksitosin kecuali
apabila jelas terdapat disproporsi sefalopelvik.
Dosis Oksitosin
Menurut American
College of Obstetricians and Gynecologists (1999), regimen oksitosin yang
mana pun dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Beberapa regimen
disajikan selam ini, hanya variasi protokol dosis rendak yang digunakan di
Amerika Serikat. Pada tahun 1984, O’Driscoll dkk. Menjelaskan suatu protokol
untuk penatalaksanaan aktif persalinan yang memerlukan oksitosin dengan dosis
awal 6 mU/mnt. Setelah protokol ini dipublikasikan, selama tahun 19990an
dilakukan banyak uji klinis yang membandingkan regimen dosis tinggi (4-6 mU/mnt)
versus dosis rendah konvensional (0,5-1,5 mU/mnt) baik untuk induksi maupun
augmentasi.
Di parkland
hospital, satin dkk. (1992) meneliti suatu regimen oksitosin sebesar 1
mU/mnt yang dibandingkan dengan dosis 6 mU/mnt. Pada regimen dosis rendah, peningkatan
1 mU/mnt diberikan sesuai kebutuhan dengan interval 20 menit. Pada protokol
dosis tinggi, peningkatan 6 mU/mnt diberikan sesuai kebutuhan dengan interval
20 menit untuk mencapai dosis maksimum 42 mU/ mnt. Protokol membolehkan
penurunan dosis sebesar 3 mU/mnt apabila terjadi hiperstimulasi uterus.
Protokol dosis tinggi yang fleksibel ini dievaluasi pada hampir 5000 kehamilan
dan terbukti lebih efektif dari pada infus dosis rendah. Secara spesifik, pada
1112 wanita yang menjalani induksi persalinan, regimen dosis tinggi
menghasilkan interval waktu antara rawat inap sampai melahirkan yang lebih
singkat, angka kegagalan induksi yang lebih rendah, dan tidak menimbulkan
sepsis neonatus. Pada 1676 wanita yang menjalani augmentasi persalinan, mereka
yang mendapat regimen dosis tinggi secara bermakna memperlihatkan interval
waktu antara pemberian sampai melahirkan yang lebih singkat, angka pelahiran
dengan forseps yang lebih rendah, angka seksio sesarea atas indikasi distosia
yang lebih rendah, kasus korioamnionitis intrapartum yang lebih sedikit, dan
sepsis neonatus yang lebih jarang
Dalam laporan oleh Satin dkk. (1992) ini,
hiperstimulasi diidentifikasikan pada sekitar separuh diantara wanita dengan
regimen dosis tinggi. Keadaan ini diatasi dengan menghentikan oksitosin diikuti
oleh pemberian kembali apabila diindikasikan tetapi dengan dosis separuh dari
dosis ditingkatkan sebesar 3 mU/mnt apabila diindikasikan, sedangkan pada yang
tidak mengalami hiperstimulasi peningkatannya adalah 6 mU/mnt. Wanita yang mendapat
regimen 6 mU/mnt untuk augmentasi persalinan menjalani seksio sesarea atas
indikasi “gawat janin” sebanyak 6 persen dibandingkan dengan 3 persen pada
mereka yang mendapat regimen dosis rendah. Tidak dijumpai efek samping neonatus
pada kedua kelompok.
Xanakis dkk. (1995) melaporkan manfaat regimen dosis
tinggi yang dimulai dengan dosis 4 mU/mnt dan ditingkatkan 4 mU/mnt setiap
kalinya. Merrill dan Zlatnik (1999) membagi secara acak 1307 wanita dengan
induksi(816) atau augmentasi (491) persalinan untuk mendapat oksitosin dosis
rendah yang diberikan sebesar 1,5 mU/mnt dengan peningkatan 1,5 mU/mnt setiap
kalinya. Wanita yang mendapat regimen dosis tinggi secara bermakna
memperlihatkan interval dari induksi sampai persalinan kala dua dan dari
induksi sampai melahirkan, nulipara pada kelompok dosis tinggi memperlihatkan
kecendrungan penurunan angka seksio sessarea atas indikasi disproporsi
dibandingkan dengan mereka dari kelompok dosis rendah (5,9 versus 11,9 persen,
P = 0,06). Diantara wanita yang menjalani augmentasi, mereka yang secara acak
mendapat regimen dosis tinggi juga memperlihatkan waktu persalinan yang lebih
singkat, tetapi angka seksio sesarea yang setara.
Manfaat yang dijumpai condong kearah regimen dosis
tinggi. Pada tahun 19990, regimen oksitosin 6 mU/mnt mulai digunakan secara
rytin di Parkland Hospital. Di University of Alabama, digunakan regimen
ini digunakan baik untuk induksi maupun augmentasi persalinan, dengan
peningkatan dosis dilakukan secara bertahap.
Meningkatkan Interval
Dosis
Terdapat sejumlah regimen oksitosin dengan interval
untuk meningkatkan dosis yang bervariasi dari setiap 15 menit sampai setiap 40
menit sekali. Satin dkk. (1994) membandingkan sebuah regimen yang dimulai pada
6 mU/mnt dengan peningkatan setiap kalinya sebesar 6 mU/mnt setiap 20 menit
versus 40 menit. Wanita yang mendapat regimen interval 20 menit untuk
augmentasi persalinan memperlihatkan penurunan bermakna dalam angka seksio
sesarea atas indikasi distosia dibandingkan dengan mereka yang mendapat regimen
dengan interval 40 menit (8 versus 12 persen). Pada wanita dengan induksi
persalinan, hiperstimulus uterus secara bermakna lebih tinggi pada regimen 20
menit dibandingkan dengan regimen 40 menit (40 versus 31 persen). Karena
kekhawatiran akan hiperstimulasi, pada protokol yang sekarang berlaku di Parklan Hospital adalah memulai
oksitosin dengan dosis 6 mU/mnt, dengan peningkatan bertahap setiap 40 menit,
tetapi jadwal pemberian dosis bersifat fleksibel bergantung pada ada tidaknya
hiperstimulasi.
Peneliti-peneliti lain melaporkan keberhasilan
regimen dosis tinggi yang ditingkatkan dengan interval dosis yang semakin
singkat. Frigoletto dkk. (1995) serta Xenakis dkk. (1995) melalui oksitosin
pada dosis 4 mU/mnt yang ditingkatkan setiap 15 menit sesuai kebutuhan. Merrill
dan Zlantnik (1999) memulai dengan 4,5
mU/mnt yang ditingkatkan setiap 30 menit. Lopez-Zeno dkk. (1992) memulai dengan
6 mU/mnt dengan peningkatan setiap 15 menit. Variasi lain juga digunakan
sebagai contoh, di University of Albama di Birmingham, oksitosin intravena
untuk induksi atau augmentasi persalinan dimulai dengan dosis 2 mU/mnt dan
ditingkatkan sesuai kebutuhan setiap 15 menit menjadi 4,8,12,16,20,25, dan 30
mU/mnt.
Risiko
Versus Manfaat
Oksitosin
adalah obat yang kuat, tetapi bencana mennggal dan cedera pada ibu dan janin
akibat ruptur uteri yang lebih dahulu dilaporkan sekarang karang dijumpai. Hal
ini disebabkan oleh telah dilakukannya untuk menata pemberiannya serta mengkualifikasi efektivitas dan kemanannya.
Ruptur uteri berkaitan dengan pemakaian oksitosin jarang dijumpai bahkan pada
wanita para, kecuali apabila terdapat jaringan parut.
Oksitosin
memiliki homologi asam amino yang serupa dengan vasopresin arginin. Dengan
demikian, apabila diinfuskan dalam dosis tinggi obat ini menimbulkan efek
antidiuretik yang bermakna. Apabila infus diberikan dalam dosis 20 mU/mnt atau
lebih, bersihan air bebas dari ginjal menurun secara nyata. Apabila paien
mendapat infus yang mengandung air dalam jumlah yang cukup besar bersamaan
dengan infus oksitosin, dapat terjadi intoksikasi air yang menimbulkan kejang,
koma, dan bahkan kematian.
Tekanan
Kontraksi Uterus Pada Stimulasi Oksitosin
Dalam
penatalaksanaan macetnya persalian fase aktif, dan tanpa kontraindikasi
oksitosin intravena, maka dibuat keputusan dengan mengetahui rentang atas yang
aman bagi aktivitas uterus pada persalinan spontan. Walaupun tidak ada kemajuan
persalinan, tidak timbul efek samping pada ibu dan janin setelah seksio
sesarea.
American College Of
Obstetricians And Gynecologist (1995a) merekomendasikan
bahwa sebelum didiagnosis adanya kemacetan persalinan kala satu, pola kontraksi
uterus harus melebihi 200 satuan Mentivideo selama 2 Jm tanpa perubahan
serviks. Diperlukan lebih banyak data pasti mengenai kemanan dan efektivitas
kontraksi pada subkelompok wanita dengan riwayat seksio sesarea, bayi kembar,
uterus yang teregang berkebihan, atau korioamnionitis.
Lama
Pemberian Oksitosin
Pada
tahun 1989, American College Of
Obstetricians And Gynecologist mendefinisikan
kemacetan pada persalinan kala satu sebaagai selesainya fase laten disertai
pola kontraksi uterus yang lebih dari 200 satua Mentovideo yang telah
berlangsung lebih dari 2 jam tanpa disertai perubahan serviks. Hanya sedikit
data yang menunjang rekomendasi yang lebih akurat mengenai lama augmentasi
untuk kemacetan fase aktif. Arullkumaran dkk.(1987) memperpanjang batas 2 jam
untuk mendefinisikan keggalan augmentasi. Dengan menggunakan batas 4 jam,
mereka melpaorkn angka seksio sesarea hanya 1,3 pasien diantara mereka yang
terus memperlihatkan kontrasi yang memadai. Bagi mereka yang tidak
memeperlihatkan kemajuan, masih diberikan waktu 4 jam lagi, dan sepertiga di
antara mereka melahirkan per vaginam.
Riuse
dkk. (1999) meneliti 542 wanita aterm dengan kemacetan fase aktif yang ditangani
dengan suatu protokol prosektif. Protokol ini tidak mencantumkan aturan
batas-batas 2 jam, tetapi lebih dimaksudkan untuk mencapai pola kontraksi lebih
dari 200 satuam Mentivideo yang erlangsung selama minimal 4 jam. Waktu ini
diperpanjang menjadi 6 jam apabila
aktivitas yang lebih dari 200 satuan Mentivideo tidak dapat dipertahankan.
Hampir 92 paien diantaranya melahirkan per vaginam. Karena wanita dengan risiko
seksio sesarea, gestasi multipel, presentasi selain puncak kepala, atau
korioamnionitis tidak disertakan, maka para peneliti ini merekomendasikan bahwa
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Amniotomi
Amniotomi
atau pemecahan selaput ketuban secara artifisial, yang di inggris juga disebut
sebagai induksi bedah, sering digunakan untuk melakukan induksi atau augmentasi
persalinan. Kata amnioreksis digunakan oleh sebagian kalangan untuk pecahnya
selaput ketuban secara spontal atau artifisial, walaupun kata ini dan amniotomi
secra salah mengisyaratkan pecanhnya hanya manion saja dan bukan korion. Indikasi
umum lainnya untuk maniotomi adalah untuk pemantauan internal frekuensi denyut
jantung janin secra elektronik apabila diantisipasi terdapat gangguan pada
janin dan untuk melakukan penilain kontraksi intrauterus apabila persalinan
kurang memuaskan. Amniotomi elektif untuk mempercepat persalinan spontan atau
mendeteksi mekonium juga dapat diterima dan sering dipraktekan.
Karena
amniotomi atas indikasi-indikasi di atas sangat sering dilakukan, sulit
ditemukan informasimengenai kapan selaput
ketuban pada persalinan normal akan pecah secara spontan tanpa
dipecahkan. Fraser dkk (1991) mempelajari amniotomi elektif yang dibandingkan
dengan tanpa intervensi pada kehamilan aterm dengan persalianan spontan. Hampir
60 persen dari kelompok yang tidak diintervensi mencapai pembukaan 8 cm atau
lebih selaput ketuban pecah spontan. Besar kemungkinan bahwa sebenarnya lebig
banyak lagi wanita yang masuks ke kala dua persalinan dengan selaput ketuban
utuh karena amniotomi untuk pemantauan internal elektronik atau augmentasi
persalianan dilakukan pada 38 persen.
Untuk
memperkecil risiko prolaps tali pusat saat selaput ketuban dipecahkan dengan
sengaja,a beberapa hal perlu diperhatikan. Dengan sengaja, hindari pengeluaran
kepala janin. seorang asisten yang melakukan penekanan di fundus dan suprapubis
dapat mengurangi prolaps tali pusat. Sebagian kalangan lebih menyukai pemecahan
ketuban saat kontraksi. Frekuensi denyut jantung janin harus dinilai sebelum
dan segera sesudah prosedur.
Amniotomi
Elektif
Pemecahan
selaput ketuban secara sengaja dengan tujuan mempercepat persalinan merupakan
salah satu proedur yang paling sering dilakukan dibidang obstetri. Apakah prosedur ini memberikan lebih banyak
manfaat atau kerugian masih terus diperdebatkan. Dari hasil penelitian, amniotomi
pada pembukaan 5 cm mempercepat persalinan 1-2 jam tanpa meningkatkan angka
keseluruhan seksio sesarea atau
kebutuhan stimulasi oksitosin. Dalam study oleh Garite dkk (1993), pemakian
oksitosin berkurang apabila dilakukan amniotomi elektif dini. Yanga utama,
tidak terjadi efek samping pada neonatus. Namun, para penelii ini
mengidentifikasi adanya peningkatan pola penekanan tali pusat ringan samapai
sedang akibat amniotomi. Walapun demikian, deselerasi berat tidak terjadi dan
karena itu angka seksio sesarea atas indikasi gawat janin tidak terpengaruh.
Induksi
Amniotomi
Pemecahan
selaput ketuban secara sengaja dapat digunakan untuk menginduksi persalian,
tetapi hal ini mengisyaratkan komitmen yang pasti untuk melahirkan pervaginam.
Kerugian utama amniotomi apabila digunakan secara tunggal untuk induksi
persalianan adalah interval yang tidak dapat diperkirakan dan kadang berkepanjangan sampai timbulnya kontraksi.
Walaupun hal ini dipastikan secara luas, hanya dikit penelitian yang sudah
dilakukan untuk membandingkan amniotomi saja dengan metode lain. Dalam sebuah
netode klinis acak, Bakos dan Backstrom (1987) mendapatkan bahwa amniotomi saja
atau amniotomi plus oksitosin lebih baik daripada oksitosin saja. Marcer dkk
(1995) membagi secara caka 209 wanita yang menjalani induksi oksitosin ke dalam
kelompok amniotomi pada penbukaan 1 sampai 2 (amnotomi dini) atau pembukaan 5
cm (amniotomi lanjut). Amniotomi dini menyebabkan durasi persalinan yang secara
bermakna lebih singkat (sekitar 4 jam), tetapi terjadi peningkatan insidensi
korioamnionitis (23 persen) dan pola pemantauan penekanan tali pusat (12
persen).
Amniotomi
Untuk Augmentasi
Amniotomi
sering dilakukan apabila persalian spontan belangsung terlalu lambat.
Berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dari uji coba klinis pada persalinan
spontan dan dari induksi persalinan , besar kemungkinan bahwa amniotomi akan
meningkatkan kemajuan persalinan yang difungsional. Rouse dkk (1994) melakukan
studi teracak dan mendapatkan bahwa penambahan amniotomi pada augmentasi
oksitosin atas indikasi persalinan pada fase aktif akan mempersingkat
persalinan sebesar 44 menit. Tindakan ini juga secara meningkatkan insidensi
korioamnionitis. Amniotomi, sebagai tambahan untuk infus oksitosin, tidak
mempengarhui rute pelahiran dibandingkan dengan oksitosin saja.
A. Cara
mekanis
1. Stripping
of the membranes (melepaskan selaput janin sekitar ostium dari dasarnya).
Dengan jari yang dimasukan ke dalam canalis cervikalis, selaput janin
dilepaskan dari dinding uterus sekitar ostium. Metode ini tentu hanya mungkin
kalau cervix sudah sedikit terbuka dan lebih berhasil lagi kalau sudah turun.
Diduga bahwa dengan terlepasnya selaput di daerah ostium, selaput ini dapat
menonjol kalau ada kontraksi dan dengan demikian mendilatasi dan meregang cervix.
2. Pemecahan
ketuban
Dengan pemecahan
ketuban pada serviks yang sudah matang, his dapat diharapkan timbul dalam 1-2
jam. Cara pemecahan ketuban ialah sebagai berikut :
Dilakukan dulu
stripping of membranes, kemudian ketuban dipecahkan dengan kocher atau dengan
alat pemecah ketuban yang khusus. Kalau serviks belum matang, dapat diusahakan
mematangkanya dengan pitocin drip, stripping of membranes atau pemberian 5 mg
estradiolbenzoat sehari selama 2-3 hari. Bahaya pemecahan ketuban ialah infeksi
intrauterine.
Cara
Mekanis
Menurut
Mochtar (1998) induksi secara mekanis adalah sebagai berikut :
(1)
Melepas selaput ketuban stripping of the membrane jari yang dapat masuk
ke dalam kanalis servikalis selaput ketuban yang melekat dilepaskan dari
dinding uterus sekitar ostium uteri internum. Cara ini akan lebih berhasil bila
serviks sudah terbuka dan kepala dan lepasnya ketuban maka selaput ini akan
lebih menonjol yang akan merangsang timbulnya his dan terbukanya serviks.
(2)
Memecahkan ketuban (amniotiomi). Hendaknya ketuban baru dipecahkan kalau
memenuhi syarat sebagai berikut :
(a) Serviks
sudah matang atau skor pelviks di atas 5.
(b) Pembukaan kira-kira 4-5 cm
(c) Kepala sudah memasuki pintu atas
panggul. Biasanya setelah 1-2 jam pemecahan ketuban diharapkan his akan timbul
dan menjadi lebih kuat.
(3)
Dilatasi serviks uteri. Dilatasi serviks uteri dapat dikerjakan dengan memakai
gagang laminaria, atau dilatator (busi) hegar.
(4)
Accauchement farce.
(a)
Kalau bagian terbawah janin adalah kaki, mata kaki ini di ikat dengan kain kasa
steril yang melalui kontrol dan di beri beban.
(b)
Bila bagian
terbawah janin adalah kepala, maka kulit kepala di jepit dengan cunzim. Muzeuk
yang dikemudian di ikat dengan kain kasa melalui katrol di beri beban.
B. Cara
kimiawi
1. Pitocin
drip
5 S pitocin yang
dilarutkan ke dalam 500 cc glucose 5% diberikan per infuse dengan 10 tetes per
menit. Kecepatan dapat ditambah 5 tetes tiap seperempat jam sampai maksimal 60
tetes per menit.
Pitocin drip
lebih berhasil kalau ketuban dipecahkan dahulu dan bishop score yang tinggi.
Selain pitosin,
bersamaan sering dilarutkan 50 mg pethidin dan 50 mg phenergan yang bersifat
spasmolitik dan sedative. Pitocin drip paling banyak diberikan 2 botol.
Biasanya diberi istirahat 2 jam antara botol I dan botol II.
Selain per infus
oxytocin dapat diberikan transbuccal (Seperti sandopart).
Caranya :
1 tablet (50 S)
diletakan antara gusi dan pipi di tempatkan molare ke III. Setelah setengah
jamtablet ini dikeluarkan dan dipasang satu tablet baru pada pipi yang berlawanan
dan seterusnya sampai 10 tablet. Kalau belum berhasil dapat diberikan 1 kuur lagi dari 10 tablet.
2. Injeksi
intramnial
Terutama
dilakukan kalau anak sudah meninggal, biasanya pada trimester ke II. Dengan
jarum panjang melalui dinding perut disuntikan 200 ml air garam (NaCl) 20% .
Lebih baik dari
larutan NaCl hypertonis ialah penyuntikan prostaglandin PGR2α sebanyak
10 mg intramnial.
3. Prostaglandin
Biasanya dipergunakan
PGE2 atau PGR2α per infus. 5 mg PGR2α dilarutkan
dalam 500 ml glucose 5% dengan kecepatan 1/2 ml/ menit.
Tiap ¼ jam dapat dinaikan ½ ml/per menit sampai timbul his yang baik, dengan
kecepatan maksimal 4 ml/menit
Cara Kimiawi
(1) Oksitosin drip: kemasan yang dipakai adalah pitosin
dan sintosinon, pemberiannya dapat dapat secara suntikan intra muskuler,
intravena dan infus tetes. Yang paling baik dan aman adalah pemberian infus
tetes (drip) karena dapat diatur dan diawasi.
Efek
kerjanya :
(a)
Kandung kemih dan rektum terlebih dahulu dikosongkan
(b)
Ke dalam 500 cc dektrosa 5% dimasukkan 5 satuan oksitosin dan diberikan per
infus dengan kecepatan pertama 10 tetes per menit.
(c)
Kecepatan dapat dinaikkan 5 tetes setiap 15 menit sampai tetes maksimal 40-60
tetes per menit.
(d)
Oksitosin drip akan lebih berhasil bila nilai pelviks di atas 5 dan dilakukan
amniotomi.
(2) Injeksi larutan hipertonik intra-amnial. Cara ini
biasanya dilakukan pada kehamilan di atas 16 minggu di mana rahim sudah cukup
besar. Secara transuterin atau amniosentesis, ke dalam kantong amnion (yang
sebelumnya cairan amnionnya telah dikeluarkan dahulu) kemudian dimasukkan
larutan garam hipertonik dan larutan gula hipertonik (larutan garam 20% atau
larutan glukosa 50%) sebagai iritan pada amnion dengan harapan akan terjadi
his. Sebaiknya diberikan oksitosin drip yaitu: 10-20 satuan oksitosin dalam 500
cc dektrosa 5% dengan tetesan 15 sampai 25 tetes per menit. Penderita diobservasi
baik-baik.
(3) Pemberian prostaglandin. Prostaglandin dapat
merangsang otot-otot polos termasuk juga otot-otot rahim. Prostaglandin yang
spesifik untuk merangsang otot rahim ialah PGE2 dan PGS2 alpha. Untuk induksi
persalinan prostaglandin dapat diberikan secara intravena, oral, vaginal,
rektal dan intra amnion. Pada kehamilan aterm, induksi persalinan dengan
prostaglandin cukup efektif. Pengaruh sampingan dari pemberian prostaglandin
ialah mual, muntah, diare (Wiknjosastro, 2006).
2.3.1
Cara kombinasi
Cara kombinasi ialah
pemecahan ketuban dengan pemberian oxytocin atau pemecahan ketuban dengan
pemberian prostaglandin. Pada umumnya cara ini lebih berhasil. Kalau induksi
gagal dan ketuban sudah dipecahkan maka kehamilan harus diakhiri dengan SC.
Sebaiknya kalau ketuban belum pecah, induksi dapat diulangi setelah 24-48 jam.
Adalah memakai cara kombinasi antara cara kimiawi diikuti
dengan pemberian oksitosin drip atau pemecahan ketuban dengan pemberian
prostaglandin per oral dan sebagainya.
Pada umumnya cara kombinasi akan berhasil kalau induksi
partus gagal sedangkan ketuban sudah pecah pembukaan serviks tidak memenuhi
syarat untuk pertolongan operatif pervaginam, satu-satunya jalan adalah
mengakhiri kehamilan dengan seksio caesarea.
Skor Pelvis Menurut Bishop
Skor Bishop
|
0
|
1
|
2
|
3
|
Dilatasi serviks
Pembukaan konsistensi
Posisi janin
Posisi serviks
|
<1
>4
Keras
-3
Posterior
|
1-2
2-4
sedang
-2
Central
|
2-4
1-2
lunak
-1
Anterior
|
>4
<1
+1, +2
|
Sumber : Magowan, 2005
Menurut Rustam
(1998), komplikasi induksi persalinan adalah :
a)
Terhadap Ibu
(1)
Kegagalan induksi.
(2) Kelelahan ibu dan krisis emosional.
(3)
Inersia uteri partus lama.
(4) Tetania uteri (tamultous lebar) yang dapat
menyebabkan solusio plasenta, ruptura uteri dan laserasi jalan lahir lainnya.
(5)
Infeksi intra uterin.
b)
Terhadap janin
(1) Trauma pada janin oleh tindakan.
(2)
Prolapsus tali pusat.
(3)
Infeksi intrapartal pada janin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar